Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemenang Nobel Bidang Ekonomi 2019: Mencari Akar Kemiskinan Melalui Laboratorium

14 Oktober 2019   20:49 Diperbarui: 19 Oktober 2019   00:23 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Trio Pemenang Anugerah Nobel Bidang Ekonomi 2019 Esther Duflo, Michael Kremer dan Abhijit Banerjee (Foto ; Getty Images)

Baru saja kita mendengar pengumuman secara 'live' terpilihnya trio Banerjee, Duflo dan Kremer sebagai pemenang penghargaan Nobel dalam bidang ekonomi. Ini menarik karena latar belakang pendidikan mereka kebetulan sama dengan bidang studi yang saya juga tekuni, yaitu Ekonomi Pembangunan.

Oleh panitia penghargaan Nobel, mereka bertiga diakui sebagai peneliti penghapusan kemiskinan yang secara sungguh-sungguh mencoba membongkar akar masalah kemiskinan itu.

Duflo bersama petani kiopi Ruanda yang ia dampingi (Foto : Peter Huggodari the New Yorker)
Duflo bersama petani kiopi Ruanda yang ia dampingi (Foto : Peter Huggodari the New Yorker)
Istimewanya, Esther Duflo merupakan perempuan kedua yang mendapatkan Nobel di bidang ekonomi, dan sekaligus pemenang termuda.  Adapun perempuan pertama sebagai pemenang Nobel di bidang ekonomi adalah Elinor Ostrom. 

Esther Duflo berusia 46 tahun, sementara Abhijit Banerjee, suaminya berumur 58 tahun. Mitra mereka, Michale Keremer berusia 58. Untuk bidang ekonomi, usia mereka muda sebagai pemenang Nobel.

Duflo berpendapat bahwa perempuan di bidang ekonomi sudah sepantasnyalah mendapat pengakuan dan penghargaan. Iapun mengharapkan agar dirinya bisa mewakili semua perempuan yang belajar dan bekerja di bidang ekonomi. 

Ini penting karena selama ini ilmu dan profesi ekonomi sering dianggap tidak mampu memperlakukan perempuan dengan memadai. Iapun berharap agar panitia pemilihan pemenang Nobel perlu memperbaiki kebijakan dan lingkungan agar kondusif.  

Sementara komite Nobel katakan, Duflo istimewa bukan karena ia perempuan tetapi memang teorinya pantas mendapat apresiasi. 

"We are a time when we are starting to realise in the profession that the way we conduct each other privately and publicly, is not conducive all the time to a very good environment for women" (Esther Duflo).

Saya kira benar ketika ia mengatakan hal di atas. Profesi sebagai ahli ekonomi yang dijalankan secara pribadi dan publik adalah tidak selalu ramah pada  perempuan. 

Masih banyak ditemukan diskriminasi dari kebijakan ekonomi. 

Juga, teori ekonomi mikro, misalnya, pada hakekatnya tidak mempertimbangkan keadilan gender. Untuk itu ia melihat bahwa apa yang ia capai dapat memberi inspirasi bagi perempuan yang lain.

Esther Duflo dan Banerjee adalah sama-sama lulusan MIT. Sementara Michale Kremer lulusan Harvard.

Dalam studi mereka, ketiganya berfokus pada pemahaman tentang perlunya memahami kedalaman serta keterhubungan akar persoalan kemiskinan.

Secara umum, pengambil kebijakan sering membuat generalisasi tentang kedalaman dan keterhubungan akar persoalan kemiskinan. Mereka sering berpikir bahwa orang miskin adalah karena malas dan tidak memiliki kewirausahaan. Ini mereka lakukan tanpa memahami penyebab kemiskinan. Untuk itu, mereka mencoba menguliti penyebab kemiskinan satu persatu dan mengujinya secara ilmiah.

Penelitian Kemiskinan Peraih Nobel di Bidang Ekonomi 2019

Penelitian yang dibuat oleh trio itu segera menjadi perhatian the Royal Swedish Academy of Sciences karena menggunakan pendekatan empiris dan percobaan untuk menghapus kemiskinan. Oleh the New Yorker, Duflo disebut memiliki laboratorium kemiskinan.

Memang, selama ini perbaikan ekonomi cukup cepat dan menggembirakan, dan semua manusia hendak bebas dari kemiskinan. Dalam realitasnya, masih terdapat 700 juta orang di dunia yang masih miskin secara ekstrim dengan pendapatan sangat rendah.

Juga, terdapat sekitar lima juta anak di bahwa lima tahun yang meninggal karena penyakit yang seharusnya bisa diobati. 

Separuh anak anak di dunia juga putus sekolah dengan tanpa memiliki kemampuan literasi dan hitung dasar.

Untuk itu, mereka bertiga memperkenalkan pendekatan yang dapat menjawab secara bertanggung jawab cara untuk mengentaskan kemiskinan global. Persoalan yang ada dipecah dengan lebih kecil, untuk menjawab upaya dasar seperti memperbaiki hasil pendidikan dan kesehatan anak anak.

Temuan itu adalah lanjutan dari upaya Michael Kremer yang pada tahun 1990an berhasil memperbaiki kualitas dari hasil pendidikan anak anak di Kenya Barat.

Lalu, Abhijit Banerjee dan Esther Duflo bersama Michael Kremer melakukan studi yang sama di negara lain. Metode studi mereka saat ini mendominasi ilmu ekonomi pembangunan.

Buku dari ketiga pemenang Nobel itu ‘the Poor Economics’, publikasi the American Economic Review terbit pada 2011. 

Poor Economics (sumber : coreindonesia.org)
Poor Economics (sumber : coreindonesia.org)
Selama ini penghargaan Nobel didominasi pada keberadaan teori makro dan teori pasar. Sementara, perkembang perang dagang dunia telah membuahkan hilangnya pekerjaan banyak orang yang berujung pada kemiskinan global.

Perdebatan diawali dengan pemikiran Jeffrey D Sach yang berargumen bahwa kontribusi negara kaya kepada negara miskin melalui bantuan donor akan meningkatan pendapatan negara miskin. Bantuan donor sebesar $ 195 triliun sejak 2005 sampai 2025 dapat menghapuskan kemiskinan pada 2025. Sementara itu William Easterly adalah anti donor dan melihat bahwa donor menghalangi negara miskin untuk memecahkan persoalannya sendiri.

Buku the Poor Economics menggarisbawahi beberapa hal, antara lain:

  • Akses masyarakat pada informasi yang benar terbatas sehingga mereka tidak mengikuti atau mengadopsi program yang membawa dampak positif bagi mereka, seperti imunisasi, pendidikan, penggunaan pupuk yang benar, anti HIV. Juga masyarakat memiliki keterbatasan akses pada informasi terkait apa yang diperjuangkan oleh pemerintah dan parlemen;
  • Keterbatasan orang miskin membuat mereka menanggung segala macam aspek ekonomi dalam kehidupannya. Orang miskin sulit menabung;
  • Pasar tidak ramah orang miskin, sehingga inovasi di sektor keuangan seperti pada Grammin Bank mampu membuat koreksi;
  • Negara miskin memiliki sejarah buruk, seperti pengalaman penjajahan sehingga mempengaruhi kondisi institusi negara tersebut. Ini bisa mempengaruhi beberapa hal, misalnya tata kelola dan kecenderungan korupsi.
  • Ekspektasi orang miskin untuk dapat berubah sangat diperlukan. Ini bisa merubah perilaku orang miskin.

Selanjutnya, penelitian Dulfo sendiri banyak mendapat kontribusi dari penelitiannya di Indonesia, khususnya terkait dampak dari pembangunan sekolah dasar Inpres yang masih di tahun 1973 sampai 1978 di masa Presiden Suharto dan pengaruhnya pada peningkatan tingkat pendidikan dan tingkat pengupahan (guru).

Kebijakan SD Inpres telah meningkatkan lama pendidikan dari 0,12 ke 0,19 tahun untuk setiap pembangunan sekolah bagi 1.000 anak anak di wilayah dimana anak anak itu lahir. Hasil peningkatan itu adalah lebih besar dari apa yang dialami negara berkembang lain dan juga negara maju.

Pengalaman ini tentu perlu dimaknai secara tersendiri. Kebijakan Suharto terkait SD Inpres memberi pembelajaran dan semestinya perlu menjadi pertibangan Jokowi yang hendak merealisasikan misi mendorong peningkatan SDM ke depan. Ini tentu bisa dilihat dari rencana untuk meningkatkan peningkatan kualitas dan kuantitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan yang sangat diperlukan. Diharapkan, ini bisa memberi solusi pada perangkap kemiskinan yang dialami negara seperti Indonesia dan juga negara di dunia.

Penghapusan Kemiskinan Global dan Strateginya

Bila kita tengok pendekatan dan konvensi pembangunan yang anggota negara PBB menyekapakati, Millenium Development Goals (MDG) yang diimplementasikan sejak tahun 2000 sampai 2015 dan kemudian dilanjutkan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) sejak 2015 sampai 2030, pada dasarnya menggunakan teori pembangunan yang menyasar tujuan tujuan yang multi sektoral. Ini tentu melibatkan target indikator yang cukup banyak, berjumlah lebih dari 230 indikator.

SDGs yang menjadi penerus MDGs sendiri dianggap mempunyai perangkap yang sulit membantu masyarakat miskin untuk keluar dari persoalannya. Hal ini dikritisi kelompok feminis karena kurang mempertimbangkan dinamika relasi kekuasaan, kekuatan lembaga, politik ekonomi dan pengetahuan masyarakat asli. Ketika keempat aspek tersebut tidak dikelola, perubahan yang nyata menjadi sulit dicapai.

Sebetulnya, bukan berarti teori yang diketemukan oleh trio ini sama sekali baru. Namun, mereka bertiga menggali sebab dan akar kemiskinan dan menjawabnya dengan solusi yang teintegrasi dan spesifik serta saling berhubungan antara beberapa faktor, termasuk di dalamnya pendidikan, kesehatan dan juga pendapatn. 

Dulu, Mahbub Ul Haq, doktor di bidang ekonomi, warga Pakistan yang bersekolah di University of King College dan Yale University, dan menyelesaikan program doktor dari Kennedy School of Governance di Universitas Harvard,  memperkenalkan pembangunan manusia yang mencakup pembangunan sektor kesehatan, sektor pendidikan dan sektor ekonomi. Ketika sektor tersebut memuat beberapa indikator pembangunan manusia turunannya. Ia memperkenalkan pendekatan tersebut melalui United National Development and Program (UNDP). Pendekatannya dipergunakan sampai saat ini. 

Teori yang dikemukakan Trio melihat banyak hal, khususnya konteks di dalam sejarah, aspek sosial dan budaya masyarakat di negara itu. 

Dari tahun ketahun, pemenang Nobel bidang ekonomi kebanyakan dari bidang ekonomi makro dan ekonomi lainnya seperti ekonomi lingkungan. 

  • William D. Nordhaus "for integrating climate change into long-run macroeconomic analysis" dan Paul M. Romer "for integrating technological innovations into long-run macroeconomic analysis" pada 2018
  • The Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada 2017
  • Richard H. Thaler "for his contributions to behavioural economics" mendapatkan the Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada 2016
  • Oliver Hart and Bengt Holmstrm "for their contributions to contract theory"  mendapatkan the Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada 2015
  • Angus Deaton "for his analysis of consumption, poverty, and welfare" mendapatkan the Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada 2014
  • Jean Tirole "for his analysis of market power and regulation" mendapatkan the Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel pada 2013

Kemenangan trio ini tentunya bisa menjadi inspirasi bagi para ekonom Indonesia. Apalagi kali ini pemenangnya adalah dari bidang ilmu Ekonomi Pembangunan yang dipraktekkan dalam pembangunan ekonomi kita sehari hati.  

Pemerintahan Jokowi dan kabinet baru jilid 2 ini tentu perlu mempertimbangkan temuan riset yang menarik dari tiga peraih nobel ini. Apalagi risetnya memasukkan pengalaman Indonesia. 

Pustaka : Pertama, Kedua, Ketiga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun