Mohon tunggu...
Lidya Rahmawati
Lidya Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo, selamat membaca...

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskriminasi Antara Warga Pribumi dan Warga Etnis Tionghoa

12 Desember 2021   11:54 Diperbarui: 12 Desember 2021   12:00 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

BAB I

PENDAHULUAN

 

1.1 Latar Belakang

Kebencian warga pribumi dengan etnis Tionghoa dari masa ke masa tetap ada. Jakarta merupakan Ibu Kota Indonesia yang banyak sekali masyarakatnya yang memegang agama atau kepercayaannya yang berbeda-beda. Indonesia sendiri dikenal sebagai negara yang memiliki beragam agama salah satunya yaitu Tionghoa. Masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda ke Indonesia. 

Hubungan masyarakat Tionghoa sebelum kedatangan Belanda sangat baik. Warga pribumi dan masyarakat Tionghoa selalu melakukan kerja sama dalam bisnis dagang atau bisa disebut juga sebagai rekan dagang. Semenjak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) datang ke Indonesia hubungan masyarakat Indonesia dengan masyarakat Tionghoa mulai buruk. Hal tersebut dikarenakan VOC lebih mementingkan untuk bekerja sama dengan masyarakat Tionghoa daripada masyarakat pribumi.

Berbagai konflik etnis Tionghoa dengan masyarakat pribumi terjadi bukan karena dari masing-masing kedua kelompok tersebut untuk bermusuhan tetapi karena bentuk kepentingan politik yang ada di Indonesia. 

Hal tersebut terjadi pada tahun 1998 tepatnya di Jakarta terdapat banyak oknum-oknum yang mempermasalahkan etnis Tionghoa sebagai penyebab dari kebijakan pemerintah seperti yang terjadi pada tahun 1998 yaitu krisis ekonomi dan kenaikan harga barang dan jasa. 

Pada masa itu konflik pada tahun 1998 disebut dengan tragedi Trisakti. Tragedi Trisakti terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Tragedi ini telah menargetkan etnis Tionghoa sebagai sasaran untuk melakukan pemerkosaan, penjarahan dan pembakaran rumah atau toko etnis Tionghoa.

Pada saat itu masa telah melakukan penjarahan-penjarahan di tempat pusat perbelanjaan seperti mall dan toko dari etnis Tionghoa yang kemudian dibakar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Masa telah menyerang daerah Glodok yang menjadi pusat etnis Tionghoa bermukim dan berdagang. Kerusuhan tersebut menyebabkan kerugian yang sangat parah bagi etnis Tionghoa.

1.2 Rumusan Masalah

  1. Apa yang dimaksud dengan konflik sosial?
  2. Bagaimana keadaan etnis Tionghoa pada saat terjadi kerusuhan tahun 1998?
  3. Apa yang menyebabkan terjadinya kerusuhan tahun 1998?

1.3 Tujuan

  1. Untuk menjelaskan tentang konflik sosial yang terjadi pada etnis Tionghoa pada tahun 1998.
  2. Untuk menganalisa tentang kerusuhan di Pasar Glodok pada tahun 1998.
  3. Memberikan penjelasan mengenai dampak dari Kerusuhan Mei 1998 pada etnis Tionghoa.

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Pengertian Konflik Sosial

Konflik sosial berasal dari bahasa latin "configere" yang artinya saling memukul. Secara umum konflik sosial merupakan sebuah pertentangan antara individu atau kelompok sosial yang terjadi karena ada maksud dan tujuan tertentu yang bersifat menyeluruh di kehidupan sehari-hari. 

Konflik sosial adalah suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.[1] Dari pengertian konflik sosial yang sudah disebutkan menurut saya konflik adalah suatu kontravensi yang dapat memecah belah persatuan bangsa dan banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat

 Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa konflik adalah proses sosial dimana orang perorangan atau kelompok sosial berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan. Konflik dapat muncul karena adanya perbedaan dari orang perorangan atau kelompok sosial. 

Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali konflik. Penyebab konflik di Indonesia dapat berasal dari suku, ras, agama dan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan negara. Soerjono Soekanto (1989:90) mengklasifikasikan jenis-jenis konflik sosial. Menurut Soerjono Soekanto konflik mempunyai beberapa bentuk, yaitu:[2]

 1. Konflik Pribadi

Konflik yang terjadi dari dalam diri seseorang terhadap orang lain. Konflik pribadi biasanya ditandai dengan perasaan tidak suka terhadap orang lain yang dapat menimbulkan perasaan benci yang mendalam. Hal ini dapat mendorong seseorang untuk mengeluarkan perkataan yang tidak baik, seperti memaki, menghina, dan lain-lain. 

2. Konflik Rasial

Konflik rasial terjadi di negara yang memiliki banyak aneka ragam suku, ras dan agama. Kehidupan di dunia dapat memunculkan konflik jika perbedaan antar ras di perjelas.

3. Konflik Antar Kelas Sosial

Di Indonesia terdapat banyak kelas-kelas di masyarakat karena adanya sesuatu yang dihargai, seperti kekayaan, kehormatan dan kekuasaan. Hal tersebut menjadi dasar penempatan seseorang dalam kelas-kelas sosial, yaitu kelas sosial atas, menengah dan bawah. Jika perbedaan ini tidak dapat terjembatani maka situasi kondisi tersebut mampu memicu munculnya konflik rasial.

4. Konflik Politik Antar Golongan Dalam Satu Masyarakat Maupun Antara Negara-Negara Yang Berdaulat

Konflik politik terjadi karena golongan di masyarakat melakukan politik yang berbeda-beda pada saat menghadapi suatu masalah yang sama.

5. Konflik Bersifat Internasional

Konflik internasional terjadi karena terdapat perbedaan kepentingan yang menyangkut kedaulatan negara yang saling berkonflik. Akibat konflik ini dapat dirasakan seluruh rakyat dalam suatu negara.

2.2 Pengertian Etnis

Etnis adalah suatu penggolongan manusia berdasarkan agama atau kepercayaannya yang berdasarkan pada nilai, adat istiadat, norma dan hubungan persaudaraan. Menurut Asmore (2001) kata etnis pada dasarnya merupakan kategori sosial atau identifikasi sosial. Artinya, etnis adalah konsep yang diciptakan oleh masyarakat berdasarkan ciri khas sosial yang dimiliki sekelompok masyarakat yang membedakannya dengan kelompok masyarakat yang lain.[3] 

Terjadinya suatu etnis karena adanya garis keturunan pada suatu suku bangsa yang telah ditentukan. Selain itu ada juga yang karena suku bangsanya campuran. Artinya, terdapat percampuran ras seperti bangsa Melayu dengan Tionghoa.

2.3 Pengertian Diskriminasi

Diskriminasi secara umum adalah suatu perbuatan atau perlakuan yang tidak adil dan berbeda dari suatu kelompok masyarakat. Diskriminasi bertujuan untuk membeda-bedakan suatu kelompok atau perorangan dengan berdasarkan ras, agama, suku dan kelas-kelas sosial. 

Seseorang atau suatu kelompok melakukan diskriminasi dikarenakan adanya suatu tindakan dari kaum yang dominan atau kelas atas dalam berhubungan dengan kaum yang lemah atau kelas bawah. Menurut Wibowo (2011) diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin dan bahasa.[4]

Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa dan keyakinan politik, yang berakibat pengangguran, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan, baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan yang lain.

Pada umumnya diskriminasi dilakukan oleh kelompok etnis, ras dan agama. Diskriminasi biasanya dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Diskriminasi secara langsung telah melakukan perbedaan yang terang-terangan, seperti perbedaan perlakuan pada kaum mayoritas dengan kaum minoritas. Sedangkan diskriminasi secara tidak langsung biasanya membuat peraturan yang sifatnya adil atau netral tetapi di dalamnya tetap melakukan diskriminasi.

 BAB III

PEMBAHASAN KASUS

3.1 Konflik Mei Tahun 1998 di Pasar Glodok

Suatu konflik dapat terjadi di negara yang terdapat banyak etnis, agama, adat istiadat dan suku bangsa. Di Indonesia sudah banyak mengalami berbagai konflik, salah satunya ketika pergantian orde baru. 

Pergantian orde baru menyebabkan munculnya konflik-konflik yang bertentangan dengan perkembangan ekonomi yang semakin rapuh. Konflik ini berawal pada akhir tahun 1997 Indonesia mengalami krisis moneter, krisis ekonomi dan krisis politik. Hal tersebut membuat kesenjangan sosial ekonomi semakin dirasakan oleh masyarakat, yaitu etnis Tionghoa yang mulai terlihat sangat beruntung dan tidak kesusahan dalam ekonomi sedangkan warga pribumi mengalami kesulitan ekonomi pada masa krisis. Hal tersebut menimbulkan konflik karena tidak adanya keadilan oleh masyarakat pribumi. 

Selain itu, sikap pemerintah yang memberi kemudahan etnis Tionghoa untuk menempati tempat strategis dan layak untuk berdagang, seperti Pasar Glodok dan Onion Plaza yang terletak di Jakarta Barat. 

Di Pasar Glodok dan Onion Plaza mayoritas pedagangnya berasal dari etnis Tionghoa. Hal ini menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat.

Kebencian dan kecurigaan mulai muncul di lingkungan masyarakat dengan beredarnya bahwa etnis Tionghoa merupakan bagian dari rezim Soekarno yang menganut paham komunis. Kerusuhan Mei Tahun 1998 terjadi karena sentimen anti Tionghoa yang sudah ada sejak lama yang dimanfaatkan untuk memicu kerusuhan akibat krisis moneter di Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itu beredar isu bahwa etnis Tionghoa penyebab krisis moneter di Indonesia. 

Hal tersebut diedarkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Tuduhan tersebut berdasarkan pada informasi mengenai etnis Tionghoa yang membawa uang rakyat ke luar negeri dengan sengaja dan telah menimbun sembako yang menyebabkan warga pribumi kelaparan dan miskin. Pada saat itu dilihat dari perekonomian, etnis Tionghoa secara meteri lebih sukses dibandingkan dengan warga pribumi. Hal tersebut membuat timbulnya kebencian warga pribumi terhadap etnis Tionghoa.

Pada tanggal 12 Mei Tahun 1998 mahasiswa dari Universitas Trisakti melakukan demo untuk menuntut reformasi dari segi ekonomi, politik dan melengserkan Soeharto. Pada saat aksi empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas terkena tembakan dari aparat. Empat korban tersebut yaitu, Elang Mulia Lesmana, Hendrawan Sie, Hafidin Royan dan Hery Hartanto. Tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti tidak membuat mahasiswa lengah dalam menuntut keadilan. Pada tanggal 13 Mei Tahun 1998 mahasiswa kembali melakukan aksi. Mereka mulai merusak fasilitas publik dan membakar toko-toko di dekat Universitas Trisakti.

Aksi kembali dilakukan pada tanggal 14 Mei Tahun 1998 yang sudah meluas dilakukan di daerah Jakarta. Salah satunya di daerah Pasar Glodok, Jakarta Barat. Masa mulai menghampiri Pasar Glodok dan Orian Plaza melakukan penjarahan, pengrusakan dan pembakaran. 

Para pedagang di daerah Pasar Glodok tidak khawatir adanya kerusuhan di Pasar Glodok karena jauh dari pusat lokasi aksi di dekat Universitas Trisakti. 

Pada pukul 10.00 WIB, tiba-tiba masa mulai berkumpul di daerah Pasar Glodok dari berbagai arah. Para pedagang dihimbau oleh satpam untuk segera menutup toko dan menyelamatkan diri. Masa mulai beramai-ramai memasuki Pasar Glodok dan Orian Plaza. Masa mulai melakukan pengrusakan dan menjarah barang-barang elektronik yang ada di Orian Plaza. Setelah itu, masa membakar Pasar Glodok dan Orian Plaza.

Menurut Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) pada saat kerusuhan terdapat berbagai kelompok yang memicu terjadinya pengrusakan dan pembakaran di Pasar Glodok, yaitu:

1. Kelompok Provokator

Kelompok provokator adalah kelompok yang suka membuat suasana panas atau memancing emosi serta melakukan perbuatan yang anarkis dan merugikan banyak pihak. Kelompok provokator ini sudah menyiapkan senjata atau alat-alat untuk merusak fasilitas publik dan Pasar Glodok.

2. Kelompok Masa Aktif

Masa aktif adalah sekelompok orang yang sudah terpancing oleh provokator. Masa aktif ini menjadi agresif dan mengikuti arahan dari provokator untuk melakukan perbuatan yang anarkis dengan membakar dan merusak toko di Pasar Glodok.

3. Masa Pasif

Masa pasif adalah sekelompok orang yang hanya menonton peristiwa kerusuhan ini. Mereka hanya ikut-ikutan tetapi tidak sedikit masa pasif menjadi korban dari kerusuhan Mei 1998.

Kerusuhan Bulan Mei Tahun 1998 bagi etnis Tionghoa merupakan peristiwa yang memilukan bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pada konflik ini etnis Tionghoa mengalami kekerasan dan penjarahan. Selain itu, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap perempuan Tionghoa. Pada kerusuhan ini banyak perempuan etnis Tionghoa di daerah Pasar Glodok yang diperkosa secara beramai-ramai. 

Seorang aktivis relawan, Ita F. Nadia menganalisis alasan wanita Tionghoa ditargetkan sebagai sasaran utama Kerusuhan Mei 1998 adalah karena mereka lemah dan tidak dapat memberikan perlawanan.[5] Konflik ini menyebabkan diskriminasi yang sangat keji terhadap etnis Tionghoa.  Tim Gabungan Pencarian Fakta (TGPF) juga menyampaikan bahwa pada saat kerusuhan terjadi kekerasan seksual, seperti pemerkosaan. Etnis Tionghoa juga mengalami trauma yang sangat dalam akibat konflik tersebut dan mengalami banyak kerugian pada rumah yang dirusak dan barang berharga, seperti motor, mobil dan toko yang dijarah. 

Diskriminasi yang terjadi pada etnis Tionghoa pada tahun 1998 membuat B.J Habibie menetapkan kebijakan terhadap etnis Tionghoa, seperti mulai melakukan perbaikan di Pasar Glodok dan Orion Plaza supaya korban yang terkena dampak kerusuhan dapat melakukan perdagangan kembali. B.J Habibie mulai menindaklanjuti kerusuhan Tahun 1998 yang terjadi di DKI Jakarta. Setelah menyelidiki ditemukan fakta-fakta bahwa kerusuhan 14 Mei Tahun 1998 dilakukan oleh kelompok solid dengan jumlah masa yang sangat banyak dan sudah menargetkan lokasi-lokasi yang ingin dijarah, dirusak dan dibakar.

 

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kerusuhan Mei 1998 di Pasar Glodok, Jakarta Barat terjadi karena adanya krisis moneter yang mengakibatkan harga bahan pokok mahal dan langka. Kesenjangan sosial mulai muncul di lingkungan masyarakat antara masyarakat pribumi dengan etnis Tionghoa, karena etnis Tionghoa dinilai secara materi mampu memiliki kebutuhan pokok dan hidupnya kaya. 

Masyarakat pribumi yang melihat etnis Tionghoa tidak kesulitan dalam mencari kebutuhan pokok mulai berprasangka buruk terhadap masyarakat Tionghoa, misalnya masyarakat Tionghoa yang mayoritas menjadi pedagang di Pasar Glodok. Akibat dari krisis ekonomi mahasiswa melakukan demostrasi untuk menuntut pemerintah supaya segera memperbaiki perekonomian negara yang mulai lemah. 

Hal tersebut membuat masa mulai turun ke jalan dan melakukan perbuatan yang anarkis. Kerusuhan tersebut berubah menjadi gerakan anti Tionghoa. Masa telah melakukan penjarahan, pengrusakan dan pembakaran kios-kios yang ada di Pasar Glodok dan Onion Plaza yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat Tionghoa.

Kerusuhan ini cepat meluas di daerah Jakarta karena kurangnya antisipasi negara dalam menangani, mencegah dan menanggulangi kerusuhan ini yang seharusnya dapat diselesaikan secara efektif. Puncak kerusuhan Mei 1998 terjadi pada tanggal 14 Mei Tahun 1998. Masa mulai melakukan pembakaran dan pengrusakan pada kios-kios di Pasar Glodok dan Onion Plaza. Disana tidak terdapat korban tetapi banyak pedagang yang berasal dari masyarakat Tionghoa yang mengalami kerugian yang besar dan rasa trauma yang sangat dalam. Kerusuhan ini menjadi peristiwa yang memilukan bagi masyarakat Tionghoa karena selain mengalami kerugian masyarakat Tionghoa juga merasakan pedihnya kekerasan seksual yang dialami oleh wanita Tionghoa.

Agar peristiwa ini tidak terulang kembali maka sebagai pemerintah yang mementingkan kesejahteraan rakyat harus dengan cepat menangani permasalahan sosial dan masyarakat yang ada. Pemerintah harus bersikap adil terhadap warga pribumi dan etnis Tionghoa agar tidak terjadi kesenjangan sosial ekonomi. Masyarakat Tionghoa juga harus menjalin komunikasi yang baik dengan warga pribumi sehingga tidak akan menimbulkan stigma negatif yang akan berkembang di lingkungan masyarakat dan dapat membuat peristiwa ini terulang kembali.

 DAFTAR PUSTAKA

Permana, Budi. "Etnis Tionghoa Pada Masa Orde Baru: Studi Atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Tionghoa Di Jakarta (1998)." (2018).

Ram, Aminuddin. (1999). Sosiologi. Jakarta: Erlangga

Dwijayanti, R. "Diskriminasi Etnis Tionghoa Dalam Film Ngenest (Doctoral dissertation, Stikosa-AWS)." (2017).

Fuji Titulanita, Siti Sumardiati, Mr. Ratna Endang. "Kerusuhan Pasar Glodok: Studi Kasus Etnis Tionghoa Di Kelurahan Glodok Kecamatan Taman Sari Jakarta Barat)" Vol. 1 (2015).

Armiwulan, Hesti. "Diskriminasi rasial dalam hukum HAM: studi tentang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa." Genta Publishing, 2013.

St Aisyah, B. M. "Konflik sosial dalam hubungan antar umat beragama." Jurnal Dakwah Tabligh 15.2 (2014): 189-208.

Sadli, Saparinah. "Temuan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998." Komnas Perempuan, 2006.

Jusuf, Ester Indahyani. "Kerusuhan Mei 1998. Jakarta: Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA." (2005).

Setiadi, Elly M., and Usman Kolip. "Pengantar sosiologi: pemahaman fakta dan gejala permasalahaan sosial: teori, applikasi dan pemecahannya." Kencana, 2011.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun