Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Pengemudi Keren dan Isu Ketenagakerjaan Milenial

24 Juli 2019   22:05 Diperbarui: 25 Juli 2019   13:54 1435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prosentase penduduk milenial (Profil Milenial Indonesia, KPPA)
Prosentase penduduk milenial (Profil Milenial Indonesia, KPPA)
Data 2017 menunjukkan bahwa generasi milenial (kelahiran 1980 sampai 1999) adalah sekitar 33,75% dari jumlah penduduk keseluruhan Indonesia yang jumlahnya sekitar sekitar 270 juta. Ini jumlah luar biasa.

Bolak-balik pejabat pemerintah menyebut soal bonus demografi. Namun, saya hampir tidak pernah mendengar analisis mendalam tentang hal ini. Gemes rasanya.

Dari sisi status menikah, dicatat dari Generasi Milenial yang diterbitkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak beserta BPS menunjukkan bahwa generasi milenial yang telah menikah tenyata sebagian besar adalah perempuan, yaitu ada sebanyak 63,97 persen pada tahun 2017. Sedangkan, laki-laki sebagian besar masih melajang dengan persentase sebesar 53,60 persen.

Dari sisi pendidikan, mereka cenderung memiliki tingkat pendidikan lebih baik dibandingkan dengan generasi sebelymnya. Rata rata lamanya pendidikan generasi ini adalah di atas 10 tahun, 2 tahun di atas generasi 'baby boomer'. Jadi, rata rata adalah lulus SMP dan sebagian dari mereka pernah duduk di bangku SMA. Sekitar 35% generasi ini lulus SMA dan sekitar 8,59% adalah lulus perguruan tinggi (Profil Generasi Milenial, KPPA, 2019).

Tentu, proporsi penduduk milenal perempuan yang sudah memiliki status menikah ini membawa implikasi pada proporsi penduduk perempuan dengan peran reproduksinya. Selain isu ketersediaan layanan kesehatan reproduksi, status mereka di dalam lapangan kerja juga menjadi penting. Seperti kita ketahui, aturan ketenagakerjaan kita belum ramah perempuan.

Banyak perempuan di usia reproduksi 'terpaksa' harus keluar dari pekerjaan dan tetap di rumah setelah memiliki anak karena beberapa persoalan. Jarak dari rumah ke tempat kerja formal, di samping perlunya merawat anak di rumah serta tiadanya fasilitas yang ramah perempuan di lingkungan kerja juga jadi persoalan.

Pada tahun 2017, lebih dari 80 persen penduduk generasi milenial laki-laki usia kerja masuk dalam angkatan kerja, sementara generasi milenial perempuan hanya sekitar 50 persen. Ini konsisten dengan angka partisipasi kerja penduduk keseluruhan yang hanya sekitar 50,9 % partisipasi kerja perempuan sementara untuk laki laki adalah sekitar 83,9%. Artinya, kaum milenial perempuan mengalami pesoalan yang sama dengan pendahulunya. Angka ini cenderung stagnan sejak 1990.

Selain soal bagaimana negara bisa menyediakan lapangan kerja bagi mereka, saya berpikir soal banyak hal. Bagaimana latar belakang pendidikan mereka relevan dengan lapangan kerja yang ada. Apa saja latar belakang pendidikan mereka. Di sektor apa saja mereka bisa diserap.

Studi oleh Forbes menunjukkan bahwa secara global pada tahun 2025, prosentase milenal yang ada di lapangan kerja mencapai 75%. Bahkan, pada saat ini, di perusahaan seperti Accenture dan Ernst & Young, proporsi milenial mencapai 2/3 dari seluruh pekerjanya. Jadi, sebetulnya tidak perlu kita canggung bekerja dengan mereka karena mereka sudah ada di mana mana.

Persoalannya, seberapa negara memahami kebutuhan milenial. Ini mungkin peril jadi perhatian. Terbukti, milenial mendorong perusahaan untuk berubah. Lihat saja perkembangan penjualan melalui sistem 'online'. Lalu, adanya 'marketplace' yang memfasilitasi mereka dalam berbagai bisnis dan industri. Dan, saya menjadi ingat tulisan Kompasianer oom Gege Padika seminggu yang lalu di tautan ini. Untuk itu, saya tak perlu mengulang apa yang ia sampaikan karena apa yang ditulisnya adalah sebagian dari persoalan ketenagakerjaan masa depan adalah isu yang nyata. 

Satu contoh saja, anak saya memiliki latar belakang pendidikan dan pekerjaan sebagai peneliti kanker dengan pendidikan S2 di bidang 'bio medical science'. Padahal bidang itu saat ini merupakan bidang yang sangat dicari di dunia global. Ini tentu jadi tantangan khusus bila ia ingin membaktikan dirinya kepada tanah air tercinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun