Kitapun perlu merawat pakaian kita. Baju yang paling berkelanjutan adalah yang telah menjadi milik kita. Saya pernah menuliskan artikel di Kompasiana "Berapa Usia bajumu yang Paling Tua" di tahun 2019 pada tautan ini. Â
Ini konsisten dengan pandangan soal pentingnya kita menjadi konsumen bijak. Untuk itu, merawat pakaian yang sudah kita miliki menjadi sangat penting dan membeli baju adalah pilihan akhir. Tenik juga memberikan rekomendasi berdasarkan urutan, yaitu memakai pakaian yang sudah ada, pinjam, tukar, sewa, beli bekas, buat, dan beli.
Ada yang menarik di masa pandemi terkait perkembangan pasar barang bekas yang meningkat. Kadang keputusan untuk membeli baju bekas telah membuat seseorang berpikir bahwa mereka telah menjadi bagian dari fesyen berkelanjutan.Â
Masalahnya, bila produk dibeli adalah dari fast fashion seperti Topshop dan Zara, maka kita tidak berbicara soal keberlanjutan. Saking cepatnya fast fashion, produk tahun yang lalupun sudah dianggap vintage.Â
Dan karena baju yang dijual di pasar baju bekas adalah barang fast fashion, barang tersebut sudah jelas akan cepat aus atau rusak cepat, dan pada akhirnya argumentasi terkait ramah lingkungan menjadi makin kabur dan bahkan tidak relevan.
Nah bagaimana bila kita memutuskan untuk membeli bekas di masa pandemi Covid-19?. Higienitas adalah isu penting yang harus jadi pertimbangan.Â
Baju bekas itu punya potensi membawa serta virus di masa pandemi ini. Juga, ada dugaan, kecenderungan tren membeli baju bekas juga karena ingin membelinya dengan harga murah dan tetap selalu mengikuti tren. Jika alasannya ini, maka perawatan mungkin tidak dilakukan dengan baik.
Secara umum, kelahiran aplikasi yang memfasilitasi penjualan baju bekas dianggap memberi harapan karena membantu agar baju-baju tidak jadi sampah, khususnya sampah di pasar dunia ketiga. Benarkah? Persoalan kelebihan produksi pakaian dan menjadi sampah adalah persoalan luar biasa saat ini.Â
The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) Â dan sekretariat EMPU mencatat beberapa butir penting yang lain dari diskusi pada acara tersebut di atas. Industri fesyen berdampak serius terhadap lingkungan dan fesyen menjadi penyumbang emisi karbon terbesar setelah industri migas.Â
Data Sustain Your Style 2020 menyebutkan emisi gas karbon yang dihasilkan dari industri fesyen empat kali lipat lebih banyak dibandingkan produksi pakaian 10 tahun lalu. Ini dicatat Ibu Ir Woro Srihastuti Sulistiyaningrum, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda Olahraga BAPPENAS.