Sejauh ini aku tidak tahu siapa namanya, usianya, dan statusnya. Namun entah kenapa sikapnya selalu saja menarik perhatianku.
Aku yang biasanya mengunjungi tempat itu ketika mempunyai tugas, kali ini berbeda. Mencari alasan untuk bisa ke tempat itu bukanlah hal yang sulit; membeli film, meminjam buku, rental komputer, semua itu aku ulang berkali-kali. Semakin sering datang kesana frekuensi pertemuanku semakin tinggi dan itu menciptakan binar pada mataku, getaran pada jantungku, dan ketidakmampuan mengungkapkan itu benar-benar membuatku beberapa kali menghembuskan nafas kesal.
Dia orang dewasa dengan perawakan besar dan tinggi, berkacamata minus, dan mempunyai rambut ikal. Semua itu entah sejak kapan membuatku terpukau. Sikapnya terlihat mengagumkan di mataku. Aku tidak tahu banyak tentangnya begitupun sebaliknya, dia mungkin tidak pernah tahu kalau aku mempunyai rasa seperti ini dalam hatiku. Dia mungkin hanya menganggapku pelanggan biasa, seorang remaja dengan berbagai permasalahan kecil, atau seorang gadis introvert yang kesepian.
Tiap hari sepanjang waktu wajah dan caranya berbicara mengusik kepalaku, semua itu terus berputar-putar memenuhi setiap ruang dari bagian terapuh diriku.
Tuhan, apa aku jatuh hati?
Setiap kali mataku melihatnya aku semakin mengaguminya, aku terus berpikir bagaimana caranya terus mempunyai bahan obrolan yang panjang. Dia itu orang dewasa, apakah dia tidak tahu aku mengaguminya?, laki-laki itu bersikap biasa saja setiap aku menceritakan hal-hal yang aku suka.
Sejak dua ribu tujuh belas aku terus menerus datang ke tempat itu; saat merasa bahagia, sedih, maupun kesepian, tempat itulah yang dijadikan tempat mengadu. Buku-buku yang terpajang seolah menjadi saksi bagaimana aku yang frustasi mengunjungi tempat itu saat hujan deras. Aku ingin menangis namun menahannya dengan senyuman, semakin tenggelam dalam kesedihan maka senyum ku semakin dalam, tatapanku semakin mendamba, dan hatiku semakin terpaut padanya. Semua itu terjadi selama tiga tahun, waktu yang cukup lama bukan?.
Aku yang biasanya menahan senyum, berubah setelah mengenalnya. Senyuman selalu terlukis pada bibirku. Aku tidak tahu kenapa senyuman selalu semerbak menghiasi wajahku setiap bertemu dengannya.
Aku berharap dia tahu apa yang ada dalam hatiku, aku berharap dia mengerti apa yang kuinginkan, tapi semua itu berubah pada suatu hari pada penghujung tahun dua ribu sembilan belas.
Aku yang sudah tahu namanya, dikejutkan dengan perubahan sikapnya yang seolah menolak kehadiranku. Dan satu hal yang kuingat, laki-laki itu ternyata sudah menikah, dibelakang tempatnya duduk ada pakaian bayi yang terjemur, aku memejamkan mata menahan perasaan yang membuncah.
Sakit macam apa ini?