Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

7 Alasan Perempuan Terdampak Virus Corona Secara Berbeda (Dibandingkan dengan Laki-laki)

16 Maret 2020   10:00 Diperbarui: 17 Maret 2020   05:58 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Foto dari Getty Image

DAMPAK VIRUS CORONA BUKAN HANYA SOAL KESEHATAN

Selama ini banyak artikel menuliskan tentang lebih rentannya laki laki, khususnya pada usia dewasa untuk terjangkit virus Corona, dibandingkan dengan perempuan (dan anak). Business Insider (25 Februari 2020) menyampaikan bahwa laki laki menjadi korban utama COVID-19 karena pola hidup dan kebiasaan merokok yang mendorong untuk lebih mudah terinveksi virus Corona dibandingkan dengan perempuan. Dicatat bahwa dari 99 pasien Corona di RS Wuhan Jinyintan menunjukkan bahwa pasien laki laki adalah 68% dari kasus keseluruhan dengan rata rata 55,5 tahun. Selanjutnya studi yang mencakup 1.100 pasien menunjukkan bahwa 58% kasus adalah menimpa laki laki dengan rata rata usia 47 tahun.

CNN Indonesia pada 12 Maret 2020, selanjutnya, mengacu pada jumlah kasus Corona di Cina yang lebih tinggi pada kelompok masyarakat laki laki, yaitu 2/3 dari keseluruhan kasus yang dilaporkan. Ini disampaikan karena laki laki dicatat memiliki reseptor virus lebih banyak daripada perempuan.

Namun demikian, sudah selayaknya kita mewaspadai dampak yang berbeda dari virus Corona kepada kelompok perempuan dibandingkan dengan laki laki. Maria Holtsberg, penasehat bencana untuk UN Women Asia dan Pasifik, salah satu unit Persatuan Bangsa Bangsa yang membawahi urusan perempuan mengatakan “Krisis selalu membawa dampak ketidakadilan gender”. 

Riset pada situasi darurat terkait wabah penyakit virus lain banyak menunjukkan bahwa peran sosial, perspektif, pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dari perempuan dan laki laki dalam merespons bencana, termasuk berbagai penyakit membuat adanya dampak yang berbeda kepada perempuan dan laki laki.

Sayangnya, data dan informasi yang ada sangat terbatas. Berbagai lembaga kesehatan dunia, termasuk the World Health Organization (WHO), menyatakan belum mampu mengkonfirmasi data dan analisis terkait potensi dampak virus Corona kepada anak anak dan perempuan. Dikhawatirkan, kesiapsiagaan dan tanggap bencana atas merebaknya wabah Corona menjadi tidak optimal. 

DAMPAK VIRUS CORONA PADA PEREMPUAN 

Mari kita cermati beberapa aspek yang mungkin saja bisa menguak apa saja kerentanan yang dihadapi perempuan, baik dari sisi kesehatan, sosial dan ekonomi Indonesia. Secara khusus, BBC.com pernah mengulasnya dalam konteks regional. Namun, masih banyak aspek gender lain yang terlewat. Khususnya dalam konteks Indonesia. 

Pertama, perempuan adalah tenaga kesehatan sosial. Saya sebut perempuan sebagai tenaga kesehatan sosial karena perempuan bukan hanya menjadi tenaga perawat kesehatan secara formal, tetapi juga menjadi perawat kesehatan di rumah dan di lingkungannya.

Di Cina, lebih dari 70% perawat adalah perempuan. Sementara itu, data pada Persatuan Perawat National Indonesia (PPNI) menunjukkan perawat Indonesia adalah 359.339 orang, 71% di antaranya adalah perempuan (Kementrian Kesehatan RI, 2017). Data lembaga kesehatan dunia, WHO, menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga perawat di 61 negara adalah perempuan (WHO, Delivered by Women, Led by Men, 2019).

WHO, Delivered by Women and Led by Men, 2019
WHO, Delivered by Women and Led by Men, 2019
Pada saat kondisi wabah virus Corona memuncak di Cina, media mencatat adanya jam kerja perawat yang panjang, tanpa ganti ‘shift’. Bahkan terdapat laporan tentang perawat yang alami keguguran karena kelelahan.

Di dalam rumah, kita akan menjadi saksi betapa perempuan merupakan tulang punggung dalam merawat kesehatan anak, keluarga, suami, dan juga lansia. Bila terdapat anggota keluarga yang sakit, perempuanlah yang pada umumnya mendapat peran sebagai perawat keluarga dibandingkan dengan laki laki. Ini terjadi di hampir semua latar belakang pendidikan maupun pendapatan. Kalaupun keluarga mempekerjakan pramurukti ‘caregiver’, para pekerja inipun pada umumnya adalah perempuan.

Dalam konteks adanya virus Corona yang sedang mewabah, dapat dikatakan bahwa perempuan memiliki kemungkinan lebih besar untuk terpapar dan tertular virus Corona dari pasien yang mereka rawat, dibandingkan dengan laki laki. Ini terjadi baik di fasilitas kesehatan maupun di dalam rumah tangga.

Memang peran-peran yang dijalankan perempuan itu, sedikit banyak, terjadi karena segregasi sosial berdasar gender yang telah mengakar sebagai budaya, dipercaya dan menjadi praktek dalam hidup sehari hadi dan dalam waktu lama. Ini sudah tersistematisasi.

Kedua, tugas ibu lebih kompleks dengan penutupan operasional sekolah. Selain Ibu perlu mendampingi anaknya yang belajar di rumah dan menggantikan sebagian peran guru, mereka masih harus menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Untuk ibu pekerja, di satu sisi mereka terbantu dengan dimungkinkannya bekerja di rumah ‘working from home’ selama wabah Corona menyeruak.

Mereka akan lebih tenang berada dekat dengan anak anaknya. Namun, cukup banyak di antara perempuan yang mengaku sulit untuk membagi waktu dan perhatian. Seringkali, mereka harus menunggu anak anaknya tidur dan tugas domestik selesai untuk bisa melakukan pekerjaannya.

Akan menarik konsep "working from home" (WFH) dilihat dari perspektif ASN di Indonesia. Saya memahami konsep ini sedang dirumuskan oleh Bappenas, namun mekanisme operasionalnya masih terus disusun. Di sisi lain, konsep WFH hanya berlaku untuk orang 'kantoran'. Bagaimana dengan pekerja pabrik, pekerja rumahan, dan juga mereka yang di perdesaan.  

UNESCO mencatat (per 4 Maret 2020) bahwa sekitar 253 juta anak di Korea Selatan, Cina dan Jepan diliburkan (BBC, 6 Maret 2020). Sementara itu, sekitar 300 juta anak saat ini belajar di rumah karena Corona di seluruh dunis. 

Untuk situasi di Indonesia, tentu kita akan temukan celotehan netizen perempuan (yang mungkin berbeda dengan kelompok laki laki) di kota Jakarta, dan kota kota lain di Jawa Barat dan Jawa Tengah terkait pengalaman mereka dengan diberlakukannya kebijakan untuk menutup sekolah.

Ketiga, meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan keluarga. Karena stress dengan situasi hingar bingar dan ketidakpastian yang disebabkan oleh ‘terkunci’nya kegiatan sosial dan ekonomi seluruh anggota keluarga untuk hanya berada di dalam rumah, kasus kekerasan terhadap perempuan dan keluarga di Cina dicatat meningkat.

Aktivis perempuan dari LSM Cina Weiping mengatakan bahwa laporan atas kasus kekerasan meningkat tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan biasanya. Ini melahirkan adanya hastag #AntiDomesticViolenceDuringEpidemic, yang berpesan agar epidemik (saat ini statusnya pandemik) Corona tidak menjadikan epidemik (dan pandemik) kekerasan terhadap perempuan dan keluarga (BBC.com, 8 Maret 2020).

Keempat, pekerja domestik, termasuk pekerja migran, memiliki kerentanan lebih tinggi. Sekitar 400.000 pekerja migran di Hongkong yang pada umumnya berasal dari Indonesia dan Filipina menghadapi kekuatiran lebih tinggi. Selain tugasnya yang melayani keluarga yang kemungkinkan terkena virus Corona, mereka sulit mengakses masker dan cairan antiseptik tangan.

Kedua hal itu sulit didapat dan mahal harganya, sehingga pekerja migran tak sanggup memilikinya, apalagi tak semua dari mereka mendapatkannya dari majikan.

BBC.com merilis foto tentang antrian panjang perempuan pekerja migran untuk mendapatkan masker di Hongkong. Juga, karena situasinya yang ‘terkunci’ Corona, pekerja migran tidak bisa libur.

Artinya, ia tetap bekerja dengan tanpa diupah. Untuk pekerja migran yang bekerja tanpa kontrak, mereka tidak akan mendapat upah bila tidak bekerja.

Kelima, perempuan pekerja industri sektor terkait rantai nilai global kehilangan pendapatan. Perempuan yang banyak mempekerjakan perempuan seperti industri garmen akan terdampak cukup keras dari merebaknya virus Corona. Apalagi banyak negara di Asia, termasuk Indonesia, berada dalam rantai nilai garmen global, khususnya melibatkan tekstil dari Cina.

Di Kamboja, 160.000 pekerja garmen, mayoritas adalah perempuan, dirumahkan pada awal bulan Maret 2020, karena materi tekstil untuk industri garmen yang biasanya kita ekspor dari Cina mengalami kemandegan (Nikkei Asian Review, 5 Maret 2020).

Walaupun pemerintah Indonesia telah mengumumkan rencana pemberian bantuan untuk industri, termasuk di dalamnya tekstil dan garmen, ancaman kekurangan bahan baku tekstil bukan tidak mungkin akan mengganggu industri dalam negeri, kita mengimpor sekitar 90% bahan tekstil.

Dalam jangka menengah panjang, kelompok perempuan dari kalangan miskin akan terkena dampak keras virus Corona karena merekalah yang menjadi pekerja di pabrik pabrik garmen.

Di Cina, dilaporkan bahwa perempuan pekerja pabrik dan perusahaan kecil harus mengalami pemotongan gaji karena mereka tidak bisa masuk atau dilarang ke tempat kerja.

Perempuan pekerja informal lainnya, termasuk penjual sayur keliling mengeluhkan beberapa hal, termasuk kenaikan harga bahan dagangan. Bu Manis, penjaja sayur yang melewati depan rumah kami mengeluhkan tidak mampu untuk ‘kulakan’ sebanyak biasanya. “Tidak ada modal”, katanya. “Harga telur ayam yang semula Rp 25.000,- sekilo, saat ini terpaksa harus ia jual pada Rp 32.000,-. Jangan ditanya soal bawang Bombay. Komoditas ini hilang dari pasaran, bu”. Memang sampai dengan Februari, Indonesia masih mengimpor cukup banyak hal dari Cina.

Juga, perilaku masyarakat yang memborong toko swalayan membuat barang barang tidak tersedia. Perempuan banyak mengisi sektor informal, eceran, usaha rumahan, dan pelayanan yang tidak mendapat upah pengganti ketika terjadi bencana pandemik Corona, dan tidak memiliki perlindungan sosial. Ini tentu pekerjaan rumah kita.

Keenam, perempuan lebih rentan terpapar hoax. Anita Wahid selaku Dewan Penasehat Masyarakat Anti-Fitnah (Mafindo) pernah mengatakan bahwa perempuan lebih mudah terpapar hoaks. (Liputan6.com, 29 Maret 2019). Ini diduga karena perempuan lebih emosional menerima informasi dan berita, apalagi bila itu terkait suatu krisis dan kedaruratan.

Dari pengalaman merebaknya virus Ebola di Afrika, keterbatasan perempuan mendapatkan informasi yang benar dan juga rendahnya kapasitas membuat keputusan atas dirinya dan keluarganya pada situasi emerjensi memmuat perempuan cenderung menomorduakan kebutuhan akan layanan kesehatan bagi dirinya sendiri. 

Dalam konteks Indonesia, seberapa kelompok masyarakat perempuan yang paham bahwa 119 adalah saluran telpon darurat terkait kesehatan, termasuk untuk pengaduan masyarakat pada persoalan virus Corona. Saluran telpon 119 hanya efektif untuk masyarakat perkotaan (dan kota besar). Bagaimana saluran informasi untuk masyarakat perdesaan?

Padahal mereka yang paling berpotensi terpapar pasien karena mereka memiliki peran besar sebagai perawat di dalam keluarga (WHO, Maret 2020).

Ketujuh, perempuan tanpa otonomi cenderung tidak menghubungi fasilitas kesehatan ketika sakit. Keputusan untuk menghubungi petugas kesehatan sangat dipengaruhi oleh perilaku. Ini sering disebut “Health seeking behavior”. Keputusan untuk meminta bantuan petugas kesehaan di Indonesia cukup rumit.

Studi oleh Anna Wahyudi, Et ALL,“Health Seeking Behaviour of People in Indonesia, a Narrative Review” menunjukkan bahwa keputusan untuk mencari pertolongan dari tim kesehatan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain, pemahaman tentang konsep sehat dan sakit ‘health literacy’, keputusan untuk memilih opsi berobat yang dipengaruhi oleh karakteristik demografis, pengaruh orang lain, kepercayaan sosial budaya, persepsi tentang layanan kesehatan lokal, biaya kesehatan dan persepsi layanan asuransi kesehatan), dan pengobatan dilakukan sendiri ‘self care’.

Studi itu menunjukkan bahwa, dalam beberapa hal, perempuan lebih memilih bantuan tenaga kesehatan ketika alami penyakit TBC pada dirinya.

Namun demikian, aspek penentu utama perempuan untuk meminta bantuan ahli kesehatan adalah tingkat kemandirian dan otonomi perempuan itu.

Artinya, ketika perempuan tidak mandiri dan tidak memiliki derajat otonomi yang memadai, mereka cenderung tidak meminta bantuan ahli kesehatan. Padahal dalam hal virus Cofit19, atau virus Corona, kemungkinan bahwa perempuan kebanyakan dan perempuan miskin tidak memiliki akses memadai pada informasi akan secara akumulatif menentukan bagaimana mereka merespons situasi yang ada pada dirinya.

Apa yang Perlu Dilakukan Pemerintah? 

Melihat terbatasnya data dan informasi terkait dampak Corona kepada kelompok perempuan dan laki laki dengan cara berbeda, tentu pemerintah dan lembaga terkait bisa melakukan beberapa hal dalam proses pendeteksian, pencegahan dan pengobatan virus Corona.

  • Pemerintah perlu melibatkan dan memampukan perempuan untuk berperan aktif dalam satuan tugas 'task force' dan mekanisme investigasi, deteksi, pencegahan dan tanggap penyebaran virus Corona. Saat ini, kecuali dari Kantor Kepresidenan, mereka yang berbicara di media pada umumnya laki laki;
  • Pemerintah maupun peneliti di bidang kesehatan maupun sosial dan ekonomi perlu mengumpulkan data terpilah dan mempergunakan metodologi penelitian dan analisis yang melihat perbedaan gender yang ada pada situasi dan kondisi selama merebaknya virus Corona agar tanggap bencana yang dilakukan sesuai kebutuhan dan prioritas yang berbeda dari perempuan dan .laki laki;
  • Pemerintah, melalui Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan adanya paket kebijakan relaksasi pajak dan investasi yang diberikan kepada beberapa kelompok sasaran, termasuk usaha kecil. Pemerintah perlu memperjelas bagaimana paket relaksasi tersebut akan mengurangi beban usaha kecil, termasuk yang dimiliki atau berkaryawan perempuan, mengingat dampak yang berbeda. Di Jepang, pemerintahnya membayar pengganti upah (semacam) ganti rugi sebanyak 80 dollar Amerika per orang per hari untuk pekerja yang cuti karena mengasuh anaknya yang diliburkan karena merebaknya Corona. Apakah pemerintah kita sudah sampai pada pemikiran seperti ini?;
  • Pemerintah perlu mengkaji lagi kebutuhan masyarakat termiskin yang memiliki bukan hanya keterbatasan informasi tetapi juga kemampuan untuk menjaga kesehatannya; dan
  • Untuk kepentingan jangka menengah dan panjang, pemerintah seyogyanya menggali potensi lokal dan mengurangi ketergantungan pada import bahan baku dan bahan setengah jadi. Indonesia memiliki kekayaan suber daya yang luar biasa kaya, dan sayang sekali selama ini lebih bergantung pada sumber daya dari luar negeri. Contoh sektor industri bahan tekstil dan perlengkapan serta asesoris aparel (garmen) dan alas kaki adalah sebagian contohnya. Sektor sektor tersebut sangat berdampak pada kehidupan para perempuan pekerja pabrik di sektor itu.  Indonesia perlu mempertimbangkan ulang kecenderungan mengekspor bahan baku penting dan mengimportnya kembali ketika telah diolah menjadi barang setengah jadi dan barang jadi. Rencana pemerintah NTB untuk menanam sisal dan emngeksportnya ke CIna perlu disayangkan. Indonesia perlu mempertimbangkan untuk mengolah sisal menjadi bahan serat agar industri lokal dan penenun perempuan bisa memanfaatkannya. Ini untuk membangun resiliensi ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia.

Referensi : Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam, Tujuh, Delapan, Sembilan, Sepuluh 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun