Mohon tunggu...
Liliek Purwanto
Liliek Purwanto Mohon Tunggu... Penulis - penulis

-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kebudayaan adalah Tunawisma yang Berpindah-pindah Penampungan

14 Februari 2024   17:47 Diperbarui: 22 Februari 2024   18:05 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kebudayaan. (Sumber gambar: Kompas/Riza Fathoni)

Kebudayaan adalah sisi kehidupan yang kerap dipuja-puji lantaran dianggap menggambarkan kehidupan manusia yang bernilai tinggi. Namun, di sisi lainnya, kebudayaan acap diperlakukan sekadarnya, entah karena apa.

"Nasib" kebudayaan di Indonesia kini tampak cukup merana. Namun, bisa saja berubah di masa mendatang. Kita telah mendengar pertanda itu disuarakan para calon pemimpin bangsa.

Setidaknya, dua pasangan calon (paslon)  presiden dan wakil presiden yang tengah "beradu kekuatan" di ajang pilpres 2024 menyatakan dukungan yang tidak main-main terhadap perkembangan kebudayaan.

Mumpung suasana pilpres belum berlalu, yuk, belajar sedikit ilmu menyangkut netralitas dalam pemilu.

Para paslon itu bertekad menjadikan kebudayaan sebagai kementerian tersendiri. Mereka tidak ingin lagi menyaksikan kebudayaan terus-terusan "menumpang" di kementerian lain seperti praktik dalam pemerintahan selama ini.

Satu paslon yang lain tidak secara langsung menyatakan hal serupa. Saya menduga satu di antara dua kemungkinan ini yang terjadi.

Kemungkinan pertama, paslon itu pernah menyatakannya entah kapan dan di mana, sementara saya tidak mengetahuinya.

Kemungkinan kedua, mereka memang tidak pernah mengucapkannya secara verbal atau menuliskannya dengan huruf-huruf yang terbaca oleh mata. Namun, barangkali, di dalam hati mereka telah tercatat sebuah tekad untuk menjunjung kebudayaan bangsa, entah bagaimana caranya.

Kebudayaan adalah "Anak Telantar" dengan "Uang Jajan" Sekadarnya

Benarkah kebudayaan tidak mendapat tempat yang selayaknya di bumi Indonesia? Ada beberapa hal yang bisa memberi petunjuk bagaimana kebudayaan diperlakukan.

Petunjuk pertama datang dari status kebudayaan di dalam pemerintahan. Hingga saat ini, "kehidupan" kebudayaan masih "merana". Ia tetap menjadi "tunawisma" yang harus "menumpang di rumah orang", dan berpindah-pindah pula.

Kita bisa telusuri kenyataan ini dengan melihat unsur kebudayaan dalam sistem pemerintahan di negara kita. Suatu saat, kebudayaan menjadi "anak angkat" periwisata. Pada kesempatan lain, pendidikan yang menjadi induk semangnya. Pendek kata, kebudayaan tak pernah punya "rumah" sendiri sehingga harus dinaungi kementerian bidang lainnya.

Petunjuk kedua tersirat dalam data berwujud angka. Kita bisa lihat misalnya dalam RUU APBN tahun 2024.

Saat ini, ketika kebudayaan sedang "menumpang" di Kementerian Pendidikan, program pemajuan dan pelestarian bahasa dan kebudayaan mendapat "jatah" anggaran sebesar Rp 3,06 triliun saja. Dana sebesar itu hanya 3,14% dari total rencana anggaran yang digelontorkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Meskipun melihat "kehidupan" kebudayaan yang tampak memprihatinkan, tak perlu kita terlalu larut dalam kesedihan. Setidaknya, kita tidak sendirian menempatkan kebudayaan dalam posisi demikian. Negara-negara tetangga kita, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh, juga menerapkan kebijakan yang tidak lebih ramah ketimbang negara kita.

"Tetangga kecil" kita, Brunei Darussalam misalnya, menempatkan urusan kebudayaan di Kementerian Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Contoh lain adalah Vietnam yang memasukkan sektor kebudayaan dalam satu kementerian bersama sektor olahraga dan pariwisata.

Jangan lupa menyimak kabar baik dari arena sepak bola, bakal ada di pemerataan Liga 1 2024-2025.

Kebijakan serupa berlaku juga di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng itu, urusan kebudayaan juga digabung dengan urusan-urusan olahraga dan pariwisata dalam satu kementerian.

Soal Budaya, Jangan Meniru Rusia

Sekilas saya teringat sebuah lelucon menyangkut kebudayaan yang beredar di zaman perestroika melanda Rusia. Kala itu terbit buku "kebebasan bercanda" yang sempat mengguncang dunia, Mati Ketawa Cara Rusia. Lelucon tentang Kementerian Kebudayaan merupakan salah satu cerita menggelitik di dalamnya.

Kira-kira, begini kisahnya.

Pemerintah Cekoslowakia minta bantuan Uni Soviet untuk membangun Kementerian Kelautan. Negara Beruang Merah itu sangat terkejut. Untuk apa negara yang tak memiliki laut ingin punya Kementerian Kelautan.

Masih ingat nggak, apa jawaban Ceko?

"Bukankah Uni Soviet punya Kementerian Kebudayaan?"

Nah, lho.

Kalau mau menikmati sajian humor lainnya, silakan rasakan kocaknya penerapan frugal living di hutan belantara.

Sabar, jangan lekas tersinggung. Lelucon itu sama sekali tidak berkaitan dengan bangsa kita. Indonesia jelas berbeda dengan Rusia di masa itu dalam urusan budaya.

Negara kita dikenal memiliki beragam kebudayaan yang tak terhitung jenis dan jumlahnya. Barangkali, membentuk Kementerian Kebudayaan bukan suatu kemubaziran.

Apakah Harus Ada Kementerian Kebudayaan?

Jadi, apakah sebaiknya kita membentuk kementerian baru khusus untuk mengurusi kebudayaan? Atau membiarkannya berjuang mengubah nasibnya sendiri?

Sebelum beranjak ke sana, kita tengok sejenak definisi kebudayaan yang disampaikan dua orang ahli di bidang ini.

1. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan, dan kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

2. Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, dan karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.

Sekilas saja kita cermati, kedua antropolog itu menunjukkan bahwa lingkup kebudayaan itu sangat luas. Kebudayaan tidak sekadar berwujud barang-barang dan kesenian peninggalan nenek moyang.

Bayangkan, kebudayaan, kata Tylor, mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat, kemampuan, dan kebiasaan-kebiasaan. Betapa luas ruang lingkup kebudayaan.

Hampir serupa, Koentjaraningrat memasukkan gagasan dan rasa, tindakan, dan karya sebagai bagian dari kebudayaan. Bukankah kebudayaan meliputi hampir semua sendi kehidupan?

Berkaca pada definisi kebudayaan yang (ternyata) tak sesempit daun kelor, rasanya sektor ini butuh ruang yang lebih lapang. Kalau masih bergantung pada "kementerian yang baik hati" yang mau memberi tumpangan, perhatian terhadap kebudayaan tak akan meningkat signifikan. Apalagi jika porsi "uang jajan" yang diterimanya dari sang induk semang masih segitu-segitu saja.

Saat ini sulit berpikir untuk mengembangkan budaya-budaya baru. Sumber daya yang ada bahkan tak cukup dipakai untuk menjaga warisan budaya nenek moyang yang segudang. Bukankah mendorong kreativitas penduduk Indonesia (untuk melahirkan budaya-budaya baru) tak bisa dilakukan hanya bermodal kata-kata?

Namun, bersiaplah untuk tidak terlalu kecewa bila harapan belum kunjung kesampaian. Mencermati program-program para bakal pimpinan, hampir semua sektor kehidupan hendak dikembangkan pada tataran yang signifikan. Kita doakan saja, semoga tersedia cukup dana dan sumber daya lainnya.

Bagaimanapun, menilik luas cakupannya, kebudayaan adalah sektor kehidupan yang perlu mendapatkan perhatian lebih besar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun