Di dalam rumah, kita akan menjadi saksi betapa perempuan merupakan tulang punggung dalam merawat kesehatan anak, keluarga, suami, dan juga lansia. Bila terdapat anggota keluarga yang sakit, perempuanlah yang pada umumnya mendapat peran sebagai perawat keluarga dibandingkan dengan laki laki. Ini terjadi di hampir semua latar belakang pendidikan maupun pendapatan. Kalaupun keluarga mempekerjakan pramurukti ‘caregiver’, para pekerja inipun pada umumnya adalah perempuan.
Dalam konteks adanya virus Corona yang sedang mewabah, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk terpapar dan tertular virus Corona dari pasien yang mereka rawat, dibandingkan dengan laki laki. Ini terjadi baik di fasilitas kesehatan maupun di dalam rumah tangga.
Memang peran-peran yang dijalankan perempuan itu, sedikit banyak, terjadi karena segregasi sosial berdasar gender yang telah mengakar sebagai budaya, dipercaya dan menjadi praktek dalam hidup sehari hadi dan dalam waktu lama. Ini sudah tersistematisasi.
Kedua, tugas ibu lebih kompleks dengan penutupan operasional sekolah. Selain Ibu perlu mendampingi anaknya yang belajar di rumah dan menggantikan sebagian peran guru, mereka masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Untuk ibu pekerja, di satu sisi mereka terbantu dengan dimungkinkannya bekerja di rumah ‘working from home’ selama wabah Corona menyeruak.
Mereka akan lebih tenang berada dekat dengan anak anaknya. Namun, cukup banyak di antara perempuan yang mengaku sulit untuk membagi waktu dan perhatian. Seringkali, mereka harus menunggu anak anaknya tidur dan tugas domestik selesai untuk bisa melakukan pekerjaannya.
Akan menarik konsep "working from home" (WFH) dilihat dari perspektif ASN di Indonesia. Saya memahami konsep ini sedang dirumuskan oleh Bappenas, namun mekanisme operasionalnya masih terus disusun. Di sisi lain, konsep WFH hanya berlaku untuk orang 'kantoran'. Bagaimana dengan pekerja pabrik, pekerja rumahan, dan juga mereka yang di perdesaan. Â
UNESCO mencatat (per 4 Maret 2020) bahwa sekitar 253 juta anak di Korea Selatan, Cina dan Jepan diliburkan (BBC, 6 Maret 2020). Sementara itu, sekitar 300 juta anak saat ini belajar di rumah karena Corona di seluruh dunis.Â
Untuk situasi di Indonesia, tentu kita akan temukan celotehan netizen perempuan (yang mungkin berbeda dengan kelompok laki laki) di kota Jakarta, dan kota kota lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah terkait pengalaman mereka dengan diberlakukannya kebijakan untuk menutup sekolah.
Ketiga, meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan keluarga. Karena stress dengan situasi hingar bingar dan ketidakpastian yang disebabkan oleh ‘terkunci’nya kegiatan sosial dan ekonomi seluruh anggota keluarga untuk hanya berada di dalam rumah, kasus kekerasan terhadap perempuan dan keluarga di Cina dicatat meningkat.
Aktivis perempuan dari LSM Cina Weiping mengatakan bahwa laporan atas kasus kekerasan meningkat tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan biasanya. Ini melahirkan adanya hastag #AntiDomesticViolenceDuringEpidemic, yang berpesan agar epidemik (saat ini statusnya pandemik) Corona tidak menjadikan epidemik (dan pandemik) kekerasan terhadap perempuan dan keluarga (BBC.com, 8 Maret 2020).
Keempat, pekerja domestik, termasuk pekerja migran, memiliki kerentanan lebih tinggi. Sekitar 400.000 pekerja migran di Hongkong yang pada umumnya berasal dari Indonesia dan Filipina menghadapi kekuatiran lebih tinggi. Selain tugasnya yang melayani keluarga yang kemungkinkan terkena virus Corona, mereka sulit mengakses masker dan cairan antiseptik tangan.