"Baik, Ibu."
Mereka lalu makan bersama, sekedar menghilangkan sedikit rasa lapar dan haus. Sambil menunggu Pak Elang datang, Akil pun bercerita bagaimana selama ini Akil menjalani hari-harinya. Akil menceritakan keluarga Noya yang telah menolongnya. Dan juga cerita tentang Pak Elang yang selama ini selalu terbang untuk mencari orang tuanya. Bahkan menggendong Akil untuk mencari rumah tinggalnya sendiri.
"Maafkan Ibu, Akil. Ibu tidak memberitahu alamat tinggal kita. Sehingga kamu dan yang menolongmu kesusahan mencari. Tapi jangan membenci hal ini, karena ini akan menjadi kenangan dan pengalaman hidupmu," kata Ibu Akil yang merasa bersalah kepada Akil.
"Tidak mengapa, Ibu. Aku jadi ketemu Noya. Aku kangen Noya. Nanti Noya kita bawa pulang saja, Ibu!" kata Akil dengan polosnya.
Ayah dan Ibu Akil hanya tertawa kecil mendengarnya. Mereka menganggap hal tersebut adalah gurauan. Tetapi bagi Akil, itu hal yang sebenarnya diinginkannya.
Tiba-tiba Mueza menangis keras, tanpa ada sebab. Ibu Akil mendekatinya. Sedangkan Akil masih manja dalam pangkuan Ayah Akil.
"Mueza, kamu kenapa?" tanya Ibu Akil dengan lembut.
"Aku kangen Ayah dan Ibu. Mereka pasti juga sedang kebingungan mencariku. Paman Elang juga sangat lama. Paman Elang janji mau mengantarkan aku pulang. Tapi kenapa Paman Elang belum datang," jawab Mueza sambil menangis.
"Paman Elang sebentar lagi datang kok!" kata Akil kemudian.
"Kamu tahu di mana kamu tinggal?" tanya Ibu Akil.
"Tahu, Bibi. Tapi lumayan jauh dari sini," jawab Mueza masih dengan tangisnya.