Mohon tunggu...
lilo marcelinus
lilo marcelinus Mohon Tunggu... Guru - Un Solo Dios Basta

Selamat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkawinan Katolik

2 Januari 2021   08:58 Diperbarui: 2 Januari 2021   09:03 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

SERI KATEKESE PERSIAPAN PERKAWINAN MENURUT KITAB HUKUM KANONIK (KHK)

DALAM GEREJA KATOLIK

 (Sebuah Katekese Pentingnya Persiapan Pernikahan Menurut Kitab Hukum Kanonik)

(Oleh: Fr. Marselinus Lilo, MSC)

 

Pendahuluan

Tak dapat disangkal bahwa kemajuan zaman yang disertai perkembangan nilai-nilai seringkali mempengaruhi penghayatan hidup berkeluarga. Ibarat pedang bermata dua, perkembangan nilai-nilai tersebut di satu sisi membawa dampak positif karena memandang keluhuran martabat manusia, kesadaran etika, kesadaran gender, dll. 

Di sisi lain, menjadi ne-gatif karena perkembangan nilai-nilai itu cenderung merendahkan martabat hidup perkawinan, seperti poligami, perceraian, seks bebas, seks pranikah, perselingkuhan, kekerasan da-lam rumah tangga, dan pelbagai persoalan lainnya.[1] Padahal perkawinan sejatinya merupa-kan panggilan hidup untuk saling mensejahterakan dan bekerjasama dengan Tuhan dalam karya penciptaan manusia. 

Sebagai upaya antisipasi terhadap persoalan ini, maka perlu dibuat kursus persiapan perkawinan dan pendampingan lanjut pasca nikah. Melalui kursus persiapan perkawinan, diharapkan calon pasangan suami-istri Katolik dapat mempersiapkan dan membekali diri da-lam membangun hidup berkeluarga yang manusiawi dan kristiani. Oleh karena itu, dalam kursus tersebut sangat penting diberikan pemahaman kepada mempelai yang hendak menikah tentang apa arti perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. 

Ajaran Katolik Tentang Perkawinan

Pada hakikatnya semua manusia menghendaki kebahagiaan dan kesejahteraan sebagai tujuan hidup yang harus dicapai. Untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan itu, manusia diperhadapkan dengan dua pilihan. Pertama, dengan hidup selibat-membiara (se-bagai imam atau biarawan-biarawati). Kedua, dengan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Perkawinan sebagai pilihan hidup dilindungi oleh hukum. Gereja Katolik sebagai institusi yang memiliki hukum (favor iuris), sangat menjun-jung tinggi dan melindungi martabat hidup perkawinan ini (bdk. Kan. 1060).      

Arti dan Hakikat Perkawinan Secara Umum

Secara populer, perkawinan, pertama-tama didefinisikan sebagai suatu persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir-batin yang mencakup seluruh hidup. Persekutuan hidup ini dibentuk atas dasar kehendak dan persetujuan bebas. Itu berarti, mereka bersekutu membentuk suatu keluarga: mempunyai rumah bersama, harta dan uang menjadi miliki bersama, mempunyai nama keluarga yang sama, mempunyai anak bersama, saling pasrah diri jiwa-raga atas dasar cinta kasih yang tulus.

[2] Sah atau tidaknya sebuah perkawinan sangat ditentukan oleh ada atau tidaknya persetujuan bebas dari kedua belah pihak. Sebab tidak ada cinta yang dipaksa atau terpaksa. Cinta men-syaratkan kebebasan dan tanggung jawab. Persetujuan kedua belah pihak harus dinyatakan secara jelas di depan saksi-saksi yang sah. 

Unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada pasangannya "dalam untung dan malang" dan bertanggung jawab dalam segala situasi. Persatuan suami-istri itu berciri dinamis. Artinya, persatuan itu dapat berkembang mekar, tetapi dapat juga mundur, bahkan hancur. Karena itu, suami dan istri sama-sama bertugas untuk tetap memupuk kesatuan mereka agar tahan uji. Tujuannya sekali lagi untuk mencapai kesejahteraan bersama dan melanjutkan keturunan.   

  • Kekhasan Perkawinan Katolik

Kekhasan perkawinan Katolik sangat tampak dalam rumusan Kan. 1055 berikut ini:  

Kan. 1055 - 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.

2. Karena itu antara orang-orang yang dibaptis, tidak dapat ada kontrak perkawinan sah yang tidak dengan sendirinya sakramen.

  • Arti dan Hakikat Perkawinan

Menurut Kan. 1055 1, perkawinan secara doktrinal diartikan sebagai sebuah perjan-jian (feodus, consensus, covenant) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk persekutuan seluruh hidup (consortium) yang terarah pada kesejahteraan ber-sama, serta kelahiran dan pendidikan anak. Arti ini secara intrinsik membedakan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (feodus) bukan hanya sebagai kontrak (contractus) bilateral antara seorang laki-laki dan seorang perempuan (bdk. GS, art. 48).[3] Sebagai sebuah perjanjian, perkawinan senantiasa bercorak dinamis, berdimensi personal karena terkait dengan intimitas dan relasi interpersonal pribadi yang berbeda seksualitas. Sedangkan, bila perkawinan diarti-kan sebagai kontrak maka perkawinan tidak lebih dari sekedar sebuah institusi. 

Kendatipun gereja sejak KV. II tidak lagi mengartikan perkawinan dengan menggunakan istilah kontrak, namun tidak secara serentak menolak hakikat perkawinan sebagai suatu kon-trak. Karena bagaimanapun, di dalam perjanjian perkawinan selalu terdapat unsur-unsur kon-traknya yakni: adanya kesepakatan pribadi antara kedua belah pihak untuk membentuk per-sekutuan seluruh hidup dan tinggal bersama seumur hidup, serta dinyatakan secara publik dan sah menurut norma hukum. Dengan demikian, pernikahan sebagai sebuah perjanjian se-rentak kesepakatan bersama, menghendaki adanya kesungguhan hati artinya menikah de-ngan serius, tidak simulatif atau berpura-pura (Kan. 11012) dan tanpa syarat (kan. 1102); di-langsungkan secara penuh tanpa mengecualikan unsur hakiki perkawinan (Kan. 11012) dan bebas tanpa ada paksaan dan ketakutan besar dari luar (Kan. 1103).

 

  • Tujuan Perkawinan

 

  • Ada tiga tujuan utama dari perkawinan katolik. Itu disebutkan dengan jelas dalam 1055 1 berikut, .......yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, ........
  • Berdasarkan rumusan kanon di atas, perkawinan katolik bertujuan untuk:
  • Kesejahteraan suami-isteri. Hal itu menyangkut kesejahteraan lahiriah yaitu terse-dianya kebutuhan sandang, pangan, papan, serta kesejahteraan batiniah yang mencakup di dalamnya pemenuhan kebutuhan seksual.[4]  Kesejahteraan suami-istri ini dapat tercapai bila adanya cinta kasih dan saling menyerahkan diri dalam se-buah perkawinan. Cinta kasih suami-istri pada hakikatnya tidak didasarkan atas do-rangan nafsu, rasa tertarik, simpati atau asmara membara, melainkan sebagai se-buah keputusan pribadi untuk memilih seseorang bersatu dengannya.[5]   

 

  • Prokreasi. Dari kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Artinya, suami-istri dipanggil oleh Tuhan untuk ikut ambil bagian dalam proses penerusan generasi baru. Paus Paulus dalam Humane Vitae no. 11 menggarisbawahi hal ini dengan mengatakan, "cinta kasih suami-istri harus sepenuhnya manusiawi dan eksklusif serta terbuka terhadap kehidupan baru" (bdk. Kej. 1:28, GS. 50 dan FC 29 par. 3) [6] 

 

  • Pendidikan anak. Anak adalah buah cinta suami-istri sesungguhnya merupakan dari anugerah Tuhan. Karena itu,  suami-istri bertanggungjawab untuk memberikan pendidikan yang layak (baik pendidikan formal: sekolah, maupun pendidikan infor-mal: etiket, adat istiadat, pendidikan nilai, keterampilan hidup, dll) agar nanti mereka dapat hidup dengan wajar. Dengan kata lain, orangtua memiliki kewajiban untuk menyediakan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.   

 

  • Dimensi Sakramentalitas Perkawinan Orang-Orang yang Dibaptis[7]

 

Seperti yang ditegaskan oleh Kan. 1055, Kristus sendirilah yang mengangkat perkawin-an menjadi sebuah sakramen ( 1) sehingga sifat perkawinan di antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen ( 2). Dengan demikian, secara teknis-yuridis, sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis. Gagasan yuridis ini mendapat pendasarannya pada Ef. 5:22-33, yang memberikan makna teologis tentang sakra-men. Rumusan kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi:

 

  • Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan sendirinya merupakan sakramen ( 2).
  • Sakramentalitas perkawinan tidak terletak pada pemberkataan pastor karena yang menjadi pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai sendiri yang berjanji.
  • Orang-orang yang dibaptis tidak dapat menikah dengan sah jika dengan maskud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan.
  • Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan.   
  • Sifat-Sifat Perkawinan

 

Sifat-sifat perkawinan Katolik ditunjuk jelas dalam Kan. 1056 demikian,

 

"Ciri-ciri hakiki (proprietates) perkawinan ialah unitas (kesatuan) dan indissolubilitas (sifat takdapat-diputuskan), yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen."

 

Dari rumusan kanon di atas, ada tiga elemen yang menunjukan sifat (ciri hakiki) dari perkawinan Katolik yakni :[8]

 

  • Kesatuan (unitas). Sifat ini menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan. Artinya, melalui perkawinan keduanya menjadi satu persona 'suami-isteri'; satu daging -- sejiwa seraga dan hanya dilakukan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Konsekuensinya, poligami dan poliandri ditolak.

 

  • Tak terceraikan (inddissolubilitas). Sifat ini menekankan bahwa perkawinan Katolik hanya dapat diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau ke-duanya. Gagasan ini memperoleh pendasaran biblisnya dalam Mat. 19:6; Mrk. 10:9). "Apa yang disatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Sifat tak terceraikan perkawinan ini dibedakan menjadi dua: Pertama, Indissolubilitas absoluta yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Satu-satunya perkawinan yang memiliki sifat ini ada-lah perkawinan yang telah disempurnakan dengan ratum et consummatum (bdk. Kan. 1141).  Kedua, Indissolubilitas relativa, artinya ikatan perkawinan ter-sebut memang tak terputuskan atas dasar konsensus suami-istri, kecuali oleh otoritas gereja dan karena alasan tertentu seperti yang diatur dalam Kanon (bdk. Kan. 1143-1147; 1148; 1149)
  • Sakramental. Artinya, perkawinan menjadi tanda kehadiran Allah yang menye-lamatkan serentak menjadi lambang relasi kasih antara Kristus dan Gereja. Sifat sakramental ini dimulai sejak terjadinya konsensus antara dua orang yang dibaptis yang melangsungkan perkawinan.
  • Dasar Perkawinan

Dasar dari perkawinan Katolik adalah kesepakatan atau konsensus membuat perkawin-an. Hal ini ditegaskan dalam Kan. 1057 demikian,

1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang me-nurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.

2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perka-winan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

                                                                                         

Rumusan kanon di atas, pada intinya hendak menegaskan bahwa kesepakatan atau konsensus hanya akan membentuk perkawinan bilamana itu dilakukan dengan sungguh-sungguh (consensus verus), penuh (consensus plenus), dan bebas (consensus liber). Arti-nya, perkawinan itu menjadi sah secara legitim bila dilakukan atas dasar kesepakatan nikah antara dua pribadi yang berbeda seksualitas, tanpa adanya paksaan dari pihak luar ataupun halangan dan larangan untuk menikah, dan dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma hukum yang berlaku.[9] Konsekuensinya adalah tidak adanya konsensus atau adanya cacat, menyebabkan perkawinan tidak sah. 

  

  • Halangan-Halangan Perkawinan

 

Halangan-halangan perkawinan dibedakan dalam dua kategori. Pertama, halangan ni-kah dari hukum ilahi. Artinya, halangan ini bersumber dari kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah, yang kemudian dideklarasikan secara eksplisit oleh kuasa legislatif tertinggi Gereja dalam KHK (bdk. Kan. 1075). Secara doktrinal, halangan-halangan tersebut menyangkut: impotensi seksual yang tetap (Kan. 1084), ikatan perkawinan sebelumnya (Kan. 1085), dan hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (Kan. 1091 1). Kategori ini tidak dapat didispensasi oleh otoritas Gereja. Kedua, halangan nikah dari hukum gerejawi. Artinya, halangan-halangan yang bersumber dari ketetapan dan otoritas Gereja, yang sengaja diciptakan dan diatur dalam undang-undang (KHK) untuk menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Menurut KHK, halangan-halangan itu meliputi halangan umur (Kan. 1083), beda agama (Kan. 1086), tahbisan suci (Kan. 1087), kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (Kan. 1088), penculikan (Kan. 1089), kriminal (Kan. 1090), hubungan darah garis menyamping (Kan. 1091 2), hubungan semenda (Kan. 1092), kelayakan publik (Kan. 1093), dan pertalian hukum (Kan. 1094). Semua halangan kategori jenis ini dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwewenang sesuai ketentuan yang berlaku.[10] 

          

  • Praktek Persiapan Pernikahan Kanonik dan Kepentingannya 
    • Pada bagai pertama kita telah menyimak bersama apa yang dihayati oleh Gereja tentang perkawinan atau hidup berkeluarga. Di sana diungkapkan apa yang sesungguhnya menjadi idealisme sebuah perkawinan dan keluarga. Intinya gereja selalu mengarahkan se-luruh umatnya untuk hidup dalam kebaikan dan kesejahteraan bersama. Namun, disadari pula kehidupan keluarga dan perkawinan tak luput dari persoalan dan masalah. Seringkali terjadi deviasi-deviasi terhadap penghayatan baik terhadap perkawinan itu sendiri maupun terhadap pandangan tentang keluarga. Itu mengungkapkan kepada kita bahwa hidup perkawinan atau hidup berkeluarga bukanlah persoalan yang sepele.
    • Oleh karena itu, persiapan hidup berkeluarga (kursus perkawian) mutlak diperlukan untuk mempersiapkan dan membekali para calon suami-istri untuk mampu memahami dan menghayati arti, hakekat, tujuan, sifat-sifat dan dasar perkawinan sebagaimana yang dihayati dan diajarkan oleh Gereja secara mendalam dan matang.[11] Usaha ini dibuat semata-mata demi keselamatan jiwa-jiwa yang merupakan hukum tertinggi. Salus animarum suprema lex (Kan. 1752). Selain itu pula, melalui kursus pernikahan ini, para calon suami-istri pada akhirnya mampu membangun hidup berkeluarga yang manusiawi dan kristiani, serta dibantu untuk meminimalisir masalah-masalah perkawinan yang beberapa dekade ini marak terjadi seperti perceraian, perselingkuhan, kumpul kebo, simulasi, dll, yang mau tidak mau menjadi tugas dan tanggung jawab otoritas Gereja yang berweweng untuk menyelesaikannya baik melalui prosedural pembatalan (nulitas) mapun pemutusan nikah.  
       
    • Norma-norma Pastoral[12]
    • Kursus persiapan dibuat untuk mempersiapkan keluarga-keluarga yang baik dalam peri kehidupannya di tengah-tengah gereja dan masyarakat. Kursus ini memberikan pemahaman yang baik dan jelas mengenai martabat luhur perkawinan dan hidup berkeluarga, khususnya kepada muda-mudi yang saat ini sedang hidup dalam perkembangan zaman ini, dalam mana banyak pengaruh negatif yang merendahkan martabat dan mereduksi nilai-niliai hakiki dari perkawinan dan padangan terhadap manusia, sehingga menjerumuskan keluarga pada kehancuran.  
    • Pertanyaannya siapa yang bertanggungjawab atas usaha ini? Kan. 1063 memberikan jawabannya demikian : "Para gembala jiwa-jiwa wajib mengusahakan agar komunitas gerejawi masing-masing memberikan pendampingan kepada umat beriman kristiani, supaya status perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Pendampingan itu terutama harus diberikan:
      dengan khotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda serta dewasa, juga dengan menggunakan sarana-sarana komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman kristiani mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani dan tugas suami-istri serta orangtua kristiani;
      dengan persiapan pribadi untuk memasuki perkawinan, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas dari statusnya yang baru;
      dengan perayaan liturgi perkawinan yang membawa hasil agar dengan itu memancarlah bahwa suami-istri menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cinta kasih yang subur antara Kristus dan Gereja-Nya;
      dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memeli-hara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di da-lam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh.
       
       Melalui rumusan kanon di atas, beberapa hal penting yang perlu diperhatikan terkait dengan tindakan pastoral kursus persiapan perkawinan, yakni:
       
    • Kanon ini menegaskan bahwa para gembala dan seluruh komunitas umat ber-iman bertanggungjawab untuk mengusahakan hidup perkawinan yang didasar-kan pada semangat Kristiani. Bantuan ini tidak hanya diberikan bagi mereka yang akan menikah, melainkan juga kepada mereka yang telah menikah supa-ya dapat menghidupi secara mendalam misteri perkawinan mereka. Kalau dikatakan bahwa yang bertanggungjawab atas hidup perkawinan seluruh umat beriman adalah gembala umat (Uskup dan imam) dan seluruh komunitas umat beriman, itu berarti diperlukan kerjasama yang baik dan maksimal antara para gembala dan umat beriman. Contohnya, para imam sedapat mungkin melibat-kan partisipasi mereka yang telah menikah dan para ahli, agar dengan bantuan dan keahliannya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi pemelihara-an institusi perkawinan. Misalnya para dokter, ekonom, psikolog, moralis, dll. Praktek yang sering terjadi adalah biasanya para imam terpaksa menjadi nara-sumber untuk semua hal-hal praktis tersebut, yang bukan merupakan kompe-tensinya. Akibatnya, seringkali kursus perkawinan dilangsungkan secara kilat dan pokok pembicaraannya pun tidak mendalam.    
    • Kanon ini mengingatkan bahwa institusi perkawinan dan kehidupan berkeluar-ga memiliki arti yang sangat fundamental bagi komunitas seluruh umat beriman dan bagi evangelisasi masyarakat. Apalagi, bila hal itu diperhadapkan dengan masalah-masalah aktual perkawinan dewasa ini.
    • Kanon memberikan empat contoh konkrit yang dapat ditempuh yakni: pertama, katekese menyeluruh mengenai perkawinan untuk seluruh umat beriman. Kedua, persiapan dan katekese khusus untuk mereka yang mau dan akan me-nikah. Ketiga, perayaan liturgi perkawinan. Keempat, bantuan serta dukungan yang setelah pernikahan.  Oleh karena itu, bagi mereka yang sedang mempersiapkan perkawinan hendaknya memandang dan menghayati persiapan dan katekese perkawinan sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Sebab melalui kursus ini mereka dipersiapkan untuk memahami perka-winan sebagai sebuah sakramen dan konsekuensinya, mendalami dimensi interpersonal perawinan, dan menghidupi makna prokreasi dan edukasi sebagai bagian dari tujuan per-kawinan.
       
    • Norma-norma Iuridis[13]
    • Yang menjadi tuntuan iuridis dari persiapan perkawinan adalah:
    • Penyelidikan sebelum pernikahan dilangsungkan
    • Salah satu tujuan utama dari persiapan perkawinan adalah untuk meneliti dan menye-lidiki kelayakan untuk diberkati dan diteguhkannya sebuah perkawinan secara sakramental. Gembala umat sebagai penyidik kanonik bertugas untuk menjalankan fungsi ini sebagaimana ditegaskan dalam Kan. 1066. Mereka berperan untuk memberikan kepastian moral untuk nantinya dapat melangsungkan perkawinan ini secara sah dan layak, karena merasa yakin tidak ada ha-hal yang dapat membatalkan dan membuat perkawinan tidak layak. Kepastian moral ini menjadi prasyarat untuk menjaga kesakralan perkawinan. Karena itu, penyelidikan kanonik perlu dan harus dilaksanakan sebaik mungkin.
    • Penyelidikan ini dilaksanakan sesuai dengan norma-norma yang ditentukan oleh Konfe-rensi para uskup yang berwewenang (Kan. 1067). Adapun hal-hal berikut ini yang menjadi perhatian istimewa dalam penyelidikan kanonik ialah:
  • Terkait dengan halangan-halangan nikah. Di sini, penyidik kanonik berusaha memastikan apa saja yang menjadi halangan-halangan yang dapat menggagalkan pernikahan, sebagaimana tercantum dalam Kan. 1083-1094. Nah, cara lain yang bisa digunakan untuk mencari tahu status liber dari calon nikah adalah melalui pe-ngumuman nikah di gereja (Kan. 1022), supaya umat dapat memberikan bantuan bilamana diketahui ada hal-hal yang menghalangi pernikahan.   
  • Kebebasan dari kedua belah pihak yang akan menikah. Di sini, penyidik kanonik berusaha memastikan apakah pernikahan ini dikehendaki atas dasar kehendak bebas ataukah dari paksaaan orang lain.
  • Menguji pemahaman dan penghayatan calon nikah tentang ajaran Katolik. Terkait dengan itu, penting juga dibuat kursus persiapan perkawinan untuk memberikan pemahaman yang memadai tentang pokok-pokok iman kepada calon nikah. Kiranya, kasus perkawinan campur dan beda agama mendapatkan perhatian khu-sus tentang hal ini.
  • Bila penyelidikan itu dilakukan dalam keadaan darurat, hendaknya memperhatikan Kan. 1068. Di sana di tegaskan bahwa penyelidikan darurat hanya diberikan kepa-da mereka yang sedang sakit keras, menjalani opersi yang berbahaya, berangkat dalam medan pertempuran, bencana alam dan hal lain yang menyebabkan hidup yang bersangkutan ada dalam bahaya dan kematian.
  • Bila penyelidikan itu dilakukan oleh pastor yang bukan pastor paroki, hendaknya memperhatikan Kan. 1070. Kanon ini menegaskan bahwa setelah penyelidikan selesai, seluruh hasil dan berkas penyelidikan kanonik yang disertai dengan tanda tangan pastor penyidik, dikirimkan kembali.         
    • Kewajiban umat beriman
    • Umat beriman wajib melaporkan bilamana ditemukan adanya halangan dalam sebuah pernikahan sebagai bentuk tanggungjawabnya untuk menjaga kesakralan pernikahan dan melindunginya dari berbagai macam penipuan yang akan muncul (Kan. 1063). Upaya ini se-sungguhnya merupakan bentuk cintakasih dan penghargaan yang tinggi dan luhur terhadap martabat perkawinan. Kendati demikian, ada beberapa kekecualian yang tidak mewajibakan umat beriman memberitahukan adanya halangan nikah meskipun sifatnya krusial, yakni: pertama, halangan nikah yang bersumber dari rahasia pengakuan. Kan. 893 dengan tegas menyatakan bahwa rahasia sakramental tidak dapat diganggu gugat. Kedua, halangan per-nikahan yang bersumber dari rahasia jabatan. Misalnya seorang dokter tidak berkewajiban memberitahuan adanya halangan nikah yang ia ketahui dalam rangka tugas. Ketiga, jika pemberitahuan akan adanya halangan justru akan mengakibatkan kerugian besar bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Keempat, jika pemberitahuan itu tidak akan ada gunanya lag
    • Dispensasi dari pengumuman
    • Semua perkara ini diserahkan kepada Konferensi para Uskup masing-masing wilayah. Dalam hal ini, sampai saat ini KWI sendiri belum mengeluarkan norma-norma mengenainya. Jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dapat menggunakan statuta atau kebijakan-kebijakan pastoral keuskupan masing-masing, bilamana ketentuan-ketentuan yang mengatur perkara ini dibahas dan diberlakukan untuk ordinaris wilayah bersangkutan. Namun demikian, dispensasi dapat diberikan jika dinilai sangat urgen dan mendesak terkait dengan kasus-kasus tertentu.
    • Kasus-Kasus perkawinan yang membutuhkan izin dari Ordinaris wilayah
    • Tentang hal ini diterangkan sangat jelas dalam Kan. 1071, sebagai berikut:
    • 1. Kecuali dalam kasus mendesak, tanpa izin Ordinaris wilayah, janganlah seseorang meneguhkan:
       perkawinan orang-orang pengembara;
       perkawinan yang menurut norma undang-undang sipil tidak dapat diakui atau tidak dapat dirayakan;
       perkawinan orang yang terikat kewajiban-kewajiban kodrati terhadap pihak lain atau terhadap anak-anak yang lahir dari hubungan  sebelumnya;
       perkawinan orang yang telah meninggalkan iman katolik secara terbuka;
       perkawinan orang yang terkena censura;
       perkawinan anak yang belum dewasa tanpa diketahui atau secara masuk akal tidak disetujui oleh orangtuanya;
       perkawinan yang akan dilangsungkan dengan perantaraan orang yang dikuasa-kan, yang disebut dalam kan. 1105.
        2. Ordinaris wilayah jangan memberi izin untuk meneguhkan perkawinan orang yang secara terbuka meninggalkan iman katolik, kecuali telah diindahkan norma yang disebut dalam kan. 1125, dengan penyesuaian seperlunya.
       
    • Sehubungan dengan pernyataan kanon di atas, dua unsur mendasar yang mendapat perhatian khusus yakni unsur kemendesakan dari perkawinan yang akan diselenggarakan dan peranan Ordinaris wilayah dalam memberikan izin sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk membantu proses peneguhan perkawinan.
    • Perkawinan orang-orang muda.    
    • Kan. 1072 menegaskan,"Para gembala jiwa-jiwa hendaknya berusaha menjauhkan kaum muda dari perayaan perkawinan sebelum usia yang lazim untuk melangsungkan perkawinan menurut kebiasaan daerah yang diterima."
       
    • Dari rumusan di atas, pada prinsipnya para gembala berusaha menjauhkan kaum muda dari perayaan perkawinan di bawah umur, seturut kebiasaan dan daerah setempat. Namun, bila itu terjadi, maka persetujuan dan restu orangtua dan izin dari Ordinaris wilayah seperti tercantum dalam Kan. 1071 1, sangat diperlukan agar peneguhan itu dapat dilangsungkan.
    • Implikasi Pastoral bagi Persiapan Perkawinan Kanonik
  • Kita telah membahas secara mendalam apa itu perkawinan, hakekat, tujuan, dasar dan sifat-sifatnya dan idealisme gereja tentang persiapan perkawinan yang seharusnya dibuat oleh petugas pastoral (para imam). Berikut ini adalah ulasan tentang implikasi pastoral sehubungan dengan persiapan perkawinan kanonik dalam rangka menenuhi tuntutan gambaran idealisme gereja mengenai perkawinan, serta mengkritisi praktek persiapan perkawinan yang tidak dilakukan secara maksimal dan cenderung serba kilat. 
  • Di beberapa paroki hal ini mungkin dapat kita jumpai. Kerapkali pastor paroki kurang memberikan waktu, pikiran dan tenaga yang cukup untuk mempersiapkan sebuah proses per-kawinan dengan pelbagai alasan yang sering tidak masuk akal. Yang sering terjadi ialah satu minggu sebelum peneguhan nikah, persiapan nikah baru dilangsungkan atau penyelidikan kanonik dibuat 1 atau 2 hari menjelang peneguhan nikah. Di samping itu pula, kebisaan para pastor bekerja single fighter yang kurang melibatkan umat dalam reksa pastoral juga mem-pengaruhi kualitas persiapan perkawinan yang dibuat. Padahal umat dapat dilibatkan untuk upaya ini, sejauh mereka memiliki kompetensi yang dapat dihandalkan terkait dengan bidang-bidang praktis hidup perkawinan yang tidak dikuasai oleh para imam.
  • Menanggapi hal tersebut di atas, maka beberapa usulan yang dapat kami ketengahkan sebagai bentuk implikasi pastoral, tanggungjawab dan perhatian yang serius dari seorang pe-tugas pastoral perihal hidup perkawinan. Kami sungguh menyadari bahwa bila mana suatu persiapan pernikahan dibuat dengan baik dan berkualitas, maka membawa dampak yang baik pula bagi kehidupan keluarga di tengah-tengah gereja dan masyarakat. Karena itu, usulan-usulan tersebut sebagai berikut:
  • Hendaknya dalam masa persiapan dibuat kursus perkawinan yang lengkap dan kom-prehensif serta dilakukan dengan jangka waktu yang cukup panjang. Kursus perkawin-an seperti ini penting dibuat sebagai sarana katekese yang baik tentang perkawinan menurut ajaran Gereja Katolik. Dengan tujuan agar muda-mudi yang akan menikah sungguh-sungguh merasa siap (baik dari segi batiniah maupun lahiriah) untuk diteguh-kan dalam Sakramen Perkawinan, karena mendapat insight dan pemahaman yang baik dan benar tentang perkawinan kanonik, sehingga akhirnya dapat membangun sebuah keluarga Kristiani sejati yang terbendung dari arus negatif zaman.   
  • Penyelidikan Kanonik hendaknya dibuat secara serius dan dilakukan jauh hari sebelum peneguhan nikah. Seringkali para petugas pastoral salah kaprah tentang "penyelidikan kanonik." Mereka memandang penyelidikan kanonik sebagai akhir dari proses kursus persiapan perkawinan. Tidak heran bila hal itu dibuat satu atau dua hari menjelang pe-neguhan nikah. Akibatnya, proses penyelidikan kanonik tidak berjalan secara maksimal dan tidak memenuhi tuntutan norma iuridis Gereja sebagaimana tercantum dalam KHK, sehingga dapat dipahami ada banyak halangan-halangan nikah yang lolos dari proses persiapan tersebut. Apalagi bila diperhadapkan dengan kasus-kasus yang menghen-daki sebuah pernikahan cepat dilangsungkan karena hamil duluan atau pindah tempat sebagai konsekuensi dari tuntutan profesi. Padahal, kanon sendiri menegaskan bahwa proses penyelidikan kanonik itu dibuat seiring dengan lamanya persiapan perkawinan itu berlangsung. Artinya, penyelidikan kanonik adalah bagian integral dari persiapan per-kawinan dan merupakan inti dari persiapan itu sendiri.      
  • Membentuk Dewan Pastoral Keluarga. Pentingnya membentuk semacam dewan pas-toral keluarga di paroki-paroki untuk menjawab dan mengatasi persoalan-persoalan hidup keluarga pada zaman ini. Kehadiran mereka juga dapat diandalkan untuk memper-siapkan sebuah proses perkawinan yang sah dan layak. Misalnya dalam sesi-sesi kur-sus perkawinan, khususnya berkaitan dengan hal-hal praktis di luar jangkauan para pe-tugas pastoral, alangkah baiknya mereka dilibatkan sesuai dengan kompetensi masing-masing. Anggotanya bisa saja seorang dokter, ekonom, psikolog, pendidik, dsb. Pere-krutan anggota dewan pastoral keluarga ini juga perlu mempertimbangkan peri kehi-dupan mereka yang baik di dalam gereja dan masyarakat. Intinya, dari hidup perkawin-an sendiri mereka bebas dari halangan dan permasalahan.    

 

Penutup

 

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa, sebuah pertunjukan yang hebat selalu berasal dari sebuah persiapan yang tidak kelihatan namun dibuat secara serius dan matang. Hal ini hendak menegaskan bahwa segala sesuatu yang baik perlu dipersiapkan dengan matang. Demikian juga dalam hidup perkawinan atau berkeluarga. Apabila hal itu dipersiapkan dengan sungguh-sungguh, baik melului institusi gereja maupun berangkat dari kesadaran pribadi, ma-ka kehidupan keluarga akan berjalan dengan baik sesuai maksud dan tujuannya. Sikap yang diharapkan dari calon nikah selama proses persiapan itu adalah keterbukaan dan kejujuran. Dengan bersikap terbuka dan jujur, para calon nikah telah membantu petugas pastoral untuk menutup ruang bagi halangan-halangan nikah, dan mempersempit persoalan hidup perkawin-an di kemudian hari.

 

Di akhir tulisan ini baiklah kita bermenung sejanak dari syair yang ditulis oleh Kahlil Gilbran tentang hidup perkawinan, sebagai berikut :

  

Perkawinan

 

Berpasangan engkau telah diciptakan

 

Dan selamanya engkau akan berpasangan.

 

Bersamalah dikau tatkala Sang Maut merenggut umurmu.

 

Ya, bahkan bersama pula kalian dalam ingatan sunyi Tuhan.

 

Namun biarkan ada ruang antara kebersamaan itu,

 

Tempat angin surga menari-nari di antaramu.

 

Berkasih-kasihlah, namun jangan membelenggu cinta.

 

Biarkan cinta itu bergerak senantiasa, bagaikan air hidup,

 

Yang lincah mengalir antara pantai kedua jiwa.

 

Saling isilah piala minumanmu,

 

Tetapi jangan minum dari satu piala

 

Saling bagilah rotimu,

 

Tetapi jangan makan dari pinggan yang sama

 

Bernyanyilah dan menarilah bersama dalam segala sukacita

 

Hanya biarkanlah masing-masing menghayati ketunggalannya

 

Tali rebana masing-masing punya hidup sendiri,

 

Walau lagu yang sama sedang menggentarkannya.

 

Berikan hatimu, namun jangan saling menguasakannya,

 

Sebab hanya Tangan Kehidupan yang akan mampu mencakupnya

 

Tegaklah berjajar, namun jangan terlampau dekat;

 

Bukankah tiang-tiang candi tidak dibangun terlalu rapat.

 

Dan pohon jati serta pohon cemara

 

Tiada tumbuh dalam bayangan masing-masing.

 

Kutipan "MEMBANGUN KELUARGA KRISTIANI"

  

Daftar Pustaka

 

Adi Hardana, Timmotius I Ketut. Kursus Persiapan Perkawinan. Jakarta: Obor, 2010.

 

Christie, Anthony. Mau Menikah di Gereja Baca Buku Ini!. Cet-1. Yogyakarta: Charissa Publisher, 2013.

 

Rubiayatmoko, Robertus. Perkawinan Katolik Menurut Kitab Hukum Kanonik. Cet-2. Yogya-karta: Kanisius, 2012.

 

Sujoko, Albertus. Teologi Keluarga: Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris Consortio. Cet-1. Yogyakarta: Kanisius, 2011.

 

Tim Pusat Pendampingan Keluarga "Brayat Minulyo" Keuskupan Agung Semarang. Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga. Cet-8. Yogyakarta: Kanisius, 2013.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun