Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jangan Panggil Aku Indung

27 November 2019   06:00 Diperbarui: 27 November 2019   08:40 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Marah aku padamu. Geramku sampai pangkal kepala.

"Jangan!"

"Kumohon,  Jangan!"

Dan kau terus memaksa. 

Dulu, kusirami kau dengan cinta bermatahari, penuh cahaya. Kuberikan celah di rimbun-rimbun rambutku untuk matamu bicara pada Jubata.

Tak sekalipun kau ragu akan kehidupan karena aku dan kau satu tubuh, satu jiwa di Banua Talino.

Aku pelindungmu, kau penjagaku

Aku melimpahimu, kau memujaku. 

Kita berdua lekat bermesra di dalam asap dan cawan sesembahan.

Setiap tiba masa panen, orang-orang kampung berpesta Uelanuk dan Ulet Samban. 

Mereka angkat Gulai Kati dan Pasta Pasa' dalam kuali-kuali besar. 

Harum Paku Balai berbumbu Bekalain tercium naik ke bumbungan betang, terbang ke langit langit dan mengalir di arus sungai-sungai.

Kembung kenyang mereka dihantar Dian Kalang.

Tak pernah kudengar anak mati sia-sia. Kuberi mereka Lirang Tana, penawar maha sakit dan duka.

Kuberi cukup istanamu dengan  Belien, Kapun, dan Penjae

Dan kubiarkan perahu Saleng Tebulo berkayuh sepanjang sungai.

"Serakah!".

"Benar benar serakah!"

Kini kau rampok semua kupunya.

Kau hanya sisakan lubang menganga tepat di retakan nadi kehidupanmu saja.

Siang malam air mataku tumpah tanpa kuasa. Terjungkal tumpukan akar. Terbanting pepohonan.

Laki laki bebal itu datang lagi.

Bahunya menjunjung tinggi bakul-bakul pundi. Berkalang besi, dan hentak kuda sembrani

Ia bisikkan isyarat tak kukenal.

Senyum culas menggantang. 

Tanpa perduli aku, Ibumu yang kau ucap sayang.

"Atap banua runtuh!". 

"Atap banua rubuh". 

Orang kampung berlarian keluar mencari sumbu angin.

Semua ambruk. Berdebam di ujung kakiku.

Mereka terus berlari. Berlari. 

Terseok. Terayap-rayap di kubangan hitam ingatan. Membayang patok sejarah tercabut di ranggasan akar dan ranting sakral.

Sekarang, rasakan cekik amarah akar-akar. Melilit tubuh. Merajam kemaluan hingga kau kering, rapuh dan mati.

Masihkah kau katakan ini kota baru?

Itukah harga sebuah harapan?

"Indung, aku sayang kamu". Kau duduk bersimpun mengiba mencari cari mataku di kegelapan.

Suaramu makin tercekik. Tak lagi bisa kudengar.

"Ini demi kemajuan" katamu. Lirih.

"Pembohong!".

"Pembohong!"

Tahukah kau, segera kau bunuh ibumu sendiri?

---

Catatan :

Indung atau Indu -- panggilan untuk Ibu 

Banua -- desa besar, wilayah, kawasan

Uelanuk -- Pelanduk Kalimantan

Ulet Samban -- Ulat Sagu

Pasa', Atuk Buleng, Padek, dan Kati -- Berbagai jenis ikan sungai

Paku Balai dan Baku Bai - jenis pakis yang lezat untuk dimakan

Dian Kalang -- Sejenis buah buahan hutan

Lirang Tana -- tanaman obat obatan

Belien, Kapun, dan Penjae -- kayu kayu untuk membangun rumah

Saleng Tebulo -- jenis kayu untuk membuat sampan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun