Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pengemudi Keren dan Isu Ketenagakerjaan Milenial

24 Juli 2019   22:05 Diperbarui: 25 Juli 2019   13:54 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Pengemudi Muda Keren
Dua minggu ini jadwal saya padat dan lambat merayap. Saat yang paling santai adalah ketika duduk manis di dalam taksi. Kali ini saya menumpang taksi Blue Bird dari Hotel Pullman, tempat saya mempresentasikan hasil kerja ke arah Kelapa Gading.

Saya cukup surprais karena pengemudinya adalah seorang milenial yang 'cool'. Bertopi hitam ala pemain musik Jazz, ia dengan sopan meminta ijin untuk meminta 'cap' parkir gratis dari pihak hotel.

Setelah mobil berjalan, saya membuka obrolan dan memuji tampilannya yang dengan topi keren. Ia bertanya 'maaf, ibu keberatan?". Saya jawab bahwa saya malah suka dengan gayanya. Iapun sopan mengucap terima kasih.

Mas Danu Prasetyo, demikian nama pengemudi Blue Bird ini kemudian menanyakan apakah makanan di Hotel Pullman enak. Saya sempat kikuk dengan pertanyaan yang tidak biasa ini. Akhirnya, saya menjawab dengan diplomatis dan singkat bahwa hotel tersebut menyajikan kopi yang cukup menarik, berbeda dari cara hotel lain menyajikannya.

Danu Prasetyo (Dokumentasi Pribadi)
Danu Prasetyo (Dokumentasi Pribadi)
Saya tanya kepada mas Danu, mengapa ia tertarik untuk mengetahui soal makanan di hotel Pullman. Mas Danu menjawab bahwa ia pernah bekerja dua tahun di Hotel Mulia di Bali. Juga ia bekerja di resto Pand'or di jalan Wijaya Jakarta Selatan selama dua tahun. Keduanya menempatkannya sebagai pramu saji. Jadi, ia selalu ingin tahu bagaimana makanan di tempat tempat yang tak biasa. 

Sebelumnya, iapun bekerja di Bank BRI di Kebumen, Jawa Tengah di bagian marketing, menangani deposit dan pembiayaan. Mas Danu menjelaskan bahwa ia lulusan D3 Sekolah Perhotelan Sahid Jakarta. Oh okay..

Nah, ini menarik. Saya tentu melakukan validasi informasinya. Paling tidak, saya bisa mengkonfirmasi hal yang saya pahami. Kebetulan, resto Pandor adalah resto favorit saya sejak lama. Saya hapal luar kepala menu apa yang menjadi favorit banyak keluarga.

Saya mengecek menu apa yang menurutnya menjadi favorit pelanggan Pand'or. Ia segera menjawab dengan informasi yang saya menjadi cukup yakin bahwa informasi yang ia sampaikan benar.

Ya, nasi Hainam dan wafel di resto Pand'or memang andalan. Lalu, saya tanya soal harga kue lebarannya. Ia bisa menjelaskan tepat, berikut harganya. Ia sebut harga seloyang kue lapis legit yang memang heboh. Juga ia sebutkan ukuran dan harga 'kaastengels' dengan pas. Okay, saya bisa lanjutkan obrolan dengan tingkat kepercayaan lebih tinggi.

Sambil terus ngobrol, saya dengar lagu dari Shawn Mendes - If I Can't Have You diputar, yang dilanjut dengan lagu Senorita dari penyanyi yang sama berkumandang. Wah, lagu hit sejak bulan Mei di tahun 2019 ini. Memang milenial. 

Milenial juga Punya Utang 
Akhirnya, saya bertanya soal mengapa ia menjadi pengandara taksi Blue Bird. Ini saya tanyakan karena saya baru kali ini menemukan salah satu anak milenial yang menjadi pengemudi Blue Bird. Pakai topi penyanyi jazz pula. Adalah biasa menemukan milenial menjadi pengemudi Gocar atau Grab, tetapi bukan di Blue Bird.

Mas Danu bercerita bahwa ia tahu jalan jalan di Jakarta dan pandai mengendarai mobil. Paling tidak ini alasan mudahnya. Iapun menceritakan bahwa ia tak harus bekerja setiap hari untuk menjadi pengemudi taksi Blue Bird. Pasalnya, ia saat ini sedang menunggu visa Amerikanya yang membutuhkan 100 hari kerja dalam pengurusannya.

Ia sudah diterima bekerja di Royal Caribbean Ships, kapal pesiar yang melayani jalur 'cruising' wilayah Eropa. Ia menceritakan bahwa ia mempunyai kontrak selama 7 bulan di laut, dengan gaji Rp 18.020.000,- per bulan. Ia berharap bisa mendapatkan kontrak selama 5 tahun. Tentu saya penasaran dengan penjelasannya.

Ketika saya tanya apakah keluarganya tidak keberatan ia bekerja di laut, mas Danu bercerita bahwa ia sudah memiliki istri seorang guru yang mengajar murid SMA untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia. Istrinya lulusan S1 dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk Fakultas Pendidikan. Jadi, gelar istrinya Sarjana Pendidikan atau SPd.

Nah, saya tidak menyerah dengan ceritanya. Saya akhirnya tahu bahwa mas Danu bertekad untuk menabung uang dari pekerjaan sebagai asisten pramu saji di kapal karena ia ingin menabung dan menggunakan dananya untuk usaha di kampung di Kebumen. Selain itu, ia harus bayar angsuran. 

Mas Danu pernah memiliki usaha jual beli mobil dan motor. Untuk itu ia meminjam dana sebesar Rp 100 juta dari Bank BRI dengan agunan tanah pekarangannya. Ia mendapatkan untung lumayan dari jual beli mobil bekas itu. Pada umumnya, ia berfokus pada mobil mobil Jepang sekelas Suzuki Jimny, Suzuki Carry, dan mobil Toyota.

Keuntungan permobil bisa mencapai Rp 5 sampai 10 juta rupiah, katanya. Iapun menikmati usahanya. Namun, suatu saat ia tertipu. Mobil yang ia bayar rupanya bermasalah, sehingga ia rugi puluhan juta. Iapun bertekad membayar sisa hutangnya yang masih sekitar Rp 75 juta, dan kemudian menabung kembali dana untuk membuka usaha jual beli mobil dan motor di Kebumen.

Saya bisa membayangkan langkahnya. Memang, untuk ijazah D3 nya, ia paling paling akan dapat gaji sekitar UMR di tempat kerja formal sekelas hotel dan kantor di Jakarta. Namun, ia bisa mendapatkan gaji cukup tinggi dengan bekerja di kapal pesiar.

Saya tanya apakah ia tidak kuatir dengan isu isu yang biasa muncul di kalangan pekerja di kapal pesiar. Ini soal narkoba dan pelecehan seksual. Juga saya tanya soal apakah ia bisa tetap setiap pada istrinya. Mas Danu menjawab ringan "Ah tergantung kita bu. Nama saya kan Danu Prasetyo. Saya setia bu", katanya sambil tertawa.

Laki-laki berusia 27 tahun kelahiran 27 Desember 1992 inipun sopan mengucapkan terima kasih dan membagi doa untuk kesehatan keluarga saya di akhir pembicaraan, ketika saya sudah sampai tujuan di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Tak lupa saya meminta ijin menuliskan kisahnya dan mengambil fotonya. Ia setuju. Terima kasih, mas Danu. 

Milenial, Dinamika Kependudukan Indonesia, dan Ketenagakerjaan
Danu Prasetyo hanyalah satu dari lebih dari sekitar 90 juta kelompok milenial di Indonesia yang saat ini berjuang di lapangan kerja. Persoalannyapun hanya satu dari kisah puluhan juta kisah milenial lainnya. 

Prosentase penduduk milenial (Profil Milenial Indonesia, KPPA)
Prosentase penduduk milenial (Profil Milenial Indonesia, KPPA)
Data 2017 menunjukkan bahwa generasi milenial (kelahiran 1980 sampai 1999) adalah sekitar 33,75% dari jumlah penduduk keseluruhan Indonesia yang jumlahnya sekitar sekitar 270 juta. Ini jumlah luar biasa.

Bolak-balik pejabat pemerintah menyebut soal bonus demografi. Namun, saya hampir tidak pernah mendengar analisis mendalam tentang hal ini. Gemes rasanya.

Dari sisi status menikah, dicatat dari Generasi Milenial yang diterbitkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beserta BPS menunjukkan bahwa generasi milenial yang telah menikah tenyata sebagian besar adalah perempuan, yaitu ada sebanyak 63,97 persen pada tahun 2017. Sedangkan, laki-laki sebagian besar masih melajang dengan persentase sebesar 53,60 persen.

Dari sisi pendidikan, mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelymnya. Rata rata lamanya pendidikan generasi ini adalah di atas 10 tahun, 2 tahun di atas generasi 'baby boomer'. Jadi, rata rata adalah lulus SMP dan sebagian dari mereka pernah duduk di bangku SMA. Sekitar 35% generasi ini lulus SMA dan sekitar 8,59% adalah lulus perguruan tinggi (Profil Generasi Milenial, KPPA, 2019).

Tentu, proporsi penduduk milenal perempuan yang sudah memiliki status menikah ini membawa implikasi pada proporsi penduduk perempuan dengan peran reproduksinya. Selain isu ketersediaan layanan kesehatan reproduksi, status mereka di dalam lapangan kerja juga menjadi penting. Seperti kita ketahui, aturan ketenagakerjaan kita belum ramah perempuan.

Banyak perempuan di usia reproduksi 'terpaksa' harus keluar dari pekerjaan dan tetap di rumah setelah memiliki anak karena beberapa persoalan. Jarak dari rumah ke tempat kerja formal, di samping perlunya merawat anak di rumah serta tiadanya fasilitas yang ramah perempuan di lingkungan kerja juga jadi persoalan.

Pada tahun 2017, lebih dari 80 persen penduduk generasi milenial laki-laki usia kerja masuk dalam angkatan kerja, sementara generasi milenial perempuan hanya sekitar 50 persen. Ini konsisten dengan angka partisipasi kerja penduduk keseluruhan yang hanya sekitar 50,9 % partisipasi kerja perempuan sementara untuk laki laki adalah sekitar 83,9%. Artinya, kaum milenial perempuan mengalami pesoalan yang sama dengan pendahulunya. Angka ini cenderung stagnan sejak 1990.

Selain soal bagaimana negara bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka, saya berpikir soal banyak hal. Bagaimana latar belakang pendidikan mereka relevan dengan lapangan kerja yang ada. Apa saja latar belakang pendidikan mereka. Di sektor apa saja mereka bisa diserap.

Studi oleh Forbes menunjukkan bahwa secara global pada tahun 2025, prosentase milenal yang ada di lapangan kerja mencapai 75%. Bahkan, pada saat ini, di perusahaan seperti Accenture dan Ernst & Young, proporsi milenial mencapai 2/3 dari seluruh pekerjanya. Jadi, sebetulnya tidak perlu kita canggung bekerja dengan mereka karena mereka sudah ada di mana mana.

Persoalannya, seberapa negara memahami kebutuhan milenial. Ini mungkin peril jadi perhatian. Terbukti, milenial mendorong perusahaan untuk berubah. Lihat saja perkembangan penjualan melalui sistem 'online'. Lalu, adanya 'marketplace' yang memfasilitasi mereka dalam berbagai bisnis dan industri. Dan, saya menjadi ingat tulisan Kompasianer oom Gege Padika seminggu yang lalu di tautan ini. Untuk itu, saya tak perlu mengulang apa yang ia sampaikan karena apa yang ditulisnya adalah sebagian dari persoalan ketenagakerjaan masa depan adalah isu yang nyata. 

Satu contoh saja, anak saya memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan sebagai peneliti kanker dengan pendidikan S2 di bidang 'bio medical science'. Padahal bidang itu saat ini merupakan bidang yang sangat dicari di dunia global. Ini tentu jadi tantangan khusus bila ia ingin membaktikan dirinya kepada tanah air tercinta.

Saya sangat penasaran apakah pemerintah telah membuat studi memadai tentang tantangan milenial di dunia kerja dan apa yang mereka butuhkan.

Setidaknya, studi global tentang milenial 2018 Deloitte Millennial Survey -Millennials disappointed in business, unprepared for Industry 4.0 menunjukkan betapa generasi milenial kecewa dengan industri yang ada di sekitarnya. Survai itu melibatkan sekitar 10.500 nara sumber milenial dan lebih dari 1.800 orang dari generasi Z. Sementara itu, terdapat 306 responden dari Indonesia.

Studi itu juga menemukan beberapa hal lain yang penting untuk jadi pertimbangan dalam mengembangkan layanan ketenagakerjaan, antara lain:

  • Kepercayaan milenial pada bisnis dan etika bisnis menurun, menjadi hanya 48% dibandingkan dengan studi serupa yang dilakukan pada tahun 2014 yaitu sebesar 65%. Juga, sektiar 47% responden, dibandingkan 62% pada 4 tahun yang lalu mengatakan bahwa pimpinan perusahaan adalah mereka yang membantu membuat perubahan di masyarakat.
  • Dua pertiga responden percaya bahwa bisnis di dunia lebih memikirkan bisnis mereka tinimbang melihat pada agenda sosial yang lebih luas dan melihat bahwa perusahaan memang hanya memikirkan cari duit saja.
  • Dunia bisnis dinilai tidak perduli dengan kebutuhan kelompok milenial. Naun demikian, dua pertiga responden tetap berpendapat bahwa persuahaan multi nasional adalah mereka yang emiliki potensi untuk memecahkan persoalan ekonomi di masyarakat, dan mempertimbangkan tantangan sosial ekonomi yang ada. Beberapa sektor yang mereka percaya dapat dibantu oleh perusahaan adalah di area pendidikan, peningkatan ketrampilan dan pelatihan, kestabilan ekonomi dan keamanan 'cyber', serta perubahan iklim
  • Milenial harapkan ada di dunia bisnis, antara lain yang a) Menciptakan dampak sosial dan lingkungan yang positif; b) Mendorong ide, produk dan layanan inovatif; c) Menciptakan lapangan kerja, mengembangkan karir dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat; dan d) Membangun lingkungan kerja yang inklusif dan berbagai.

Adalah menarik ketika terdapat pertanyaan soal faktor keberbagaian yang penting untuk dipertimbangkan dalam dunia bisnis. Responden dari Indonesia menjawab bahwa aspek pendidikan akan menjelaskan perbedaan yang ada di generasinya di dunia bisnis. Ini juga diangkat oleh generasi milenial dari negara 'emerging' lainnya, seperti Filipina, Cina, Turki, dan Korea Selatan.

Apa yang kita diskusikan belum melihat aspek yang ada pada sektor sektor tradisional yang sangat penting, baik di sektor pertanian, yang notabene sektor produksi maupun di sektor jasa.

Saya menjadi ingat kembali perjuangan Mas Danu. Untuk usianya yang 27 tahun, ia telah malang melintang bekerja selama lebih dari 6 tahun. Dan, untuk membangun bisnisnya, ia harus berani melakukan pekerjaan menantang jauh dari keluarganya, agar ia bisa membayar hutang dan mendapatkan modal bisnisnya. Ini penuh tantangan. 

Jadi, pertanyaan saya menjadi berulang tentang siapa calon menteri tenaga kerja yang tepat untuk Kabinet mendatang? Semoga Pak Jokowi mempertimbangkan seseorang yang paham sektor ketenagakerjaan. Seseorang yang paham isu yang dihadapi mas Danu dan juga jutaan milenial lainnya.

Yang paham bahwa begitu banyak milenial perempuan yang terpaksa tinggal di rumah karena perkantoran tidak menyediakan tempat yang ramah bagi mereka untuk tetap bekerja secara formal dan meningkatkan produktivitasnya. Yang paham isu potensi penggantian tenaga kerja oleh teknologi. Yang paham risiko sulitnya mengatur melalui kebijakan atas berkembangnya bentuk pekerjaan masa datang yang muncul dengan perkembangan teknologi digital dan "platform". 

Soalnya, saya bahkan tidak pernah ingat siapa Menteri Tenagakerja Kerja yang sekarang dan bagaimana kinerjanya. Mohon maaf, pak Jokowi. 

Sayang sekali saya harus berhenti dari menuliskannya, dan kembali pada kerja menyelesaikan laporan. Aduh... maaf ya kawan-kawan. 

Pustaka : 1) Future Work; 2) 2018 Millenial Survey Report; 3) Profil Milenial Indonesia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun