Mohon tunggu...
Lina WH
Lina WH Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

• Ibu dari seorang anak laki-laki, Mifzal Alvarez.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Tak Ada Kuldesak (Nenek Pahlawanku)

30 Mei 2019   09:00 Diperbarui: 30 Mei 2019   10:17 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber ilustrasi : images.app.goo.gl/hLy2VTxFbcfhFJPX9

"Aku tahu ketika aku melakukan itu, hanya dosa yang aku dapat. Tapi apa boleh buat, jika jalan itu adalah satu-satunya yang membantuku? Ah... Aku sungguh bodoh. Seharusnya aku tidak pernah melakukan itu, sekalipun aku tak akan pernah mendapatkan apa yang telah menjadi harapanku."

Aku menyesal, tidak bisa berpikir jernih ketika perbuatan mencuri telah menjadi kewajiban dalam keseharianku. Kegiatan menjijikkan itu, adalah rutinitasku ketika aku masih remaja. Aku tahu itu adalah perbuatan dosa. Tapi apalah daya aku, yang tak bisa bagaimana cara mengungkapkan harapan itu.

"Calya! Calya! Cepatlah ganti pakaianmu. Makan dan cepatlah bergegas cari rumput untuk kambing-kambingmu!" teriak ibuku dari bilik sebelah.

Aku terdiam, enggan menjawab apa kata ibuku. Sungguh, aku lelah dengan semua ini. Aku ingin bebas seperti teman lainnya. Aku ingin menikmati masa remajaku, yang sebenarnya aku sudah mengenal cinta.

"Calya, ayo cepat! Jangan bengong saja. Ibu sudah sangat lelah mengurusi kedua adikmu dari pagi," teriak ibuku lagi.

Dengan langkah terhuyung, akhirnya aku segera mengganti pakainku. Kemudian makan dan aku akan mencari rumput seperti permintaan ibu.

Sebenarnya aku malu, jika saat mencari rumput itu aku bertemu dengan teman-teman sekolahku. Karena mereka pasti akan mengolok-olokku, bahkan mengatakan hal yang sangat menyakitkan hatiku. Aku hanya bisa menunduk dan pasrah, karena ini jalan hidupku yang tentu tidak seindah jalan hidup mereka.

"Bu, aku lelah jika setiap hari harus mencari rumput," kataku perlahan di depan ibuku.

Mata ibuku terbelalak, kedua tangannya pun sudah berkacak pinggang dan dihelanya nafas panjang. Aku hanya menunduk ketakutan.

"Anak durhaka kamu!" kata ibuku sambil menjewer telinga kananku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun