Jelang Ramadhan. Ada tradisi unik a la kampung. Tradisi mohimelu. Kata “mohimelu” punya arti menyapa atau menyambut, berasal dari kata “yimelu” (sapaan/sambutan). Tradisi saling menyapa adalah tradisi universal.
Tetapi mohimelu bagi orang Gorontalo. tidak hanya berlaku untuk sesama manusia ketika saling bertemu. Tetapi juga berlaku untuk menyapa syariat Islam. Tradisi menyapa/menyambut ramadhan.
Untuk menyapa/menyambut bulan Ramadhan, orang Gorontalo mengenal istilah “huwi lo yimelu”. Huwi berarti malam. Huwi lo yimelu adalah ekspresi orang Gorontalo menyambut awal Ramadhan. Huwi lo yimelu identik dengan malam pertama sholat tarawih dan makan sahur.
Kepastian huwi lo yimelu diketahui setelah dilakukan “tonggeyamo”. Dalam bahasa kekinian, hisab rukyat. Sebuah prosesi ilmiah berbasis syar’i untuk menetapkan 1 Ramadhan.
Dulu dilakukan oleh pemerintah lokal (buwatula towulongo). Sekarang tidak lagi. Peran itu sudah digeser teknologi. Hasilnya langsung ketahuan, cukup mendengarkan siaran TV, bahkan bertebaran di jagat medsos.
Zaman dulu, orang Gorontalo menganut cara hitung manual. Berpedoman pada hitungan bulan qomariyah (bulan di langit). Hingga kini, masih ada orang kampung yang meyakini hitungannya. Lalu menggelar huwi lo yimelu mendahului, tak peduli keputusan pemerintah.
Huwi lo yimelu diekspresikan dengan penuh suka cita, bersama sanak keluarga. Sekaligus juga menjadi malam yang mencekam bagi mahluk lain berkebangsaan unggas.
Saya ikut ngeri, tak tega melihat cucuran darah ayam di antara hentakan kaki dan kepak sayapnya saat disembelih. Giliran tersaji di atas meja, rasa ngeri berubah lahap. Andai tak ada yang mengawasi, terjadi perang saudara di meja makan.
Ayam kampung seperti menjadi “tumbal” pada malam itu. Ratusan hingga ribuan ekor. Bayangkan saja, kalau sekampung ada 200 KK, maka minimal ada 200 ekor ayam kampung yang menjerit dan meronta jadi korban.
Itu baru satu kampung, coba satu kabupaten, satu provinsi, belum lagi orang Gorontalo di perantauan. Hitung saja. Ini menjadi peluang bisnis bagi yang berbakat.
Mongolota maluo atau menyembelih ayam adalah tradisi yang menyertai huwi lo yimelu. Karena tradisinya di kampung, ayamnya pun harus sekampung. Tidak peduli jantan, atau betina, asalkan masih pranggang.
Ayam ini memiliki rasa yang khas, padahal suka jajan sembarangan; jagung, beras, rumput, serangga, sisa makanan basi bahkan kotoran sapi, semua dipatok habis, memenuhi pundi-pundi di bawah lehernya. Akan berbeda rasa dengan ayam sejenis yang dikandangkan, meski dirawat dengan pakan yang mahal.
Pada beberapa komunitas di pedesaan, ada kebiasaan berbagi ayam kepada sanak keluarga. Tidaklah mengherankan, detik-detik menjelang Ramadhan, terlihat hilir mudik warga membawa ayam terikat, terbalik, digantung di motor, bentor maupun di punggung angkot.
Saya baru saja berkunjung ke rumah tante, pulangnya memboyong 4 ekor ayam. Tahun-tahun belakangan hanya dapat 2 ekor, tahun ini benar-benar dapat kejutan. Mungkin disesuaikan dengan jumlah anak saya (hehehe). Benar kata pepatah; banyak anak banyak rejeki.
Tradisi berbagi ayam untuk persiapan huwi lo yimelu menjadi ajang silaturrahim yang menyenangkan. Antar keluarga dan sanak famili, antar kelas-kelas sosial, antar orang kota dengan orang desa.
Laksana zaman belum ada alat tukar, barteran. Orang kota membawa paket sembako, orang kampung menyambut dengan sepasang ayam. Resiprositas dilakukan berulang, penuh harmoni, seperti berbalas pantun.
Ada rasa tak enak hati bagi orang kampung untuk tidak memberi kepada keluarga dari jauh. Begitu sebaliknya. Ada perasaan penuh tanya ketika tiba-tiba sanak keluarga tidak datang berkunjung tahun ini.
Ada rindu yang tak bertepi. Bukan karena sembako, tetapi nilai perjumpaan. Satu moment yang oleh orang kampung sudah dirawat selama 4-5 bulan yang lalu, hingga beberapa butir telur berangsur menjadi ayam remaja.
Ayam kampung menjadi icon ramadhan. Ramadhan dan ayam kampung, seperti 2 sisi mata uang, sulit terpisahkan. Tak mengherankan, banyak keluarga yang “wajib” berkumpul pada malam itu. Huwi lo yimelu. Menyantap masakan “bermotif” ayam kampung. Masakan menggoda yang diracik ibu atau nenek.
Racikannya bisa menghasilkan kuliner yang menggetarkan rasa; ada iloni (ayam bakar plus dabu-dabu bara), pilitode (ayam santan), tilumiti (ayam tumis), tilinanga (ayam goreng) dan ilabulo (apa depe melayu ee?). Itu hanya beberapa contoh racikan yang nikmatnya tiada tara. Kenikmatan yang sulit ditemukan di resto-resto berkelas.
Tradisi ini menjadi magnet penarik. Bak pusaran angin puting beliung. Menghimpun kembali anggota keluarga yang berserakan di mana-mana.
Merekatkan individu-individu yang terpisah selama 11 bulan. Anak yang lagi kos di kota, atau tinggal di Bonbol, sudah punya rumah di Boalemo, Gorut dan Pohuwato. Bahkan di perantauan sekalipun.
Semua seperti terhipnotis, terpanggil untuk pulang kampung. Layaknya panggilan jiwa. Ada nilai persaudaraan, nilai perjumpaan yang memandu. Jangan ditanya, kenapa orang Gorontalo berjuang untuk mudik pada awal Ramadhan.
Saat ngumpul, masing-masing anggota keluarga sudah memiliki menu favorit. Dalam satu keluarga, ada yang sudah langganan paha atas, ada yang pilih paha bawah.
Ada yang request hati, dada dan sayap. Ada yang doyan kulit dan kaki. Yang unik lagi, ada yang mengoleksi tulang-tulang bekas dari kakak adik untuk dikunyah. Sensasi rasa sum-sum dalam tulang menjadi kenikmatan tersendiri. Nyaris tak bersisa, tak jarang, sang ibu harus puas menikmati kepala dan kamui-mui (buntut ayam). Sudah terjadi pengkaplingan wilayah penuh harmoni. Ada kompromi dalam berbagi menu kesukaan. Tidak ada saling rebut, kalaupun ada, biasanya ulah anak bungsu, untung ada ibu, secara sukarela menyerahkan bagiannya, diiringi bisik-bisik kesal kakak-kakaknya.
Tradisi ini masih kental di kampung-kampung, bersama ayam kampungnya. Di kota beda lagi. Orang kota sudah punya ayam sendiri. Ayamnya gemuk, mungkin karena malas olahraga. Ayamnya sudah disembelih, kadang dibantai, sudah dikuliti, sudah dipotong-potong sesuai peruntukannya; goreng atau bakar, tinggal bayar.
Ada pula yang beralih beli sekilo-dua kilo daging sapi. Pedagang daging sapi belakangan mudah ditemukan. Bak penjual kacang goreng. Di kota, semuanya mudah ditemukan, tersedia. Hanya, tidak ada keseruan yang tercipta, tidak ada pembagian peran, sebagaimana pada orang kampung.
Di kampung, keseruan bermula sejak mohenela maluo (menangkap ayam). Serunya seperti pertandingan bola. Bahkan lebih seru, bolanya bersayap, lapangannya bersemak, hingga harus melompat pagar. Cukup 1 babak, kecuali ayamnya terlepas. Semua bebas jadi keeper.
Sang ayah mengejar bola bersayap meniru gaya Pogba. Dari arah berlawanan si adik menghalau sundulan ayah, mengancam posisi kakak. Kakak berlagak Never, menerkam bola agar tak menembus gawang. Skor tak berubah, bola bersayap dalam genggaman, menjerit, meronta. Jika tak awas, kena cakaran. Sang kakak melakukan selebrasi a la Never, untung ayamnya tak terlepas.
Sehabis berolahraga masih penuh suar, lanjut dengan sebuah ritual, ritual penyembelihan. Ada kekhusyu’an saat menyembelih ayam hasil buruan. Membayangkan menu favorit tersaji.
Orang kampung tak langsung main jagal, seperti tukang jagal ayam-ayam gemuk. Masih ada tahapan-tahapan yang dilalui. Memberi kesempatan kepada ayam untuk bisa bernafas lega. Ada mitos-mitos yang harus ditaati.
Mitos 1; Selangkangan tak boleh mengarah ke ayam,
mitos 2; ketiak harus dirapatkan. Jika tidak, rasa ayam akan berubah dan bau. Setelah ayamnya tak berkutik,
mitos 3; kepalanya diselip di antara sayap, tak elok membiarkan leher berdarah menjuntai. Sesi selanjutnya bagian anak gadis merendam si ayam tak bernyawa dengan air mendidih, agar bulu-bulunya mudah dicerabut.
Mitos 4; tak boleh ngobrol saat mencerabut bulu ayam. Konon, bulunya tumbuh lagi. Bagian si ibu meracik bumbu dan memasaknya, dalam pengawasan penuh anak-anaknya.
Setelah tiba waktu sahur, semua serentak berpesta rasa, menikmati. Sampai kenyang, agar puasa perdana berhasil dilewati. Ada keyakinan orang kampung, jika hari pertama bisa dilalui, hari-hari selanjutnya dijamin selamat, meski sahurnya berkali-kali ditemani sagela. Tak jarang mi rebus karena keburu imsyak.
Ketika suatu saat, salah satu anggota tidak sempat bergabung, sudah punya keluarga kecil atau telah mendahului, airmata kesedihan tak terbendung. Melihat potongan ayam yang menjadi favoritnya, tergeletak di atas baskom.
Seperti biasa, ibu-ibu yang lebay, terisak sendirian. Menghindari kepiluan ini, Hati ayam yang jadi langganan si bungsu yang sedang studi di luar daerah, terpaksa di buang, disambut kucing yang dari tadi menunggu jatah. Rasa yang sama diderita anak-anak di perantauan.
Tak bisa mudik tersandra musim ujian atau pekerjaan. Tahun ini apalagi, akan banyak ibu-ibu di kampung dan anak-anak perantauan yang didera duka, seiring larangan mudik dari pemerintah.
Demikianlah, tradisi mohimelu bukan sekedar tradisi, tetapi manifestasi anjuran agama. Ada perjumpaan Islam dengan budaya lokal. Menjadi peristiwa yang sangat mengesankan, terpola dan berulang. Menjadi moment yang paling dirindukan setiap tahun. Menjadi irama penambah syahdu pada saat mohiyonga hulalo (malam takbiran), ketika mengakhiri ramadhan.
Tradisi mohimelu menunjukkan betapa orang Gorontalo sangat menghormati bulan suci. Menyambutnya dengan penuh suka cita. Merayakannya dengan bersilaturrahmi, saling berbagi dan berkumpul, bersama menikmati menu sahur perdana penuh cita rasa. Sebuah ekspresi kegembiraan menyambut bulan penuh berkah. Inilah point yang diapresiasi Rasul kita dengan jaminan terbebas dari api neraka. (potala bolo = semoga).
MARHABAN YA RAMADHAN
Aamiin YRABaca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H