Mohon tunggu...
Lilis Edah Jubaedah
Lilis Edah Jubaedah Mohon Tunggu... Guru - Guru di SMPN 1 Cilegon

Saya Lilis Edah Jubaedah, Lahir di Purwakarta, 26 Agustus 1965. Pekerjaan saya Guru di SMPN 1 Cilegon. Hobby saya menulis, walapun belum mahir. Konten yang saya sering tulis apa saja yang berhubungan dengan rasa kekhawatiran diri terhadap lingkungan sekitar. Jenis tulisannya ada puisi, cerpen, opini, esai, atau apa saja yg menurut saya cocok dengan kontennya. Tapi hanya sekadar menulis saja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pupuk Bersubsidi

20 Februari 2023   06:30 Diperbarui: 20 Februari 2023   06:37 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Assalamualaikum, ini betul rumahnya Pak Ita?" tanya seorang polisi.

"Waalaikum salam, betul. Ada yang bisa saya bantu?" jawab Ibu Wati dengan hati yang    degdegan. Baru saja pulang sekolah tamu yang datang polisi.  

"Pak Ita nya ada?" polisi bertanya lagi.

"Kebetulan lagi ada di kantor KUD. Silakan bapak ke sana saja. kantornya di pinggir jalan raya, di sebelah kanan kalau arah dari sini," Ibu Wati menjelaskan dengan rinci. Walau hatinya penasaran dan tetap degdegan.

Setelah menerima penjelasan dari Ibu Wati, kedua polisi itu berpamitan pergi meninggalkan rumah Ibu Wati, untuk menemui langsung Pak Ita di kantor KUD.

Mendadak langit menjadi mendung. Awan terasa menghitam. Tidak turun hujan, tapi rasanya hujan sudah turun dengan deras. Ibu Wati terus memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi.

"Kenapa si bapak dicari polisi. Ada apa ya? jangan-jangan si bapak melakukan hal-hal yang tidak baik. Tapi ah, tidak mungkin. Selama ini dia selalu baik dan tanggung jawab. Apa ada hubungannya dengan KUD ya. mudah-mudahan si bapak tidak kenapa-kenapa. Aamiin YRA," Ibu Wati menutup kekhawatirannya dengan harapan dan do'a.

Tak berapa lama, kedua polisi itu datang kembali ke rumah, tapi kali ini bersama Pak Ita. Tapi Pak Ita berjalan biasa saja, tidak diborgol. Dan ternyata, kedua polisi itu akan berpamitan kepada Ibu Wati untuk membawa Pak Ita ke Kantor Polisi Kota Purwakarta.

"Punten, Ibu. Ini bapak akan saya bawa dulu ke kantor polisi. Ada beberapa hal yang akan saya tanyakan kepada Pak Ita, insya Allah tidak lama. Ibu tidak usah khawatir ya, do'akan saja bapak tidak apa-apa, permisi pinjem dulu bapak ya, ini surat perintah saya," katanya kedua polisi itu pergi sambil membawa Pak Ita.

Hati ibu Wati rasanya seperti diseret ke lembah yang curam. Suaminya dibawa polisi. Orang-orang yang ada dan melihat kejadian itu mulai melancarkan aksi bisik-bisiknya, dengan pandangan yang terlihat seolah-olah Pak Ita adalah pesakitan yang baru saja tertangkap basah.

Ibu Wati segera masuk dan menutup pintu, tidak begitu memperdulikan gunjingan orang-orang. Walau agak resah, tapi dalam hatinya tetap yakin bahwa suaminya tidak pernah melakukan hal-hal yang tidak sesuai ajaran agama atau aturan dan norma hukum.

Sambil membereskan masalah pekerjaan rumah, biasa ibu Wati sepulang mengajar selalu yang menjadi fokus itu adalah anak-anak dan rumahnya. Karena dengan bekerja pun ibu Wati tidak punya pembantu. Dengan anaknya yang tiga orang sudah diajarkan berbagi pekerjaan. Siapa yang bagian menyapu, mencuci, dan beberes rumah.

"Bu, kenapa bapak dibawa Pak polisi? Bapak berbuat curang?" tanya Eulis, anaknya yang paling kecil masih duduk di kelas 3 SD.

"Ibu juga kurang tahu, De. Semoga saja bapak tidak apa-apa, bapak kan orangnya juga jujur. Tidak mungkin melakukan hal tidak sesuai ajaran agama," jawab Ibu Wati meyakinkan anaknya.

"Terus Bu, gimana kita kalau bapak nggak pulang?" tanya anak yang kedua, Erna yang duduk di kelas 6 SD.

"Sudah kita berdo'a saja semoga bapak tidak apa-apa, dan pulang ke rumah ini," Ibu Wati menenangkan anak-anaknya.

Laila, anak yang paling besar tidak banyak bicara. Dia diam bukan berarti tidak peduli, tapi dia merasa bahwa kalau ikut khawatir seperti adik-adiknya, pasti hanya akan menambah keresahan ibunya dan adik-adiknya.

Ashar sudah lewat, Pak Ita tidak juga kunjung pulang. Laila tahu bagaimana rasa gelisah ibu dan adik-adiknya. Dia mencoba ikut menenangkannya.

"InsyaAllah paling abis maghrib bapak pulang, ya Bu?" katanya di sela-sela heningnya suasana.

"Iya, insyaAllah ya. kita berdoa saja ya," Ibu Wati dengan agak tergagap menanggapi omongan Laila.

Matahari sudah semakin ke barat, lembayung berwarna jingga menghiasi langit menjemput malam. anak-anak yang mau pergi mengaji sudah mulai jalan beriringan menuju majlis atau mushola yang biasa digunakan untuk anak-anak mengaji, ini berarti maghrib sudah hampir tiba. Tapi Pak Ita yang ditunggu keluarganya belum juga pulang. Ada apa gerangan?

"Ya Allah lindungi suami hamba," Bu Wati berdoa dalam hatinya.

"Bagaimana jadinya kalau sampai suami saya tidak pulang, ya Allah?" Bu Wati terbiasa mengadu kepada Yang Maha Pengasih.

"Sudah hampir maghrib, tapi belum ada kabar apa pun tentang suami saya. Haruskah saya menyusul ke tempat polisi tadi. Tapi di mana kantornya, saya tidak tahu, ya Allah. Tolong lindungi suami saya, ya Allah," Bu Wati tidak ada hentinya berdoa untuk keselamatan suaminya.

Suara adzan maghrib yang berkumandang seakan menambah kekhawatiran Bu Wati tengtang suaminya. Tambahlah pikirannya melayang ke segala penjuru kira-kira. "Kira-kira apa ya yang terjadi? Ada apa dengan suami saya? Kok sampai wayah gini belum pulang juga? Kira-kira bakal pulang gak, ya? Kira-kira suami saya salah apa, ya? Apa yang dilakukan suami saya hingga dibawa ke kantor polisi. Jangan-jangan suami saya ...., ah jangan sampai, ya Allah. Astaghfirullahaladziim. Semoga tidak terjadi apa-apa. Aamiin YRA.

Banyak prasangka buruk yang bersarang di kepala Bu Wati mengenai suaminya yang selama ini tidak pernah neko-neko. Suami yang sangat baik buat Bu Wati dan anak-anaknya. Untuk Bu Wati, Pak Ita adalah orang yang sangat perhatian dan bijaksana. Walau pun keras kepala, tapi Pak Ita adalah orang yang penyayang dan sangat baik terhadap siapa pun terutama anak-anaknya. Jadi, baru sebentar saja tidak ada, seolah sudah lama sekali perginya. "Sekali lagi ya Allah, semoga Engkau melindungi Pak Ita suami saya. Aamiin YRA," Bu Wati tetap berdoa memohon perlindungan dari Allah untuk suaminya.

Memang kalau lagi kurang tenang rasanya waktu itu sempit. Tak terasa, adzan isya sudah berkumandang. Lagi-lagi waktu berlalu seperti kilat, perginya sangat cepat. bu Wati dan anak-anaknya melakukan salat isya berjamaah. Malam ini anak-anak Bu Wati tidak disuruh pergi mengaji ke mushola. Entahlah, Bu Wati merasa khawatir dengan suaminya hingga anaknya pun tidak disuruhnya pergi mengaji. Padahal biasanya kalau anaknya tidak pergi mengaji, pasti dipaksanya. Tapi kali ini dia membiarkan anak-anaknya berkumpul di rumah dengan aktivitas yang dilaksanakan secara bersama-sama.

Selesai melaksanakan salat isya, anak-anak belajar dengan bimbingan Bu Wati. Kan memang Bu Wati adalah seorang guru. Jadi anak-anaknya belajar di rumah tapi serasa di sekolah. Walau beda kelasnya. Saking asyiknya belajar, tak terasa mereka satu persatu ketiduran, sampai akhirnya semuanya tertidur di tempat mereka belajar, bukan di kamar. Bu Wati yang semula memaksakan diri untuk terus terjaga, akhirnya menyerah karena yang ditunggu tak kunjung datang.

***

Tiba-tiba di dapur terdengar suara panci jatuh. "Gubrak!" suara itu telah membangunkan Bu Wati dari tidur nyenyaknya. "Astaghfirullah, ya Allah ternyata kami ketiduran, padahal kami menunggu seseorang yang tak kunjung pulang. Bagaimana kabarnya dia, ya Allah?" Bu Wati bangun dan bicara setengah bergumam.

Karena baru menyadari kalau dia ketiduran, maka dia mengecek segala pintu kalau-kalau belum dikunci. Tapi ternyata semua sudah terkunci. Kemudian melirik jam dinding, sudah pukul 01.00 WIB. Penasaran, dibukalah gorden jendelanya. Mengintip ke luar dengan cahayanya terang bulan, agak remang kalau di teras rumahnya. "Lho, kok kayak ada orang di teras itu. Coba saya lihat dulu, siapa tahu orang yang butuh bantuan. Bismillah, ya Allah semoga orang baik yang kemalaman," Bu Wati pelan-pelan membuka pintu.

"Ya Allah, Bapak! Bapak! Pak! Bangun! Ya ampun, kok malah tidur di teras, kenapa tidak ketuk pintu. Ayo bangun, kita ke dalam. Masuk angin nanti," Bu Wati membangunkan suaminya.

"Bu! alhamdulillah akhirnya ada yang bukain pintu," dengan keadaan yang masih lelah, Pak Ita akhirnya bangun," Waduh, ibu tega ya sama bapak, segitu diketuk-ketuk berapa kali ini pintu, gak ada yang bukain. Mentang-mentang tidak ada bapak, semuanya tidur nyenyak, ya kan?" menutupi kelelahannya Pak Ita meledek Bu Wati.

"Ya, Allah terima kasih banyak, Engkau telah mengembalikan suami saya. Hanya Engkau Yang Maha Pengasih dan Penyayang," tak lupa Bu Wati menengadahkan tangan bersyukur kepada Allah.

Akhirnya Bu Wati dan Pak Ita masuk ke dalam rumahnya. Tak lupa mereka melakukan salat malam dulu sebelum melanjutkan tidurnya. Walaupun Bu Wati meminta diceritakan kejadian apa yang menimpa suaminya, Pak Ita tetap menyarankan besok saja, "Karena sekarang sudah malam, dan bapak merasa lelah, jadi besok saja bapak ceritakan lengkap gak ada yang ditutupi. Sekarang mah bapak juga mau meneruskan tidur yang tadi ibu ganggu," Pak Ita menjelaskan kondisinya.

"Terus, tadi bapak pulang jam berapa?" Bu Wati penasaran.

"Jam 12.00 WIB, hanya karena sudah keliling ketuk pintu, jendela, dan pintu depan, tidak ada yang jawab, akhirnya bapak memutuskan tiduran di teras saja, kebetulan ada tiker teras, ya sudah pake tiker ini bapak tidur. Mungkin saking lelahnya. Jadi tidak terasa dingin dan gigitan nyamuk, lupa deh, kalau bapak tidur di teras," jelasnya panjang lebar.

"Oh, ya sudah atuh kalau begitu mah. Sekarang kita tidur saja ya," Bu Wati menyetujui.

Pagi buta Bu Wati sudah bangun, terbiasa bangun sebelum subuh, maklum orang kerja tidak punya pembantu. Jadi segalanya berbicara. Sibuk dengan persiapan untuk sarapan dan perlengkapan pekerjaannya di sekolah. Terutama kebutuhan anak-anaknya. Apalagi hari ini ada yang sangat dia tunggu yaitu cerita tentang suaminya yang sudah dijanjikan kalau hari ini akan diceritakan lengkap. Tapi kalau pagi tidak mungkin, karena kesibukan. Mungkin siang pulang sekolah. Rasanya sudah pengen segera siang saja saking penasarannya sama cerita suaminya.

"Mengingat ibu harus ke sekolah dulu, jadi cerita tentang bapak, siang sepulang sekolah ibu, ya," Ibu Wati menawarkan waktu kepada suaminya.

"Iya, siap ibu guru," Pak Ita meledek Bu Wati.

"Anak-anak, ayo siap berangkat, takutnya telat," Bu Wati mengingatkan anak-anaknya.

Di sekolah Bu wati kayaknya kurang tenang. Sebentar-sebentar lihat jam dinding. Dirasakannya waktu berjalan lambat. Kebalikan dari kemarin. Kemarin perasaan waktu suaminya dibawa polisi, waktu itu berlalu seperti kilat. Tapi hari ini waktu berjalan lambat seperti kura-kura. Resah dan gelisah penuh penasaran dengan kejadian yang menimpa suaminya kemarin. Kepengen mendapat penerangan yang sejelas-jelasnya, biar 'tidak ada dusta di antara kita'. Biar orang-orang tahu bahwa suaminya tidak bersalah. Tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan.

Sepulang sekolah Bu Wati sudah tak bisa lagi menahan kesabaran untuk mendengarkan cerita suaminya. Tak menunggu lama, dia langsung melakukan salat dhuhur, biar suaminya pulang dari masjid, dia pun sudah siap mendengarkan cerita dengan tenang.

Setibanya di rumah, Pak Ita tidak lupa mengucap salam. Dan biasanya setelah dari masjid, makan siang dulu. Kebiasaannya begitu. Bu Wati baru engeuh kalau urutannya pasti makan dulu. "Waduh, harus makan dulu kayaknya, kalau begitu ceritanya belum bisa buru-buru dong," Bu Wati Mengguman setelah menjawab salam.

"Makan dulu, Bu," Pak Ita meminta disiapkan makan.

"Siap, bapak!" Bu Wati segera menyiapkan makan siangnya.

Tidak mewah sih, hanya telor dadar yang super lebar sudah dibagi menjadi lima iris. Supaya cukup untuk makan sekeluarga. Dadar telor yang khas dengan irisan bawang merah dan cabe, cukup ditambah garam sedikit, itu dadar telor, bikin makan sepiring penuh, habis. Entahlah nikmatnya dadar telor yang tak tergantikan. Bukan karena peling enak, tapi memang jamannya itu hanya telor makanan yang paling mewah.

Bu Wati semakin penasaran sama cerita suaminya. Sampai-sampai makannya cepet sekali. Mungkin kunyahannya tak seperti biasanya, tiga puluh dua kunyahan. Saking sudah tak tahan ingin segera mendengar cerita suaminya yang terus menggangu pikirannya.

"Pak, selesai makan ceritanya ya," Bu Wati gak sabar.

"Iya, siap!" jawab Pak Ita pendek.

"Di sini saja ya, biarin nanti beresin bekas makannya, selesai cerita baru beresin piring dan merapihkan tikernya. Penasaran sama cerita bapak. Takutnya keburu ada keperluan lain. Akhirnya tidak jadi cerita, mumpung kita lagi kumpul" Bu Wati khawatir.

"Kenapa bapak dibawa pak polisi, kemarin? Apa bapak melakukan suatu kesalahan?" Bu Wati mengawali pertanyaannya.

"Jadi, bapak ini dituduh sudah menggelapkan uang Pupuk Bersubsidi. Karena uang pupuk bersubsidi yang seharusnya disetor ke BRI, tidak pernah disetorkan. Dan di kantor pusat diketahui bahwa KUD Linggasari tidak pernah setor. Padahal yang bapak tahu, orang-orang yang mengambil pupuk itu selalu membayarnya ke bendahara. Nah, karena uangnya dianggap digelapkan, maka bapak terpaksa harus memenuhi panggilan kejaksaan untuk mempertanggungjawabkan keuangan tersebut. Untung bapak punya data setoran dari pelanggan. Karena setiap orang datang menyetorkan uang cicilan pupuk, bapak bikin catatan lain. Tadinya tidak sengaja. Awalnya kalau ada yang bayar, bendahara tidak ada, bapak catat dibuku lain dulu. Nanti kalau bendaharan datang, bapak setor ke bendahara," Pak Ita Tarik nafas.

"Terus?" Bu Wati tambah penasaran.

"Lama kelamaan, jadinya kebiasaan. Kalau ada yang bayar, walaupun ada bendahara, bapak tetap mencatat, walaupun uangnya setor ke bendahara." Pak Ita menghisap rokoknya.

"Terus?" Bu Watu geregetan.

"Nah, kemarin itu bapak diperiksa sebagai saksi karena bapak ketua KUD. Jadi selama delapan jam itu ditanya-tanya masalah pupuk yang dikirim pusat ke KUD Linggasari, lengkap dengan kwitansi dan pembukuan yang bapak punya. Itu pun dari bendahara. Kalau kuitansi kan bapak foto copy dari yang aslinya. Sebenarnya hanya karena khawatir ada sesuatu, bapak punya backupannya," katanya lagi sambil tarik nafas dan mengisap rokoknya.

Terus?" Bu Wati pengen segera sampai di bagian akhirnya.

"Nah, karena catetan di bapak lengkap, jumlah orang yang mengambil dan membayar akur. Karena catatan bendahara dengan catatan bapak sama. Bedanya hanya ditulisannya saja. kan yang dibendahara tulisan tangan Bu Dedeh, sedangkan yang bapak pegang, ya memang catatan bapak. Jadi tulisan bapak. Lengkap tanda tangan setoran ke bendahara yang bapak terima dari langganan yang bayar, ada tanda tangan Bu Dedehnya kalau uangnya sudah diterima dia. Jadi, mau dibolak-balik pertanyaannya juga bapak mah tetap kuat argumennya. Tidak ada yang bisa menyalahkan. Catetan lengkap, nama pelanggan sama akur, jumlah cicilan sesuai yang dibayarkan ke bendahara. Dan bendahara juga mencatatnya sama. Tidak ada yang beda. Artinya, tidak ada kesalahan sedikitpun di bapak. Malah bapak dapat pujian kalau sebagai ketua waspada pada kondisi KUD dengan menyiasatinya secara cerdas atas dasar kesadaran dalam menjaga harta yang dititipkan negara ke KUD yang bapak pimpin," Pak Ita tarik nafas dan menghisap rokonya lagi.

Terus?" Bu Wati tidak sabar.

"Ya. akhinrnya dijemputlah Bu Dedeh ke rumahnya. Dari jam Sembilan malam sampai selesai giliran dia. Yang akhirnya terungkaplah kalau uang tersebut terpakai oleh bendahara sendiri tanpa sepengetahuan ketua. Itu pun awalnya berbelit-belit. Tapi karena datanya lengkap dan kesaksian bapak juga cukup lengkap, maka akhirnya Bu Dedeh dinyatakan tersangka. Bapak gak bisa bilang apa-apa. Kaget, kaget banget. Kok bisa Bu Dedeh melakukan hal itu. Padahal dia bukan keluarga kekurangan. Bapak gemeter dengernya. Bapak tidak bisa membayangkan bagaimana ayahnya kalau tahu bahwa anaknya jadi tersangka dan dibui dua tahun lamanya," jelas Pak Ita penuh iba.

Dia akhirnya minta maaf sama bapak. Setelah itu dia dibawa ke Bandung, dimasukan ke dalam penjara. Dan bapak diantarkan pulang ke rumah. Rombongan yang membawa Bu Dedeh langsung menuju Bandung." Pak Ita tarik nafas dan menghabiskan rokonya.

"Ya Allah, jadi Bu Dedeh pelakunya?" seraya bersyukur karena yakin suaminya terbukti tidak bersalah.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun