Akil sudah terbiasa terlibat dalam pengambilan keputusan di keluarganya. Ayah dan ibu Akil selalu mendidik Akil untuk menjadi anak dewasa.
Setelah cukup lama berdiskusi sekaligus makan-makan di rumah Noya, Pak Elang pun pamit untuk pulang.
Sedangkan Akil dan Noya menuju tempat tidur masing-masing untuk segera tidur malam.
Keesokan harinya, Akil bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah seperti saat tinggal di rumahnya dulu. Menyapu halaman, menyapu lantai rumah, mengepel dan mengelap debu dari perabotan rumah.
Sementara Noya masih tertidur pulas. Ibu Noya sibuk memasak di dapur, sedangkan ayah Noya duduk santai menikmati udara pagi sebelum berangkat bekerja.
"Akil, beristirahatlah jika sudah lelah. Jangan memaksakan diri," kata ayah Noya kepada Akil.
"Aku tidak lelah, Paman. Aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan ini di rumah. Ayah dan ibuku yang mengajarinya," jawab Akil dengan polos.
Sementara itu, Noya terdengar menangis di dalam kamarnya. Ibu Noya langsung lari buru-buru menuju kamar Noya.
"Paman, kenapa Noya menangis?" tanya Akil yang merasa heran saat mendengar Noya menangis.
"Biasa! Noya anak manja. Noya masih menangis jika bangun tidur."
"Padahal, aku dan Noya itu lebih tua Noya. Tapi aku sudah tidak cengeng lagi. Kata ayahku, laki-laki itu tidak boleh menangis," kata Akil dengan penuh percaya diri.