“ Besok pagi akang pergi berangkat dengan hercules bersama teman-teman, jadi mungkin tak sempat bertemu dan berpamitan ya …sesampainya disana akang tulis surat“ jelasnya.
Tiga tahun berlalu …
Kotak surat yang sengaja ku buat dari kardus itu tak lagi mampu memuat tumpukkan surat-surat darinya yang terhenti tepat jelang kepulangannya ke Bandung. Akhirnya ia pun menyerah karena surat-suratnya yang selalu ku abaikan tak berbalas. Perasaan rindu selalu menyergap tatkala pak pos melintas depan rumah, sayangnya pak amin sang pengantar surat itu hanya memberikan anggukan jika sesekali mendapatiku berada di teras rumah”.
Seiring berhenti surat-surat kiriman darinya saat itu pula aku mulai mengenakan blazer biru persib dengan rok span pendek di atas lutut seragam sebagai salah satu Beauty Councellor produk kecantikan, pada salah satu Mall tidak jauh dari pusat kepemimpinan walikota Bandung.
Kuseret pintu kamarku, terlihat kotak surat berjejal nan berdebu itu masih setia menyambutku. Alam bawah sadarku tetap menghitung kepulangannya dari Malang ke Bandung, kerinduan setengah matiku padanya yang tak lagi memberi kabar tetap menggebu. Hitunganku seharusnya saat ini ia sudah ada di Bandung dan berharap menghubungiku.
Coba menarik sepucuk surat terakhir dari yang kuingat ia memberikan nomor telpon yang bisa aku hubungi jika aku merindukannya, seraya melepas heels dan merebahkan setengah badanku di atas dipan. Kurogoh hape Siemens candy bar, ku coba menekan tuts angka-angka yang tertera di kertas itu.
Setelah bunyi tersambung segera kututup, keberanianku diselimuti gengsi yang tak terkira.
“ah masa harus aku yang lebih dulu menghubunginya .. “ pikirku
Sedikit kulempar hape itu menempa jauh di bagian lain dari dipan tempatku rebahan.
“ah lupakan saja! Toh jika ia masih mencintaiku ia akan menghubungiku …” gumamku penuh keyakinan.
Satu siang saat jam istirahat ..