Semua seperti terhipnotis, terpanggil untuk pulang kampung. Layaknya panggilan jiwa. Ada nilai persaudaraan, nilai perjumpaan yang memandu. Jangan ditanya, kenapa orang Gorontalo berjuang untuk mudik pada awal Ramadhan.
Saat ngumpul, masing-masing anggota keluarga sudah memiliki menu favorit. Dalam satu keluarga, ada yang sudah langganan paha atas, ada yang pilih paha bawah.Â
Ada yang request hati, dada dan sayap. Ada yang doyan kulit dan kaki. Â Yang unik lagi, ada yang mengoleksi tulang-tulang bekas dari kakak adik untuk dikunyah. Sensasi rasa sum-sum dalam tulang menjadi kenikmatan tersendiri. Nyaris tak bersisa, tak jarang, Â sang ibu harus puas menikmati kepala dan kamui-mui (buntut ayam). Sudah terjadi pengkaplingan wilayah penuh harmoni. Ada kompromi dalam berbagi menu kesukaan. Tidak ada saling rebut, kalaupun ada, biasanya ulah anak bungsu, untung ada ibu, secara sukarela menyerahkan bagiannya, diiringi bisik-bisik kesal kakak-kakaknya.
Tradisi ini masih kental di kampung-kampung, bersama ayam kampungnya. Di kota beda lagi. Orang kota sudah punya ayam sendiri. Ayamnya gemuk, mungkin karena malas olahraga. Ayamnya sudah disembelih, kadang dibantai, sudah dikuliti, sudah dipotong-potong sesuai peruntukannya; goreng atau bakar, tinggal bayar.Â
Ada pula yang beralih beli sekilo-dua kilo daging sapi. Pedagang daging sapi belakangan mudah ditemukan. Bak penjual kacang goreng. Di kota, semuanya mudah ditemukan, tersedia. Hanya, tidak ada keseruan yang tercipta, tidak ada pembagian peran, sebagaimana pada orang kampung.
Di kampung, keseruan bermula sejak mohenela maluo (menangkap ayam). Serunya seperti pertandingan bola. Bahkan lebih seru, bolanya bersayap, lapangannya bersemak, hingga harus melompat pagar. Cukup 1 babak, kecuali ayamnya terlepas. Semua bebas jadi keeper.Â
Sang ayah mengejar bola bersayap meniru gaya Pogba. Dari arah berlawanan si adik menghalau sundulan ayah, mengancam posisi kakak. Kakak berlagak Never, menerkam bola agar tak menembus gawang. Skor tak berubah, bola bersayap dalam genggaman, menjerit, meronta. Jika tak awas, kena cakaran. Sang kakak melakukan selebrasi a la Never, untung ayamnya tak terlepas.
Sehabis berolahraga masih penuh suar, lanjut dengan sebuah ritual, ritual penyembelihan. Ada kekhusyu’an saat menyembelih ayam hasil buruan. Membayangkan menu favorit tersaji.Â
Orang kampung tak langsung main jagal, seperti tukang jagal ayam-ayam gemuk. Masih ada tahapan-tahapan yang dilalui. Memberi kesempatan kepada ayam untuk bisa bernafas lega. Ada mitos-mitos yang harus ditaati.Â
Mitos 1; Selangkangan tak boleh mengarah ke ayam,Â
mitos 2; ketiak harus dirapatkan. Jika tidak, rasa ayam akan berubah dan bau. Setelah ayamnya tak berkutik,Â