Petunjuk kedua tersirat dalam data berwujud angka. Kita bisa lihat misalnya dalam RUU APBN tahun 2024.
Saat ini, ketika kebudayaan sedang "menumpang" di Kementerian Pendidikan, program pemajuan dan pelestarian bahasa dan kebudayaan mendapat "jatah" anggaran sebesar Rp 3,06 triliun saja. Dana sebesar itu hanya 3,14% dari total rencana anggaran yang digelontorkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Meskipun melihat "kehidupan" kebudayaan yang tampak memprihatinkan, tak perlu kita terlalu larut dalam kesedihan. Setidaknya, kita tidak sendirian menempatkan kebudayaan dalam posisi demikian. Negara-negara tetangga kita, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh, juga menerapkan kebijakan yang tidak lebih ramah ketimbang negara kita.
"Tetangga kecil" kita, Brunei Darussalam misalnya, menempatkan urusan kebudayaan di Kementerian Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Contoh lain adalah Vietnam yang memasukkan sektor kebudayaan dalam satu kementerian bersama sektor olahraga dan pariwisata.
Jangan lupa menyimak kabar baik dari arena sepak bola, bakal ada di pemerataan Liga 1 2024-2025.
Kebijakan serupa berlaku juga di Korea Selatan. Di Negeri Ginseng itu, urusan kebudayaan juga digabung dengan urusan-urusan olahraga dan pariwisata dalam satu kementerian.
Soal Budaya, Jangan Meniru Rusia
Sekilas saya teringat sebuah lelucon menyangkut kebudayaan yang beredar di zaman perestroika melanda Rusia. Kala itu terbit buku "kebebasan bercanda" yang sempat mengguncang dunia, Mati Ketawa Cara Rusia. Lelucon tentang Kementerian Kebudayaan merupakan salah satu cerita menggelitik di dalamnya.
Kira-kira, begini kisahnya.
Pemerintah Cekoslowakia minta bantuan Uni Soviet untuk membangun Kementerian Kelautan. Negara Beruang Merah itu sangat terkejut. Untuk apa negara yang tak memiliki laut ingin punya Kementerian Kelautan.
Masih ingat nggak, apa jawaban Ceko?
"Bukankah Uni Soviet punya Kementerian Kebudayaan?"