Mohon tunggu...
lilo marcelinus
lilo marcelinus Mohon Tunggu... Guru - Un Solo Dios Basta

Selamat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkawinan Katolik

2 Januari 2021   08:58 Diperbarui: 2 Januari 2021   09:03 2112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dari rumusan kanon di atas, ada tiga elemen yang menunjukan sifat (ciri hakiki) dari perkawinan Katolik yakni :[8]

 

  • Kesatuan (unitas). Sifat ini menunjuk unsur unitif dan monogam perkawinan. Artinya, melalui perkawinan keduanya menjadi satu persona 'suami-isteri'; satu daging -- sejiwa seraga dan hanya dilakukan antara seorang lelaki dan seorang perempuan. Konsekuensinya, poligami dan poliandri ditolak.

 

  • Tak terceraikan (inddissolubilitas). Sifat ini menekankan bahwa perkawinan Katolik hanya dapat diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau ke-duanya. Gagasan ini memperoleh pendasaran biblisnya dalam Mat. 19:6; Mrk. 10:9). "Apa yang disatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan manusia." Sifat tak terceraikan perkawinan ini dibedakan menjadi dua: Pertama, Indissolubilitas absoluta yaitu jika ikatan perkawinan tidak dapat diputuskan oleh kuasa mana pun kecuali oleh kematian. Satu-satunya perkawinan yang memiliki sifat ini ada-lah perkawinan yang telah disempurnakan dengan ratum et consummatum (bdk. Kan. 1141).  Kedua, Indissolubilitas relativa, artinya ikatan perkawinan ter-sebut memang tak terputuskan atas dasar konsensus suami-istri, kecuali oleh otoritas gereja dan karena alasan tertentu seperti yang diatur dalam Kanon (bdk. Kan. 1143-1147; 1148; 1149)
  • Sakramental. Artinya, perkawinan menjadi tanda kehadiran Allah yang menye-lamatkan serentak menjadi lambang relasi kasih antara Kristus dan Gereja. Sifat sakramental ini dimulai sejak terjadinya konsensus antara dua orang yang dibaptis yang melangsungkan perkawinan.
  • Dasar Perkawinan

Dasar dari perkawinan Katolik adalah kesepakatan atau konsensus membuat perkawin-an. Hal ini ditegaskan dalam Kan. 1057 demikian,

1. Kesepakatan pihak-pihak yang dinyatakan secara legitim antara orang-orang yang me-nurut hukum mampu, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun.

2. Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perka-winan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.

                                                                                         

Rumusan kanon di atas, pada intinya hendak menegaskan bahwa kesepakatan atau konsensus hanya akan membentuk perkawinan bilamana itu dilakukan dengan sungguh-sungguh (consensus verus), penuh (consensus plenus), dan bebas (consensus liber). Arti-nya, perkawinan itu menjadi sah secara legitim bila dilakukan atas dasar kesepakatan nikah antara dua pribadi yang berbeda seksualitas, tanpa adanya paksaan dari pihak luar ataupun halangan dan larangan untuk menikah, dan dinyatakan secara publik dan sah menurut norma-norma hukum yang berlaku.[9] Konsekuensinya adalah tidak adanya konsensus atau adanya cacat, menyebabkan perkawinan tidak sah. 

  

  • Halangan-Halangan Perkawinan

 

Halangan-halangan perkawinan dibedakan dalam dua kategori. Pertama, halangan ni-kah dari hukum ilahi. Artinya, halangan ini bersumber dari kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah, yang kemudian dideklarasikan secara eksplisit oleh kuasa legislatif tertinggi Gereja dalam KHK (bdk. Kan. 1075). Secara doktrinal, halangan-halangan tersebut menyangkut: impotensi seksual yang tetap (Kan. 1084), ikatan perkawinan sebelumnya (Kan. 1085), dan hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (Kan. 1091 1). Kategori ini tidak dapat didispensasi oleh otoritas Gereja. Kedua, halangan nikah dari hukum gerejawi. Artinya, halangan-halangan yang bersumber dari ketetapan dan otoritas Gereja, yang sengaja diciptakan dan diatur dalam undang-undang (KHK) untuk menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Menurut KHK, halangan-halangan itu meliputi halangan umur (Kan. 1083), beda agama (Kan. 1086), tahbisan suci (Kan. 1087), kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (Kan. 1088), penculikan (Kan. 1089), kriminal (Kan. 1090), hubungan darah garis menyamping (Kan. 1091 2), hubungan semenda (Kan. 1092), kelayakan publik (Kan. 1093), dan pertalian hukum (Kan. 1094). Semua halangan kategori jenis ini dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwewenang sesuai ketentuan yang berlaku.[10] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun