Beberapa bulan terakhir ini saya menyempatkan untuk bertemu seorang sahabat yang tengah sakit kanker paru. Setahun yang lalu, kankernya telah masuk pada stadium empat.Â
Bila ia masih terus berjuang sampai dengan detik ini, semuanya adalah atas ijin Tuhan dan atas perjuangannya. Ia yang merupakan kepala keluarga perempuan harus mengelola sendiri urusan pengobatan kanker ke Penang.Â
Ini tentu tidak dengan biaya murah. Setiap dua bulan, ia harus mengeluarkan dana, minimal sekitar seratus juta untuk pengobatannya. Baginya, tentu saja ini cukup berat karena ia adalah seorang pegawai negeri dan ia harus menjual banyak asetnya untuk bisa bertahan.Â
Sahabat saya ini bukan perokok, namun ia hidup dan bekerja di lingkungan perokok berat. Pasalnya, seluruh staf kantornya adalah perokok dan ia harus berbagi ruang dengan mereka. Ia jelas seorang perokok ke dua.
Memang hidup di lingkungan perokok adalah berat. Walaupun kita bukan perokok, mau tidak mau kita teracuni juga. Sayapun pernah merasakan ketika bekerja di lingkungan perokok.Â
Saat itu belum ada aturan untuk tidak merokok di ruang kerja. Alhasil, saya adalah satu satunya pekerja di antara 7 orang perokok. Itu terjadi di pertengahan tahun 1980 an.Â
Sepuluh tahun yang lalu, saya juga mengalami situasi dan kondisi kesehatan yang akhirnya merubah hidup saya. Saya alami dugaan 'suspected' kanker rahim. Saya lakukan prosedur standar untuk membuat saya pada akhirnya dinyatakan 'bersih'.Â
Apapun saya lakukan agar saya tetap 'bersih'. Ini membuat saya makin menyadari betapa kerugiaan yang dialami perokok kedua adalah cukup banyak. Kalaupun bukan terkena kanker paru, perempuan juga memiliki risiko terkena kanker yang spesifik perempuan, antara lain kanker kandungan, kanker mulut rahim, dan kanker payudara.
Rokok dan Pecandu
Memang susah menghadapi pecandu rokok. Tanpa harus mengurai secara teoritik, ciri ciri pecandu rokok sangatlah kentara. Salah satu tanda dari kecanduan yang terjadi pada semua orang adalah susah mengendalikan keinginan.Â
Saat ia ingin merokok, tidak ada yang bisa mencegahnya bahkan dirinya sendiri. Meski berada di kantor pun, seseorang akan menyempatkan diri untuk keluar sejenak untuk merokok.
Keinginan untuk merokok yang sudah terlalu parah ini bisa membuat seseorang terganggu sendiri. Kalau tidak ada rokok ia gelisah tak tentu. Ini pernah saya saksikan sendiri.
Karena pengalaman soal kesehatan pula yang membuat saya berhati hati untuk tidak berdekatan dengan perokok. Namun, kadang kadang ada saja peristiwa yang tidak bisa kita hindari.
Suatu saat saya membuat janji untuk bertemu sahabat lama saya di suatu kota yang kami telah tentukan. Agar kami bisa menikmati waktu bersama, kami sengaja tinggal di suatu hotel. Kami kebetulan mendapatkan unit yang terdiri dari 2 kamar.Â
Ini sempurna. Namun, karena ia adalah pecandu rokok dan saya penghindar rokok, maka terjadilah hal yang menggelikan (dan menjengkelkan sebetulnya). Kami mengobrol dengan dibatasi ruang. Ia di kamarnya, dan saya di kamar saya.Â
Alhasil, kami berbicara dari kamar yang berbeda. Ia di kamar dengan interior bergambar runah rumah kecil dengan tempat tidur kecil. Sementara saya di kanar besar. Inilah "previledge" orang tak merokok. Kami buka pintu kamar kami lebar lebar agar satu sama lain masih bisa berbicara dan melihat ekspresi masing masing. Dan, ia santai saja tak merasa bersalah. Lucu sekaligus bloon sekali.Â
Padahal kami dari 2 kota berbeda yang berjarak ribuan kilometer dan datang ke kota itu untuk bersama sama. Pengalaman yang bodoh tapi kocak, yang saya tidak akan mau ulangi lagi.Â
Namun, persahabatan kami tetap terjalin. Pecandu rokok mau diapakan lagi, kecuali bila keputusan merokok dan tidak adalah datang darinya.Â
Dan, satu lagi, jangan berbicara soal pembatasan rokok dengan perokok dan pecandu rokok. Mereka akan sangat sensitif dan defensif
Perokok sudah pasti telah membuat pilihannya ketika memutuskan untuk menjadi perokok. Mereka tahu risikonya.Mereka tidak mau dinasehati, apalagi bila itu adalah nasehat berulang soal kebiasaannya.
Apalagi mereka sekarang diatur oleh ruang publik. Mereka terpaksa merokok di dalam ruang berkaca yang sempit. Oleh karenanya, mereka sering menjadi defensif bila menerima komplain dari bukan perokok. "Sudah diberi ruang sempit, berkaca pula. Kok masih dikomplain. Bisa ga sih menghormati saya?", mungkin begitu dalih mereka.Â
Seringkali, perokok membela diri dengan mengatakan bahwa mereka tidak merusak orang lain. Mungkin mereka lupa bahwa perokok kedua sama berisikonya dengan mereka. Namun, mereka akan mengatakan "masih ada yang lebih jahat dari saya yang hanya seorang perokok". Piye, coba ?!
Rokok dan PerempuanÂ
Studi World Health Organization (WHO), sebuah badan kesehatan di bawah Persatuan Bangsa Bangsa mengestimasikan bahwa satu di antara perokok dunia adalah perempuan.Â
Dan, ancaman rokok pada kesehatan perempuan adalah lebih tinggi daripada kepada laki laki, karena perempuan juga memiliki kecenderungan terkena kanker yang khas perempuan, selain kecenderungan penyakit yang juga diderita perokok laki laki seperti jantung, kanker dan penyakit saluran pernapasan.
Di samping kanker, perempuan juga membawa pengaruh rokok pada janin yang di kandungnya. Artinya, perngaruh negatif rokok menjadi antar generasi.
WHO dalam laporan "Women and health: today's evidence, tomorrow's agenda"juga menunjuk bahwa iklan rokok saat ini makin menyasar perempuan, khususnya perempuan muda.Â
Untuk itulah, WHO aktif mengadakan pendidikan sosial tentang implikasi pemasaran rokok pada perempuan.Â
Ini dilakukan mengingat perusahaan rokok secara jeli memasukkan aspek gender yang seakan berbarengan dengan kemajuan perempuan untuk memutuskan keinginannya, termasuk dalam hal rokok.
Di Amerika, sejak tahun 1920an, perempuan mulai menjadi target industri rokok, dengan memasarkan aspek keberterimaan sosial pada perempuan yang merokok.Â
Pada saat itu, iklan rokok dikaitkan dengan nilai nilai kemewahan, kecanggihan, berkelas dan kualitas, romantisme, sukses, sehat dan kebugaran, dan juga tubuh langsing serta emansipasi.
Pendekatan dengan memasukkan citra khusus ini juga dipakai dalam pemasaran rokok di negara negara berkembang.Â
Citra perempuan perokok memasuki fase industri yang menawarkan rokok spesial perempuan. Sebut saja formulasi rokok 'light' (ringan), "slim' (langsing, kecil), 'super slim' (super langsing), 'pada bentuk dan tampilan rokok.Â
Ini tentu pemasaran yang menjadikan rokok diterima oleh banyak kalangan perempuan, khususnya perempuan muda. Padahal ini adalah daya tarik yang mematikan 'Fatal Attraction".Â
Mematikan karena ini meningkatkan risiko perempuan pada persoalan dampak rokok pada kesehatan perempuan. Apalagi adanya "Light and low tar" (ringan dan rendah tar) adalah menyesatkan karena pada dasarnya rokok ini tetap membawa risiko yang sama tingginya.
Iklan rokok yang menyasar orang muda dan perempuan sangat menarik.Â
Atau lihat pula ini.Â
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dibandingkan dengan 2018 menunjukkan bahwa tren penyakit karena tembakau mengalami peningkatan secara perbedaan pada laki-laki dan perempuan.
Pada 2017, tren penyakit yang disebabkan oleh tembakau menduduki peringkat ketiga pada jenis kelamin laki-laki. Sementara pada perempuan meningkat menjadi peringkat keenam.Â
Pada perempuan, eskalasi peningatannya lebih tinggai. Artinya, perempuan mulai banyak mengalami penyakit yang disebabkan oleh tembakau. Hal itu bisa berarti perempuan telah banyak yang mulai menjadi perokok baik aktif maupun pasif.
Hal di atas menjadikan upaya untuk mengontrol makin cepatnya pertumbuhan konsumsi rokok perlu dilakukan oleh perempuan sendiri, karena kesadaran perempuan untuk melindungi kesehatannya adalah urusan perempuan.
Di Indonesia, banyak 'billboard' mengiklankan rokok terpasang dengan target kelompok perempuan muda. Rokok itu dikemas dengan menonjolkan sifat perempuan yang feminin dan menarik.Â
Memang, perempuan dan perempuan muda adalah target terakhir dari indistri rokok. Dan ini berhasil di Indonesia.
Data dari 'Smoke Free bandung', suatu lembaga non pemerintah, perempuan perokok telah naik sebanyak 400% pada lima tahun terakhir.Â
Ironisnya, masyarakat kita masih melihat bahwa presentase perempuan yang merokok masih relatif rendah, yaitu 3,6% dibandingkan dengan laki laki yang 55%, walaupun pertumbuhan perokok perempuan meningkat sebanyak 400%. Tentu saja ini sangat mengkhawatirkan.
Di Inggris, perempuan perokok turun dari 40% di tahun 1974 menjadi 14,9di tahun 2015. Data ini adalah dari unit kesehatan publik di Inggris.Â
Di Amerika, data menunjukkan angka yang juga menurun hinga pada tahun tercatat sekitar 13,6% perempuan perokok di tahun 2015 the Centers for Disease Control and Prevention, US).
Perokok perempuan, di lain pihak, malah meningkat. Lobi dari industri rokok dan hubungan dekatnya dengan pemerintah dianggap menjadi salah satu penyebab mengapa iklan rokok di billboard yang dilarang di luar negeri, justru ada dan makin banyak di Indonesia.
Padahal, jelas jelas rokok merugikan begitu banyak pihak, laki laki dan khususnya perempuan, serta kelompok muda.
Data menunjukkan bahwa sekitar 217.000 nyawa orang Indonesia melayang karena penyakit berhubungan dengan rokok ( 'the Tobacco Atlas').Â
Dan, Indonesia adalah satu satunya negara Asia yang belum menjadi anggota WHO untuk 'Tobacco Control Treaty'. Ini disampaikan oleh Mark Hurley, Direktur program Indonesia pada kampanya bebas tembakau bagi anak-anak.
Rokok dan Politik Kebijakan di IndonesiaÂ
Tembakau adalah barang yang masuk kancah politik di Indonesia. Memang terdapat upaya yang dilakukan beberapa kota untuk mengatur iklan rokok tapi hampir semuanya tidak efektif.Â
Maka, tidak heran bila dikatakan bahwa tak ada satupun kebijakan yang efektif untuk mengurangi konsumsi tembakau di Indonesia.
Saya pernah bertemu pak Idris di suatu desa kecil di Bone Bone, Baraka, Enrekang, Sulawesi Selatan. Desa itu adalah desa bebas rokok. Kesadaran pak Idris yang pernah jadi kepala desa menjadikan aturan perdes larangan merokok di desa itu berhasil.Â
Ini pernah saya tulis di Kompasiana pada tautan ini.
Di desa ini terdapat hukum yang berlaku. Tidak ada satupun warung di desa itu yang menjual rokok. Perokok juga dikenakan sangsi sosial.
Aturan dilarang merokok didasari kondisi desa yang pernah sangat miskin selama bertahun tahun karena tereksklusi tanpa bantuan dana pembangunan karena mendapat cap sebagai desa DI/TII.Â
Pak Idris menemukan bahwa kondisi rakyat makin miskin karena masyarakat punya pengeluaran rutin yang menggerogoti pendapatannya, yaitu untuk rokok.Â
Banyak keluarga di desa ini yang mengorbankan belanja keluarga hanya untuk 2 pak rokok sehari. Tapi larangan ini kan hanya ada di 1 desa kecil di suatu wilayah terpencil di Sulawesi Selatan. Sementara, wilayah Indonesia yang lain rokok adalah komoditas yang legal.
Sekjen Asosiasi Produsen Rokok, Hasan Aoni Aziz, juga menyebutkan kepada the Jakarta Post pada tahun 2016 bahwa rokok adalah produk legal di Indonesia. Dan, perusahaan bebas melakukan pemasangan iklan rokok dalam bentuk apapun.Â
Bagi industri rokok, usaha mereka dilindungi undang undang, bahkan konstitusi.
Bisnis.com menyebutkan bahwa Djarum, Gudang Garam, HM Sampoerna menjadi pengiklan terbesar untuk kategori rokok.Â
Memang, biaya iklan tembakau di Indonesia terus meningkat, dari USD 202 juta di tahun 2010 ke USD 474 juta di tahun 2016 (Nielsen and AdsTensity).Â
Jadi, ada simbiosis mutualisme antara industri rokok dengan pendapatan pemerintah dari cukai rokok, sehingga industri rokok tetap berani mengeluarkan dana iklan rokok.Â
Kalau pemerintah tahu 'biaya rokok' pada kesehatan masyarakat, khususnya pada kesehatan perempuan yang juga membawa dampak pada antar generasi, mengapa pemerintah tetap membuat industri rokok bebas merdeka di Indonesia?Â
Padahal, pemerintah juga yang akan menanggung biaya kesehatan yang harus dibayar melalui BPJS dan pada kondisi SDM di masa depan. Â Pula, pemerintah sedang getol-getolnya untuk membangun SDM nya.Â
Kalau sudah begini, masa masih ada juga yang bilang "aku rapopo?"
Pustaka : Satu, Dua, Tiga, Empat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H