Sakit, tapi lebih baik aku diam. Jika aku menjawab, entahlah akan menjadi apa aku.
Aku segera mengambil keranjang, sabit, kain gendong dan juga caping. Dengan langkah lemah dan perlahan, aku menuju lahan rumput yang tak begitu jauh dari rumahku.
Apa yang aku takutkan, kini benar-benar di depan mata. Teman sekolahku sedang main di lahan rumput yang hendak aku tuju. Kemudian aku berbalik arah dan tidak ada niat untuk mencari rumput di tempat itu. Jika aku tetap nekat mencari rumput di tempat itu, pastilah aku akan menjadi bahan olok-olokan mereka. Bukan hanya sekarang, tetapi besok pun di sekolah aku akan menjadi bulan-bulanan mereka.
"Calya! Kamu malu dengan teman-temanmu itu?" sapa nenekku yang ternyata sudah ada di belakangku.
"Iya, Nek! Aku malu. Aku bosan menjadi bahan olok-olokan!" kataku jujur kepada nenekku.
"Calya, kamu tunggu warung Nenek saja! Biar Nenek yang mencarikan rumput untuk kambingmu," kata nenekku sambil meminta keranjang, sabit, kain gendongan dan juga caping.
Aku sangat senang, kemudian mencium tangan nenek. Aku sudah hafal dengan semua harga sembako yang dijual di warung nenek. Karena setiap malam, aku tidur di rumah nenek yang bersebelahan dengan rumah orang tuaku. Aku tidak bisa belajar jika aku tidur di rumah orang tuaku. Karena kedua adikku masih kecil dan selalu menggangguku jika aku belajar.
Setiap hari, rutinitas mencari rumput digantikan oleh nenekku. Sungguh, nenekku pahlawanku. Nenekku yang tahu akan kegundahan hatiku. Kemudian aku, tetap setia menjaga warung sembako nenekku.
Suatu ketika, teman sekolahku datang ke warung nenekku. Dia membeli rokok. Tapi entahlah, aku tetap tak dianggap kawan oleh dia.
"Rokok! Nih, uangnya!" kata temanku sambil melempar uang kepadaku.
Aku marah, merasa tidak dihargai sebagai pedagang yang telah melayaninya dengan penuh kesopanan.