Mohon tunggu...
Lina WH
Lina WH Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

• Ibu dari seorang anak laki-laki, Mifzal Alvarez.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fabel - Persahabatan Akil dan Noya [Bagian 14]

14 Januari 2019   20:04 Diperbarui: 14 Januari 2019   20:26 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1 - Bagian 2 - Bagian 3 - Bagian 4 - Bagian 5 - Bagian 6 - Bagian 7 - Bagian 8 - Bagian 9 - Bagian 10 - Bagian 11 - Bagian 12 - Bagian 13

"Akil, apakah kamu sudah menemukan ayah dan ibumu?" tanya Noya dengan harap-harap cemas.

"Belum Noya," jawab Akil singkat.

Sementara itu ibu Noya sedang sibuk di dapur untuk membuatkan hidangan kepada Pak Elang dan Akil. Hidangan khas, yaitu bolu wortel dan susu hangat.

Sedangkan Akil masih terduduk lemas ditemani Noya di depan pintu. Pak Elang dan ayah Noya sedang mengobrol di ruang tamu.

"Akil, bagaimana kamu hari ini? Lelah?" tanya ayah Noya kepada Akil.

"Aku senang, Paman. Aku bertemu teman di padang ilalang. Seekor anak kucing yang sangat lucu. Namanya Raisya. Awalnya Raisya takut terhadap Paman Elang. Tetapi, aku kasih tahu kalau Paman Elang itu baik. Sekarang Raisya sudah tidak takut lagi kepada Paman Elang. Tetapi aku juga sangat lelah. Tanganku terasa pegal karena tadi berpegangan erat kepada Paman Elang dan juga bergelantungan di ranting pohon waru," kata Akil dengan panjang lebar.

"Ya sudah! Besok istirahat dulu untuk mencari orang tuamu ya! Nanti kalau lelahmu sudah hilang, dilanjutkan lagi," kata ayah Noya yang memberikan pendapatnya.

"Bagaimana jika Akil sudah terlalu kangen dengan orang tuanya, Ayah?" tanya ibu Noya kemudian.

Semua terdiam sambil memandang ke arah Akil. Akil nampak santai dan tidak menunjukkan rasa keberatan atas usul ayah Noya.

"Baiklah Paman. Besok saya dan Paman Elang istirahat dulu. Lusa, baru dilanjutkan," kata Akil yang sudah bisa memberi keputusan.

Akil sudah terbiasa terlibat dalam pengambilan keputusan di keluarganya. Ayah dan ibu Akil selalu mendidik Akil untuk menjadi anak dewasa.

Setelah cukup lama berdiskusi sekaligus makan-makan di rumah Noya, Pak Elang pun pamit untuk pulang.

Sedangkan Akil dan Noya menuju tempat tidur masing-masing untuk segera tidur malam.

Keesokan harinya, Akil bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti saat tinggal di rumahnya dulu. Menyapu halaman, menyapu lantai rumah, mengepel dan mengelap debu dari perabotan rumah.

Sementara Noya masih tertidur pulas. Ibu Noya sibuk memasak di dapur, sedangkan ayah Noya duduk santai menikmati udara pagi sebelum berangkat bekerja.

"Akil, beristirahatlah jika sudah lelah. Jangan memaksakan diri," kata ayah Noya kepada Akil.

"Aku tidak lelah, Paman. Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan ini di rumah. Ayah dan ibuku yang mengajarinya," jawab Akil dengan polos.

Sementara itu, Noya terdengar menangis di dalam kamarnya. Ibu Noya langsung lari buru-buru menuju kamar Noya.

"Paman, kenapa Noya menangis?" tanya Akil yang merasa heran saat mendengar Noya menangis.

"Biasa! Noya anak manja. Noya masih menangis jika bangun tidur."

"Padahal, aku dan Noya itu lebih tua Noya. Tapi aku sudah tidak cengeng lagi. Kata ayahku, laki-laki itu tidak boleh menangis," kata Akil dengan penuh percaya diri.

"Kamu memang anak cerdas, Akil! Tugasmu di sini, ajari Noya supaya Noya tidak cengeng ataupun manja lagi ya!" lanjut ayah Noya kemudian.

"Baiklah, Paman!" Akil pun berkata dengan penuh percaya diri.

Setelah beberapa saat tangisan Noya masih terdengar, Akil pun meminta izin kepada ayah Noya untuk masuk ke kamar Noya. Ayah Noya mengizinkan.

"Noya...! Noya...!" panggil Akil setelah sampai di depan pintu kamar Noya.

Noya tetap menangis dan bahkan melempar botol susu yang sudah dibuat oleh ibunya. Ibu Noya nampak marah, namun tidak berbuat kasar kepada Noya. Akil kaget, lalu meminta izin masuk ke dalam kamar Noya. Ibu Noya pun mengizinkan.

"Noya, sana mandi. Lalu kita bermain lagi. Kamu mau main apa hari ini?" tanya Akil yang bersikap dewasa.

Noya menghentikan tangisnya seketika. Lalu memandang Akil dengan rasa malu.

"Aku mau main terompet. Yang ditiup saat perayaan tahun baru itu," jawab Noya dengan mata yang masih sembab.

"Baiklah, Noya. Habiskan dulu susumu. Setelah itu mandi dan kita langsung membuat terompet," Akil pun menyetujui permintaan Noya.

Kemudian Noya pun menghabiskan susu dengan cepat. Lalu mandi dan bergegas menemui Akil kembali.

"Akil, aku sudah siap membuat terompet," dengan penuh semangat Noya menghampiri Akil yang sedang main jari jemarinya di bangku depan rumah Noya.

"Ayo kita mencari daun blarak dulu."

"Daun blarak itu apa, Akil?" tanya Noya yang belum mengetahui apa itu daun blarak.

"Daun blarak adalah daun dari pohon kelapa," jawab Akil dengan santai.

"Akil, kata kakekku daun kelapa itu namanya janur!" sangkal Noya kemudian.

"Janur itu daun kelapa yang masih muda. Biasanya berwarna kuning dan putih. Janur biasa digunakan untuk membuat kerangka ketupat atau hiasan di acara pernikahan," Akil pun berusaha menjelaskan tentang ketidaktahuan Noya tentang daun kelapa.

"Oh, begitu ya! Akil kok pintar sih?" tanya Noya dengan pertanyaan yang polos.

"Iya, kan aku belajar. Belajar itu membuat pintar!" jawab Akil dengan polos juga.

Kemudian mereka berdua berjalan menuju halaman belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Pohon kelapa tersebut juga banyak yang masih pendek. Akil berusaha memanjat pohon kelapa terpendek, lalu menjatuhkan blarak ke bawah satu per satu.

Di bawah pohon kelapa, dengan sigap pun Noya mengumpulkan blarak tersebut. Kelihatan akrab dan sudah bisa menjalin kerjasama.

"Akil, ada ulat bulu!" teriak Noya sambil menangis karena tangannya memegang ulat bulu.

Akil lalu berusaha menuruni pohon kelapa tersebut dengan cepat. Menghampiri Noya dan berusaha memberikan pertolongan pertama.

"Noya, panas ya?" tanya Akil setelah melihat tangan Noya nampak merah dan bentol.

"Gatal juga! Aduh!" rintih Noya sambil menahan tangisnya.

"Jangan menangis, ya! Sini aku usap dengan rambutku. Nanti bulu ulat yang masih tertinggal di telapak tanganmu akan ikut terbawa rambutku!" kata Akil sambil mengusap-usap tangan Noya ke perutnya.

"Kamu tidak lihat tadi di atas, kalau ternyata di daun blarak yang kamu petik itu ada ulat bulunya?" tanya Noya dengan kesal dan masih menahan tangis.

"Aku tidak melihat, Noya. Maafkan aku ya," Akil pun meminta maaf karena merasa bersalah.

"Ini akan sembuh kan?" tanya Noya kembali.

"Pasti sembuh. Percayalah! Ini pertolongan pertama yang sangat tradisional jika terkena ulat bulu. Dan ini sangat ampuh!" Akil pun dengan percaya diri meyakinkan Noya.

Noya hanya terdiam menahan tangis, sedangkan Akil masih dengan telaten menggosokkan telapak tangan Noya ke rambutnya. Tetapi lama kelamaan usaha Akil pun berhasil, karena rasa gatal dan panas pada telapak tangan Noya semakin hilang. Tinggal bentol-bentol dan warna merahnya saja yang tersisa.

Bersambung... 
Ditulis oleh Lina WH

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun