"Baiklah. Tiga naik di punggungku. Dua di kaki kananku dan dua di kaki kiriku. Ayo naiklah!" kata Pak Elang sambil jongkok merendahkan tubuhnya supaya anak ayam mutiara tersebut akan mudah naik punggungnya.
Kemudian terbang tinggi menyusuri padang ilalang dahulu sebelum mengantar pulang. Anak-anak ayam mutiara tersebut bernyanyi dan bergembira bersama. Namun dari bawah sana di daratan padang ilalang, induk ayam mutiara dan para ayam mutiara lainnya merasa resah dan khawatir. Cemas yang tiada henti. Mereka hanya bisa bersembunyi sambil mengintip anak-anak mereka yang dibawa terbang oleh elang. Dalam harap cemas, mereka berdoa bersama supaya anak-anak ayam mutiara tersebut selamat tanpa ada suatu cidera apapun.
Sementara di bawah pohon kelapa tepi sungai, Akil terbangun. Lalu mencuci muka di pinggir sungai yang dirasa aman. Akil tidak lagi berani ke tengah sungai. Kemudian mencari minum dan kembali duduk berteduh di bawah pohon kelapa. Di sana tersaji bermacam-macam buah. Akil tahu itu buah milik Pak Elang. Tetapi Akil tidak berani memakannya, karena belum ada izin dari Pak Elang. Sementara untuk mengisi perut, Akil mencari lobak yang ternyata banyak tumbuh di tepian sungai. Kemudian setelah mendapatkan beberapa lobak, Akil pun mencucinya di tepian sungai yang tidak begitu dalam.
"Aku bersyukur, bisa dengan mudah mendapatkan makanan di sini. Tapi Paman Elang di mana ya? Apakah Paman Elang akan kembali ke sini? Jika tidak, aku harus bagaimana?" kata Akil yang mulai merasa sedih.
Bersambung...Â
Ditulis oleh Lina WH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H