Kreativitas, keberanian serta misi sosial pelaku bisnis untuk mengubah paradigma dan pendekatan fesyen yang ramah lingkungan dan beretika akan mengurangi dampak negatif fesyen pada perubahan iklim.
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk fesyen berkelanjutan, mengingat kekayaan dan keragaman hayati flora dan faunanya, yang menghasilkan sandang pangan yang beragam. Kekayaan flora dan fauna tersebut hidup di wilayah kawasan atau landscape. Berbagai jenis serat dapat dimanfaatkan untuk sandang.Â
Sayangnya Indonesia, dalam hal ini pemerintah, masih sangat terbatas rekognisinya pada aspek ini. Mendukung fashion yang berkelanjutan berarti harus memperhatikan pula kelestarian kawasan atau  landscape pertanian dan hutan serta budaya lokal terkait sandang pangan yang ada di dalamnya. Ini disampaikan oleh Chandrakirana Priyosusilo pada acara yang sama di atas.
Artinya, ini berkaitan dengan tata kelola yang lebih luas (dan kompleks) dan bukan hanya berkaitan dengan fesyen. Pemerintah perlu memperhatikan aspek luas dari kelestarian kawasan hutan dan pertanian agar sumber bahan serat untuk kebutuhan fesyen yang berkelanjutan tersedia.Â
Selama ini, lebih dari 90% dari serat Indonesia adalah diimpor dari India dan Cina. Ini tentu merupakan suatu ironi karena Indonesia menyimpan keragaman hayati terbanyak dan terkaya di dunia.Â
Dengan berbagai hal di atas, saya kira perlu kita pikirkan beberapa hal di atas, dan bukan hanya sekedar mengekor pada tren 'thrifting' saja. Investasikan pada pakaian yang berkualitas baik dan tahan laman, Â dan berbahan dan menggunakan pewarnaan ramah lingkungan.Â
Jadilah konsumen bijak. Beli lebih sedikit, pilih baik-baik, dan rawat agar awet.
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat
*) Penulis adalah penggiat EMPU, Komunitas Fesyen Berkelanjutan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H