Mohon tunggu...
Anifa
Anifa Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Ide

Saya suka menulis untuk menumpahkan isi pikiran dan hati.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Selingkuh dalam Hati

15 November 2023   11:18 Diperbarui: 15 November 2023   11:34 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kelana diam cukup lama. Matanya menatap tajam ibunya yang sedari tadi kembang kempis dengan air mata yang masih menetes di depannya. Wanita itu mengepalkan tangan kanannya dan sesekali meninju dadanya yang terasa sesak. Sementara itu, bapaknya duduk di kursi kayu anyaman plastik sekitar dua meter dari keduanya. Sambil mengepulkan asap rokok kreteknya, Sudarto menerawang jauh ke arah halaman rumahnya yang masih basah habis tersiram air hujan. Beberapa gelas kopi yang menyisakan 'letak' masih berserakan di atas meja. Sisa abu rokok pun masih tertumpuk di atas asbak bersama dengan puntung Sukun Putih. 

"Ibu sudah punya firasat. Ibu sudah mewanti-wanti supaya dia hati-hati, kok malah begini jadinya. Kok bisa-bisanya dia suka sama suami orang. Istrinya bahkan sampai datang ke sini sama mertuanya. Mau ditaruh di mana muka ibu ini. Apa kata orang-orang nanti?"

Kelana diam karena sudah lelah. Sebelumnya, dia mengulang-ngulang kalimatnya supaya ibunya tak berprasangka buruk dulu pada Tari. Lagian Tari juga tidak di rumah. Akan lebih adil kalau pihak keluarga menunggu penjelasanya dia dan kemudian mengambil tindakan. Menilai perkara hanya dari satu sumber saja itu tak pernah membawa keadilan. Dengarkan kedua sisi, baru setelah itu nilai baik dan buruk bisa dijatuhkan. 

Sambil menghela napas jengah, Kelana berjalan ke arah kursi tempat ayahnya duduk kemudian dia ikut duduk di kursi sebelahnya. Lelaki tua ini terlalu menyukai rokok. Entah sudah berapa puntung yang dia hisab sejak para tamu tadi itu pergi. 

"Bapak tunggu Tari dulu. Telepon dia. Dengarkan penjelasannya dan setelah itu baru kita bisa tahu duduk perkara yang sebenarnya. Siapa tahu istri Mohari hanya berprasangka. Istri memang kaya gitu. Suami yang nakal yang disalahkan wanita lain."

"Bapak tahu. Nanti bapak akan telepon Tari. Dia sepertinya tidak berani pulang karena perkara ini." 

Dengan suara yang tak biasanya kalem, lelaki tua ini menyelesaikan hisapan rokoknya dan kemudian menatap Kelana dengan pandangan yang mengisyaratkan banyak makna. 

"Kamu bagaimana, Nduk? Orang tuamu juga sudah tua begini. Sekarang usiamu sudah sangat pantas untuk menikah atau malah sudah kelewat. Telinga bapak sudah puas mendengar omongan tetangga. Kalau kamu tidak menikah, bagaimana kami? Bagaimana kamu? Bagaimana nasib adikmu? Lagian kemarin Abdul juga datang untuk minta izin pada bapak? Dia itu anak baik, soleh, pekerjaan juga sudah ada. Kalian juga seusia kan? Apa lagi? Jangan terlalu banyak ngejar karir. Sudah saatnya kamu mikir masa depanmu." 

Kelana hanya diam seribu bahasa. Bukankah hari ini yang sedang menjadi subjek masalah adalah Tari? Tapi, kenapa selalu saja dia yang salah karena memutuskan untuk menunggu lelaki yang tepat untuk dia nikahi.

.......

Skandal Tari dan Mohari, si pegawai kecamatan itu, mulai tersebar keesokan harinya. Banyak tetangga yang sudah mulai berkumpul di dapur-dapur dan bawah pohon bergunjing menyalahkan Tari yang menyukai suami orang. Tari adalah anak gadis dengan karir bagus yang bekerja di sebuah kantor pengacara di kabupaten, lalu kenapa dia masih mengejar lelaki yang sudah beristri. Pihak keluarga tak tahu harus mulai dari mana menghadapi gunjingan-gunjingan negatif ini. Mereka tak mungkin memberikan penjelasan satu per satu kalau Tari sebenarnya tak begitu salah dalam perkara ini. Anak gadis itu hanya mengagumi seorang lelaki yang kata dia "dewasa". Dia hanya berinteraksi secukupnya saja dan sadar tentang posisinya. Hanya saja, Mohari punya terlalu banyak masalah dan tak bisa menumpahkannya pada istrinya. Akhirnya, dia mencari pelarian dan yang dia dapatkan adalah anak gadis dengan segala keluguannya tentang cinta. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun