Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga berfungsi sebagai salah satu cara utama untuk menghasilkan lelucon. Jika sekian lama kita "dibuai" oleh guyonan-guyonan berbahan baku fisik, kini semakin menjamur panggung-panggung stand up comedy yang sangat mengandalkan bahasa verbal sebagai sarana penghasil kelucuan.
Di masa jayanya, Srimulat telah "didaulat" sebagai salah satu dan mungkin yang terbesar di negeri ini grup lawak pengusung komedi fisik, meskipun tentu saja lelucon verbal juga mereka tampilkan. Saya mengingat sebuah contoh skenario lelucon modal fisik yang entah sudah berapa puluh kali dipanggungkan.
Dua orang pembantu, kini lebih sering disebut ART (asisten rumah tangga) tengah mengobrol sembari mengibas-ngibaskan serbet membersihkan permukaan meja di ruang tamu. Setelah ngobrol biasa sesaat, lalu tiba saatnya "action".
Salah seorang di antara keduanya mulai menggunjing majikan mereka. Apa yang terjadi kemudian? Amat gampang ditebak. Sang majikan yang digunjing muncul di belakang sang penggunjing. Karena si penggunjing tidak menyadari kehadiran majikannya, terus saja ia nyerocos dengan perkataan-perkataan yang semakin menohok sang majikan. Kelanjutan dari skenario ini, Anda tentu sudah hafal di luar kepala.
Kembali ke pembahasan komedi verbal. Beberapa bahan baku andalan para pelawak tanah air adalah perbedaan bahasa atau dialek antara satu suku bangsa dengan suku bangsa lainnya di negeri kita. Komunikasi lisan yang melibatkan orang-orang dari dua atau lebih suku bangsa dengan bahasa atau dialek masing-masing cukup potensial mengundang tawa.
Secara pribadi, saya juga memiliki beberapa bahan cerita yang menurut saya cukup lucu pada saat itu berkaitan dengan bahasa dan dialek antar budaya yang berbeda.
Dekat Kali, Bang!
Semasa kuliah di Yogya dulu, saya mempunyai seorang teman kos berasal dari daerah Sumatra Utara. Seperti biasa, sore ketika tidak ada jadwal kuliah, beberapa anak kos ngumpul di teras. Yang belum sempat membaca berita hari ini, sibuk membolak-balik halaman KR (harian Kedaulatan Rakyat). Entah beneran baca berita atau hanya nyari iklan pembeli barang loak, saya tak tahu.
Akhirnya masuklah kami ke pembicaraan khas anak kos, topiknya warung makan yang murah dengan porsi banyak. Teman kami yang dari Sumatra Utara, sebut saja namanya Binsar, bilang ada warung baru dengan kriteria seperti itu.
"Dekat kali, Bang!" katanya sembari mengacungkan jari telunjuknya ke arah barat. "Di sebelah sana!"
"Lho, kalinya kan di sebelah sana, Mas." Seorang kawan, Yanto namanya, berusaha mengoreksi dengan menunjuk ke arah selatan.
"Apa maksud kau?" tanya Binsar.
"Tadi kan sampeyan bilang warungnya dekat kali. Kalinya kan di sebelah selatan, bukan sebelah barat."
Keduanya lantas beradu urat mempertahankan pendapatnya masing-masing. Tak ada yang mau mengalah karena keduanya merasa benar.
Setelah sekian lama debat kusir tiada akhir, baru terkuak persoalan yang sebenarnya sedang menimpa dua orang teman saya itu. Si Binsar mengatakan warungnya dekat kali bukan karena berada di sebelah atau sekitar kali alias sungai. Namun yang dimaksudkannya adalah dekat sekali alias deket banget. Memang begitulah gaya bahasa Batak.
Sementara itu si Yanto ngotot  mengartikan dekat kali adalah berada di sekitar sungai. Dalam pikirannya yang terlintas adalah Selokan Mataram, sebuah kali atau sungai kecil di kota Yogya yang berada tak jauh di arah selatan dari tempat kos kami.
Padahal, sekarang justru banyak tempat makan dekat sungai atau malahan di atas sungai atau danau yang menu dan suasananya menguras isi kantong. Tentu tak cocok untuk mahasiswa sekelas kami kala itu. Maklum, tujuan orang makan tidak selalu untuk mengenyangkan perut.
Jika Mau Naik Kereta, di Mana Stasiunnya?
Kisah berikut ini masih menyangkut kawan kami Binsar. Kali ini kami sedang antre kamar mandi di pagi hari. Si Binsar yang telah dijemput seorang kawannya tampak tak sabar.
"Ayo cepatlah, kawan. Sudah terlambat aku ini!" kata Binsar sembari sedikit menggedor pintu kamar mandi.
"Emang mau ke mana, sih?" tanya saya.
"Eh, tanya atau meledek ini. Ya, kuliah lah." Jawabnya agak sewot.
Karena si Eman tak kunjung keluar dari kamar mandi, kembali Binsar melayangkan ujarannya, "Cepat, cepat! Aku sudah ditunggu kawan ini. Hari ini aku tak ada kereta untuk kuliah!"
Hah, tak ada kereta katanya.
"Lho, mau kuliah ke mana to, Mas?!" Kali ini Yanto nimbrung pembicaraan.
Pertanyaan Yanto membuat Binsar semakin gusar. "Apa kau pikir selama ini aku kuliah di bawah jembatan?!"
"Bukan begitu, Mas. Tadi kan sampeyan bilang ndak ada kereta hari ini untuk kuliah. Memangnya kuliahnya jauh ke luar kota?"
"Bah, tak kaulihat kah setiap hari aku pergi kuliah ke kampus naik kereta? Ada apa kau ini?!"
Usai capek debat kusir, barulah "misteri kereta" terkuak. Ternyata, dalam komunikasi di daerah Sumatra Utara sana, mereka menyebut sepeda motor dengan istilah kereta. Oh, pantas saja. Harap maklum, waktu itu tempat main kami kurang jauh.
Untung kami belum sempat menanyakan di sebelah mana letak stasiunnya. Lagipula, tak pernah saya lihat ada rel menuju kampus.
Pergi ke Pajak Setiap Hari Â
Cerita yang akan saya sampaikan berikutnya masih belum lepas dari keterkaitan dengan dialek orang daerah Sumatra bagian utara. Namun periodenya telah jauh melompat ke masa kerja, bukan lagi di zaman mahasiswa. Saya memperoleh bahan guyonan ini kala berdinas di salah satu kota di ujung utara pulau Sumatra beberapa tahun silam.
Suatu ketika seorang teman kantor mengelak ketika kami mengajaknya mengadakan suatu acara di Minggu pagi. Zulkarnain, teman kami yang biasa kami panggil Pak Zul itu mengemukakan alasannya.
"Jangan pagi kali. Aku sudah ada janji mau antar istri ke pajak. Istriku tiap hari ke pajak sendirian, tak enak sekali-sekali ke pajak hari Minggu tak aku antar."
"Lho, memangnya kantor pajak buka hari Minggu? Lagi pula setiap hari ke kantor pajak ngapain?" Saya sungguh heran ada orang setiap hari ke kantor pajak. Seingat saya, Pak Zul pernah bilang istrinya ibu rumah tangga, bukan pegawai kantor pajak.
"Ah, Bapak bilang kantor pajak pula. Maksud aku ke pajak beli sayur untuk dimasak."
Rupanya, Pak Zul menyadari adanya perbedaan istilah di antara kami. Maka, ia pun menerangkan bahwa dalam bahasa setempat, pasar yang merupakan tempat orang berjual beli segala macam barang kebutuhan sehari-hari itu dinamakan pajak.
Oalah, pasar to. Bilang, dong!
Itulah sedikit di antara sekian banyak lelucon yang pernah saya dengar atau bahkan saya alami sendiri berkaitan dengan perbedaan bahasa. Saya yakin, Kompasianer pasti punya banyak pengalaman semacam itu. Hal yang lumrah mengingat kita berada dalam sebuah negara dengan jumlah bahasa daerah yang amat banyak. Jumlah bahasa daerah yang telah dipetakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebanyak 652 bahasa. Itu belum termasuk dialek dan sub dialek.
Bahkan, Summer Institute of Linguistics menyebut jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah dan 707 di antaranya masih aktif dituturkan. Sungguh, sebuah negeri dengan kekayaan bahasa yang melimpah.
Jumlah bahasa yang demikian banyak tentu tidak harus disikapi dengan menjaga jarak di antara para pemakainya. Bahkan, kelucuan-kelucuan yang ditimbulkan olehnya acap kali menjadi sarana guyon yang menambah keakraban.
Referensi: 1.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H