Mohon tunggu...
Lina WH
Lina WH Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

• Ibu dari seorang anak laki-laki, Mifzal Alvarez.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Fabel - Persahabatan Akil dan Noya [Bagian 9]

9 Januari 2019   09:41 Diperbarui: 9 Januari 2019   09:54 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bagian 1 - Bagian 2 - Bagian 3 - Bagian 4 - Bagian 6 - Bagian 7 - Bagian 8 

Akil lalu tertidur pulas karena kelelahan. Sementara Akil tidur, Pak Elang pun mencari makanan untuk dirinya sendiri dan juga untuk Akil.

Di dalam padang ilalang yang dilalui sungai, ternyata mudah sekali untuk mendapatkan buah matang. Kemudian Pak Elang pun memetik beberapa buah untuk Akil.

Akil masih tertidur lelap saat Pak Elang kembali ke sana. Pak Elang tidak berani membangunkan Akil, namun berusaha membetulkan posisi tidur Akil yang sepertinya kurang tepat karena telinga Akil yang panjang tersebut tertindih melipat di bawah kepala Akil.

Akil tetap terlelap dan Pak Elang pun memandangi wajah Akil dengan penuh iba.

"Aaaa! Ayo cepat lari. Ada elang jahat yang hendak memangsa seekor anak kelinci. Ayo teman-teman, cepat lari!"

Teriakan tersebut terdengar sangat keras dan dekat dari Pak Elang, namun tidak dihiraukan. Pak Elang yakin jika yang berteriak tersebut anak-anak yang ketakutan melihat seekor elang.

"Paman, suara apa itu?" tanya Akil yang terbangun karena teriakan anak-anak yang sangat keras tersebut.

"Entahlah! Tidak perlu dihiraukan. Tidur lagi saja jika kamu masih mengantuk, Akil," kata Pak Elang kemudian.

Akil hanya terdiam, mungkin kesadaran dari tidurnya belum penuh. Lalu Pak Elang mengusap-usap paha Akil dengan lembut, berharap Akil akan tidur kembali. Dan benar, tidak sampai hitungan lima menit Akil sudah tertidur kembali.

Suara riuh dan berisik anak-anak masih terdengar walaupun semakin menjauh. Dan ketika melihat Akil sudah tertidur pulas kembali, Pak Elang pun berniat untuk menemui anak-anak tersebut.

"Anak-anak, kenapa kalian berlari?" tanya Pak Elang kepada sekumpulan anak ayam mutiara yang berlari ketakutan.

"Ah! Tunggu aku! Itu elangnya mengejar kita!" teriak anak ayam mutiara yang ada di urutan paling belakang.

Sementara anak ayam mutiara yang lain tetap berlari tanpa menghiraukan teriakan temannya yang terbelakang.

Pak Elang lalu mencengkram anak ayam mutiara terbelakang tersebut, lalu membawanya terbang dan berhenti tepat di depan anak ayam mutiara lainnya.

Lalu anak ayam mutiara yang lainnya balik kanan untuk kembali berlari. Pak Elang pun kembali terbang dan berhenti di depan anak mutiara yang semakin kalang kabut. Begitu seterusnya, hingga anak-anak ayam mutiara tersebut merasa lelah lalu hanya diam dan menangis.

Pak Elang lalu mengambilkan air minum di sungai untuk diberikan kepada sekumpulan anak ayam mutiara tersebut.

"Kalian minumlah! Pasti kalian terlalu lelah karena berlari dan menangis," kata Pak Elang kepada sekumpulan anak ayam mutiara tersebut.

Anak ayam mutiara tergembul akhirnya mau menerima tawaran Pak Elang untuk minum. Kemudian diikuti oleh anak ayam mutiara lainnya secara bergantian.

"Kenapa kalian menangis dan ketakutan melihatku? Apakah aku tampak menyeramkan?" tanya Pak Elang kemudian setelah sekumpulan anak ayam mutiara tersebut nampak tenang.

"Kami takut! Dan orang tua kami selalu berpesan untuk segera bersembunyi jika melihat burung elang," jawab salah satu anak ayam mutiara tersebut dengan polos.

"Kenapa begitu?" lanjut Pak Elang yang masih penasaran.

"Karena elang itu jahat. Dia selalu memangsa bangsa kami ataupun unggas lainnya dan juga binatang kecil lain penghuni padang ilalang ini!" jawab anak ayam mutiara yang lainnya.

Pak Elang hanya terdiam sambil menghela nafas. Tidak menyangka jika elang telah dinilai negatif oleh penduduk padang ilalang ini.

"Anak-anak, apakah aku kelihatan menyeramkan? Apakah aku kelihatan hendak memangsa kalian?" lanjut Pak Elang dengan pertanyaan ringan kepada sekumpulan anak ayam mutiara.

"Tadi kan temanku kamu cemgkram lalu kamu bawa terbang!" kata salah satu anak ayam mutiara.

"Siapa tadi yang aku cengkram? Ayo ceritakan kepada temanmu yang lain. Apakah cengkramanku membuat sakit?"

"Tidak. Aku tidak sakit. Cengkramannya lembut, kok!" jawab anak ayam mutiara yang tadi sempat dicengkram dan dibawa terbang Pak Elang.

"Benarkah begitu?" tanya anak ayam mutiara yang lainnya.

Lalu anak ayam mutiara yang sempat dicengkram Pak Elang tadi bercerita bagaimana rasanya dicengkram dan dibawa terbang oleh Pak Elang. Sama sekali tidak sakit, dan anak ayam mutiara yang lain pun ingin merasakan dibawa terbang oleh Pak Elang.

"Paman Elang, maukah Paman mengantar kami pulang ke rumah kami? Tetapi sambil terbang ya!" pinta salah satu anak ayam mutiara tersebut.

"Baiklah. Jumlah kalian ada berapa?" tanya Pak Elang yang menyanggupi permintaan anak ayam mutiara tersebut.

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh...! Ada tujuh, Paman!"

"Baiklah. Tiga naik di punggungku. Dua di kaki kananku dan dua di kaki kiriku. Ayo naiklah!" kata Pak Elang sambil jongkok merendahkan tubuhnya supaya anak ayam mutiara tersebut akan mudah naik punggungnya.

Kemudian terbang tinggi menyusuri padang ilalang dahulu sebelum mengantar pulang. Anak-anak ayam mutiara tersebut bernyanyi dan bergembira bersama. Namun dari bawah sana di daratan padang ilalang, induk ayam mutiara dan para ayam mutiara lainnya merasa resah dan khawatir. Cemas yang tiada henti. Mereka hanya bisa bersembunyi sambil mengintip anak-anak mereka yang dibawa terbang oleh elang. Dalam harap cemas, mereka berdoa bersama supaya anak-anak ayam mutiara tersebut selamat tanpa ada suatu cidera apapun.

Sementara di bawah pohon kelapa tepi sungai, Akil terbangun. Lalu mencuci muka di pinggir sungai yang dirasa aman. Akil tidak lagi berani ke tengah sungai. Kemudian mencari minum dan kembali duduk berteduh di bawah pohon kelapa. Di sana tersaji bermacam-macam buah. Akil tahu itu buah milik Pak Elang. Tetapi Akil tidak berani memakannya, karena belum ada izin dari Pak Elang. Sementara untuk mengisi perut, Akil mencari lobak yang ternyata banyak tumbuh di tepian sungai. Kemudian setelah mendapatkan beberapa lobak, Akil pun mencucinya di tepian sungai yang tidak begitu dalam.

"Aku bersyukur, bisa dengan mudah mendapatkan makanan di sini. Tapi Paman Elang di mana ya? Apakah Paman Elang akan kembali ke sini? Jika tidak, aku harus bagaimana?" kata Akil yang mulai merasa sedih.

Bersambung... 


Ditulis oleh Lina WH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun