Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Beauty Artikel Utama

Merawat Lebih Baik daripada Membeli

28 November 2020   16:15 Diperbarui: 30 November 2020   04:12 720
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lahirnya Kembali Tren Pakaian Bekas 

Baju bekas punya catatan budaya yang berbeda di wilayah berbeda. Di Amerika, setelah revolusi industri, penggunaan mesin menjadikan urbanisasi yang cepat dan pada saat yang sama pemenuhan konsumsi, termasuk fesyen juga dilakukan dengan cepat. Sebagai alternatif, bermunculanlah toko-toko barang bekas. 

Memang sempat ada stigmatisasi tentang baju bekas yang tidak higienis, apalagi ditambah dengan isu ras di Amerika. Organisasi gereja yang membuat toko untuk menyumbang orang tak mampu melalui pemberian baju bekas menolong untuk mengurangi stigma tersebut. Alasan inilah yang menjadi permulaan dan sebab adanya thrift store. 

Di wilayah budaya lain seperti di Jawa, di sekitar awal abad 19 sampai dengan tahun 1970an, membeli pakaian bekas terjadi di kalangan masyarakat dengan pendapatan rendah. Baju rombengan adalah istilah yang dipakai di masyarakat Jawa. 

Baju rombeng di jual di pasar tradisional, digantung- gantung. Pemakai baju rombeng ini kemudian melakukan koreksi atau permak bila ukurannya perlu disesuaikan, atau modelnya perlu diubah.  

Bila kebesaran di daerah dada dan pinggang, baju bisa "disekeng", yaitu dijahit di bagian kupnat dari atas ke bawah. Atau dijithet, dijahit dari sebelah dalam untuk bagian pundak atau lengan. 

Nambal kain baju yang sobek juga menjadi hal yang biasa dilakukan. Atau dapat pula ditisik atau dijahit halus setik bolak balik pada bagian yang robek agar tertutup rapat lagi. Jadi, di masa itu ada proses yang perlu dilakukan sesudah baju rombengan dibeli. 

Di masa kecil, saya ingat mbok Djah dan mbok Mar'ah yang pernah bekerja di rumah kami membeli kebaya bekas di pasar dan melakukan permak. Duduk menyaksikan mereka melakukan permak baju mereka, sambil bercerita, adalah sesuatu menyenangkan.  

Namun, di masa itu, konsumsi pada fesyen di antara kelompok yang lebih beruang pun masih relatif terbatas. Baju yang memengaruhi tren pada umumnya dihasilkan oleh kota mode seperti Paris dan New York serta kota mode lainnya. 

Masyarakat dunia mengikuti mode baju yang baru melalui film Hollywood yang mereka tonton dan juga melalui media majalah mode yang hanya beredar di kota besar.

Perkembangan teknologi yang menemukan mesin-mesin pemintalan benang dan pemotong kain serta standrarisasi kualitas memungkinkan pembuatan baju jadi dengan biaya rendah dan dijual dengan harga murah pula. 

Kita mencatat negara-negara berkembang seperti Indonesia, Nepal, dan Bangladesh menjadi lokasi pembuatan baju-baju dengan harga murah tersebut karena biaya tenaga kerja, pada umumnya perempuan yang rendah. 

Waktu berjalan, mode dan tren berputar mengikuti musim, baik mingguan sampai bulanan. Artinya produk fesyen cepat berputar. Untuk itulah tren fast fesyen yang cepat berganti dan dengan kualitas rendah dan harga rendah menjadi tren.

Telegraph.co.uk
Telegraph.co.uk
Di antara generasi muda, sebut saja generasi Z yang lahir antara 1995 dan 2010, pandangan tentang baju bekas merupakan fenomena menarik. Generasi ini punya sentimen positif tentang upaya mengurangi dampak perubahan iklim, dan prihatin pada begitu banyaknya informasi terkait upag tenaga kerja fesyen yang begitu rendah, yang bekerja dalam jam kerja panjang, dan minimnya perlindungan. 

Terutama ketika terjadi ambruknya pabrik garmen di Rana Plaza di Dhaka Bangladesh di 2013 yang menjebak 3000 orang dan setidaknya 500 orang meninggal dan sebanyak 149 orang masih belum ditemukan.

Sejak itulah persoalan etika dalam perdagangan garmen bermunculan. Beberapa merek dunia seperti H&M dan GAP pun mulai membuka diri untuk meningkatkan transparansi proses produksi dan rantai nilai. 

Isu perubahan iklim juga menjadi isu besar di kalangan orang muda. Laporan McKinsey mencatat dalam "The State of Fashion 2019" menuliskan tentang kepedulian mayoritas generasi muda, yaitu 9 di antara 10 yang disurvei peduli pada isu lingkungan dan sosial. Fesyen berkelanjutan menjadi makin ramai dibicarakan. 

Memang, persoalan harga yang cenderung lebih tinggi membuat kelompok muda mencari alternatif lain. Salah satunya melalui pembelian baju bekas. Generasi Z yang memiliki kecenderungan untuk menonjolkan identitas individual membuat mereka dekat dengan baju bekas.

Murid sekolah banyak yang membeli sepatu sekolah sneakers dengan alasan banyak barang yang nyaris baru beredar di toko-toko bareng second hand. Sepatu-sepatu itu bermerek dan berharga mahal ketika baru. Adanya toko barang bekas meringankan kelompok muda yang tetap ingin ngetren atau juga hendak mengenakan baju-baju vintage.

Sementara itu, secara bersamaan, konektivitas dan penggunaan internet dan pemasaran digital menjadikan penjual produk fesyen terus meningkat. Keinginan masyarakat untuk terus trendi, berganti model dan tren dengan cepat, mengikuti perubahan model yang diperkenalkan produk dunia seperti H&M dan Zara makin deras. Instagram dan Youtube mempercepatnya.

Fesyen Berkelanjutan dan Pandemi Covid-19

Pandemi Covid-19 luar biasa dalam membolak-balikkan dan memporak-porandakan situasi dan tatanan kehidupan kita semua. Bukan hanya soal situasi sistem kesehatan, sosial ekonomi, dan pendidikan yang terguncang. Begitu pun pola hidup dan pola belanja kita bergeser. 

Dengan terbatasnya kegiatan ekonomi dan sosial karena harus mengikuti Jaga Jarak dan PSBB, fokus kita lebih pada pemenuhan belanja makanan dan kebutuhan utama yang penting. Baju menjadi urutan kesekian. Toh kita banyak bekerja dari rumah working from home. 

Hal-hal di atas disampakain Tenik Hartono, seorang jurnalis dari Prana Media Group (Femina, Gadis, Ayahbunda, Parenting Indonesia, Nora.id, Wanita Wirausaha Femina, Dapur Uji Femina, Gadis Sampul), yang lebih senang disebut sebagai pengamat fesyen dan penulis budaya ketika menyebutkan beberapa catatan tentang pergeseran fesyen di masa pandemi pada suatu peragaan busana dan gelar wicara "From Farm to Catwalk" yang diselenggarakan EMPU dalam Pekan Diplomasi Iklim yang didukung EU-POP Uni Eropa pada 31 Oktober 2020 yang lalu. 

Tenik mengatakan bahwa kebutuhan fesyen cenderung ke arah yang lebih back to basic, memperhatikan aspek fungsional ketimbang untuk kebutuhan koleksi. Pandemi membuat kita hampir tak memiliki kegiatan sosial yang perlu untuk to be seen. 

Kalaupun perlu dilihat, maka pada umumnya terbatas pada tampaknya wajah sampai ke pundak atau dada, dan berada pada wilayah rumah melalui fasilitas aplikasi Zoom atau Skype, misalnya. 

Ketika orang berbelanja pakaian, maka ini akan dilakukan dalam skala terbatas, mengingat perekonomian belum kembali normal. Juga, model baju yang dipilih cenderung yang nyaman. Untuk itu, model yang 'one fits all' mungkin bisa jadi pilihan.  

Atas situasi ini, fesyen berkelanjutan menjadi makin relevan. Memang tuntutan akan adanya fesyen berkelanjutan sudah muncul sejak generasi Z makin dewasa, sekitar 2018 dan ini jadi makin valid di masa pandemi. 

Namun demikian, definisi maupun cakupan fesyen berkelanjutan juga banyak diperdebatkan. Ini dapat dimengerti karena kita berada di tengah arus utama yang masih deras dengan hiruk pikuknya fast fashion, yang bercampur dengan isu penggunaan bahan/materi serta perilaku yang belum berkelanjutan.

Fesyen berkelanjutan seharusnya bukan hanya merupakan tren dan bukan pula hanya untuk kebutuhan pasar. Pro lingkungan dan beretika menjadi bagian dari misi fesyen berkelanjutan. 

Untuk itu kita perlu tahu siapa aktor pencipta baju kita, tahu dari mana bahannya berasal dan dikerjakan, bagaimana kualitasnya, dan dari bahan apa baju itu dibuat menjadi pertimbangan. 

Juga, aspek pro lingkungan juga dilakukan dalam cara merawat, mengemas, dan bagaimana membuangnya ketika tidak dipakai lagi.  Misalnya, ketika membungkus, apakah kita telah mempertimbangkan kemasan yang mudah diurai, yang ramah lingkungan. 

Lalu, ketika merawat baju, apakah kita menggunakan sabun yang ramah lingkungan, atau dengan deterjen yang akan mencemari air pembuangan. Tentu ini tidak mudah. Namun, upaya untuk menjalankannya tentu perlu mendapat apresiasi. 

Di masa lalu kita menggunakan lerak untuk mencuci, dan terdapat tren untuk kembali dipakai di masa kini. 

Merawat juga perlu kita perhatikan pada baju yang robek. Tidak harus semua baju yang mengalami kerusakan dan lepas benang, dalam bahasa Jawa disebut "dedel" harus masuk tong sampah. Ada cukup banyak cara untuk menyelamatkan baju kita. Saluran youtube menyediakan cukup banyak tips. 

Penggunaan stok kain yang sudah ada atau produk yang sudah ada dan membuatnya jadi lahir kembali atau menemukan pengguna baru adalah beberapa strategi yang dapat ditempuh. 

Sayangnya saat ini pemerintah belum terlalu jelas dalam memperkenalkan kebijakan fesyen berkelanjutan. Misalnya, Kementerian Perindustrian menggenjot seluruh pemangku kepentingan terkait dalam upaya memacu kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Ini karena sektor ini dinilai terdampak cukup berat akibat pandemi Covid-19. 

Untuk itu, industri diberikan prioritas karena dinilai sebagai penyumbang devisa dan penyerap tenaga kerja yang banyak.  Menurut kami, pemerintah perlu mempertimbangkan materi dan pewarna baju yang lebih ramah lingkungan melalui penelitian yang lebih giat. 

Penelitian dan produksi bahan dan pewarna alam yang didukung pemerintah dapat memberikan insentif kepada industri agar lebih perduli pada industri fesyen yang ramah lingkungan. Beberapa negara di Eropa telah mulai melakukan intervensi yang progresif di area ini. Bila kita tidak memulainya, kita akan menjadi negara yang tertinggal (okezone, 18/10/2020).

Adalah menarik bahwa Pemerintah Kota Semarang mulai mempertimbangkan fesyen berkelanjutan untuk dimasukkan dal Rencana Aksi Daerah Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API).

Ini sempat menjadi diskusi dalam suatu pertemuan yang dikoordinasi oleh BAPPEDA Kota Semarang,  dan komunitas EMPU diundang untuk memberikan masukan pada 24 November 2020.

Jadilah Konsumen Bijak 

Tenik Hartono, masih dalam acara yang sama yang difasilitasi EMPU pada Pekan Diplomasi Iklim mengatakan bahwa memang ada paradox antara fesyen dan berkelanjutan. 

Sementara fesyen bergerak dinamis ikuti tren dan pelanggan perlu beli baju, berkelanjutan artinya perlu mengerem pembelian. Untuk itu, kita bisa mengupayakan beberapa aspek keberlanjutan dari fesyen melalui konsumsi yang bijaksana. "Buy less, choose well and make it last."  seperti yang dikatakan Vivienne Westwood. 

Kitapun perlu merawat pakaian kita. Baju yang paling berkelanjutan adalah yang telah menjadi milik kita. Saya pernah menuliskan artikel di Kompasiana "Berapa Usia bajumu yang Paling Tua" di tahun 2019 pada tautan ini.  

Ini konsisten dengan pandangan soal pentingnya kita menjadi konsumen bijak. Untuk itu, merawat pakaian yang sudah kita miliki menjadi sangat penting dan membeli baju adalah pilihan akhir. Tenik juga memberikan rekomendasi berdasarkan urutan, yaitu memakai pakaian yang sudah ada, pinjam, tukar, sewa, beli bekas, buat, dan beli.

Ada yang menarik di masa pandemi terkait perkembangan pasar barang bekas yang meningkat. Kadang keputusan untuk membeli baju bekas telah membuat seseorang berpikir bahwa mereka telah menjadi bagian dari fesyen berkelanjutan. 

Masalahnya, bila produk dibeli adalah dari fast fashion seperti Topshop dan Zara, maka kita tidak berbicara soal keberlanjutan. Saking cepatnya fast fashion, produk tahun yang lalupun sudah dianggap vintage. 

Dan karena baju yang dijual di pasar baju bekas adalah barang fast fashion, barang tersebut sudah jelas akan cepat aus atau rusak cepat, dan pada akhirnya argumentasi terkait ramah lingkungan menjadi makin kabur dan bahkan tidak relevan.

Nah bagaimana bila kita memutuskan untuk membeli bekas di masa pandemi Covid-19?. Higienitas adalah isu penting yang harus jadi pertimbangan. 

Baju bekas itu punya potensi membawa serta virus di masa pandemi ini. Juga, ada dugaan, kecenderungan tren membeli baju bekas juga karena ingin membelinya dengan harga murah dan tetap selalu mengikuti tren. Jika alasannya ini, maka perawatan mungkin tidak dilakukan dengan baik.

Secara umum, kelahiran aplikasi yang memfasilitasi penjualan baju bekas dianggap memberi harapan karena membantu agar baju-baju tidak jadi sampah, khususnya sampah di pasar dunia ketiga. Benarkah? Persoalan kelebihan produksi pakaian dan menjadi sampah adalah persoalan luar biasa saat ini. 

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ)  dan sekretariat EMPU mencatat beberapa butir penting yang lain dari diskusi pada acara tersebut di atas. Industri fesyen berdampak serius terhadap lingkungan dan fesyen menjadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri migas. 

Data Sustain Your Style 2020 menyebutkan emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri fesyen empat kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu. Ini dicatat Ibu Ir Woro Srihastuti Sulistiyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda Olahraga BAPPENAS.

University of Queensland
University of Queensland
Sementara industri fesyen menghasilkan limbah dalam jumlah besar dan mencemari air, serta menebangi jutaan pohon tiap tahunnya, industri ini juga menjadi tumpuan hidup banyak kalangan masyarakat, khususnya kelompok perempuan yang tergantung pada sektor ini. Bila penanganan industri fesyen hanya memikirkan keuntungan ekonomi semata, maka kerugian jangka panjang akan terjadi pada kondisi bumi dan manusianya. 

Kreativitas, keberanian serta misi sosial pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan fesyen yang ramah lingkungan dan beretika akan mengurangi dampak negatif fesyen pada perubahan iklim.

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk fesyen berkelanjutan, mengingat kekayaan dan keragaman hayati flora dan faunanya, yang menghasilkan sandang pangan yang beragam. Kekayaan flora dan fauna tersebut hidup di wilayah kawasan atau landscape. Berbagai jenis serat dapat dimanfaatkan untuk sandang. 

Sayangnya Indonesia, dalam hal ini pemerintah, masih sangat terbatas rekognisinya pada aspek ini. Mendukung fashion yang berkelanjutan berarti harus memperhatikan pula kelestarian kawasan atau  landscape pertanian dan hutan serta budaya lokal terkait sandang pangan yang ada di dalamnya. Ini disampaikan oleh Chandrakirana Priyosusilo pada acara yang sama di atas.

Artinya, ini berkaitan dengan tata kelola yang lebih luas (dan kompleks) dan bukan hanya berkaitan dengan fesyen. Pemerintah perlu memperhatikan aspek luas dari kelestarian kawasan hutan dan pertanian agar sumber bahan serat untuk kebutuhan fesyen yang berkelanjutan tersedia. 

Selama ini, lebih dari 90% dari serat Indonesia adalah diimpor dari India dan Cina. Ini tentu merupakan suatu ironi karena Indonesia menyimpan keragaman hayati terbanyak dan terkaya di dunia. 

Dengan berbagai hal di atas, saya kira perlu kita pikirkan beberapa hal di atas, dan bukan hanya sekedar mengekor pada tren 'thrifting' saja. Investasikan pada pakaian yang berkualitas baik dan tahan laman,  dan berbahan dan menggunakan pewarnaan ramah lingkungan. 

Jadilah konsumen bijak. Beli lebih sedikit, pilih baik-baik, dan rawat agar awet.

Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat

*) Penulis adalah penggiat EMPU, Komunitas Fesyen Berkelanjutan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Beauty Selengkapnya
Lihat Beauty Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun