Ayam ini memiliki rasa yang khas, padahal suka jajan sembarangan; jagung, beras, rumput, serangga, sisa makanan basi bahkan kotoran sapi, semua dipatok habis, memenuhi pundi-pundi di bawah lehernya. Akan berbeda rasa dengan ayam sejenis yang dikandangkan, meski dirawat dengan pakan yang mahal.
Pada beberapa komunitas di pedesaan, ada kebiasaan berbagi ayam kepada sanak keluarga. Tidaklah mengherankan, detik-detik menjelang Ramadhan, terlihat hilir mudik warga membawa ayam terikat, terbalik, digantung di motor, bentor maupun di punggung angkot.
Saya baru saja berkunjung ke rumah tante, pulangnya memboyong 4 ekor ayam. Tahun-tahun belakangan hanya dapat 2 ekor, tahun ini benar-benar dapat kejutan. Mungkin disesuaikan dengan jumlah anak saya (hehehe). Benar kata pepatah; banyak anak banyak rejeki.
Tradisi berbagi ayam untuk persiapan huwi lo yimelu menjadi ajang silaturrahim yang menyenangkan. Antar keluarga dan sanak famili, antar kelas-kelas sosial, antar orang kota dengan orang desa.
Laksana zaman belum ada alat tukar, barteran. Orang kota membawa paket sembako, orang kampung menyambut dengan sepasang ayam. Resiprositas dilakukan berulang, penuh harmoni, seperti berbalas pantun.
Ada rasa tak enak hati bagi orang kampung untuk tidak memberi kepada keluarga dari jauh. Begitu sebaliknya. Ada perasaan penuh tanya ketika tiba-tiba sanak keluarga tidak datang berkunjung tahun ini.
Ada rindu yang tak bertepi. Bukan karena sembako, tetapi nilai perjumpaan. Satu moment yang oleh orang kampung sudah dirawat selama 4-5 bulan yang lalu, hingga beberapa butir telur berangsur menjadi ayam remaja.
Ayam kampung menjadi icon ramadhan. Ramadhan dan ayam kampung, seperti 2 sisi mata uang, sulit terpisahkan. Tak mengherankan, banyak keluarga yang “wajib” berkumpul pada malam itu. Huwi lo yimelu. Menyantap masakan “bermotif” ayam kampung. Masakan menggoda yang diracik ibu atau nenek.
Racikannya bisa menghasilkan kuliner yang menggetarkan rasa; ada iloni (ayam bakar plus dabu-dabu bara), pilitode (ayam santan), tilumiti (ayam tumis), tilinanga (ayam goreng) dan ilabulo (apa depe melayu ee?). Itu hanya beberapa contoh racikan yang nikmatnya tiada tara. Kenikmatan yang sulit ditemukan di resto-resto berkelas.
Tradisi ini menjadi magnet penarik. Bak pusaran angin puting beliung. Menghimpun kembali anggota keluarga yang berserakan di mana-mana.
Merekatkan individu-individu yang terpisah selama 11 bulan. Anak yang lagi kos di kota, atau tinggal di Bonbol, sudah punya rumah di Boalemo, Gorut dan Pohuwato. Bahkan di perantauan sekalipun.