Â
Ada apa dengan nama?Â
Setelah artikel saya tentang obligasi hijau, sukuk kijau dan investasi hijau beberapa waktu yang lalu, saya akhirnya bisa 'kopi darat' dengan Kompasianer Marius Gunawan di kafe Orbora di area hutan di Manggala Wana Bakti, Kementrian Lingkungan dan Kehutanan (KLHK) beberapa hari yang lalu.
Adalah kejutan yang menyenangkan bahwa kami ternyata sama-sama bekerja untuk KLHK, walau untuk proyek yang berbeda. Lokasi kantor kami, yang jarang kami datangi pun, hanya terpisahkan oleh blok.
Obrolan awal kami soal investasi hijau, soal sampah, dan tata kelola perhutanan terhenti ketika pekerja kafe memanggil melalui pengeras suara 'Pak Gunawan. Pak Gunawan. Jus Kedondong dan Air Mineral telah siap dan bisa diambil". Sayapun bertanya kepada pak Marius Gunawan, 'O pak Marius dipanggilnya pak Gunawan ya?".
Nah dari situ, obrolan kami masuk ke soal pemberian nama di kalangan masyarakat atau suku Dayak. Sangat menarik.
Saya sempat katakan pada pak Marius "Ini menarik. Tulis dong. Atau saya yang tulis lho".Â
Diskusi dengan pak Marius membuat saya penasaran. Dan, tulisan ini adalah tulisan nekad. Ini adalah interpretasi saya atas diskusi dengan pak Marius. Saya mencoba melakukan kajian pustaka kecil kecilan.Â
Sayangnya, saya belum menemukan studi yang signifikan terkait pemberian nama di kalangan masyarakat atau suku Dayak. Akhirnya, saya membaca beberapa tulisan yang memberikan gambaran sepotong sepotong. Juga proses pemberian nama pada suku suka lain di Indonesia.Â
Sayapun mewawncara, atau tepatnya ngobrol lebih jauh, dengan seorang nara sumber lahli untuk isu Dayakisme untuk mendapatkan gambaran lebih baik. Mohon pak Marius dan kawan kawan Kompasianer yang lebih memahami konteks dan sejarah ini untuk dapat memberikan masukan dan koreksi.
Dan, saya kemudian menjadi ingat drama Romeo and Juliet, William Shakespeare "A rose by any other name would smell as sweet", atau 'mawar, walaupun diberi nama lain tetaplah berbau harum yang manis'.Â
Dalam larik itu, Juliet yang tak direstui untuk menjalin cinta dengan Romeo gara gara nama keluarga Romeo, hendak mengatakan bahwa dari manapun Romeo berasal dan menggunakan nama keluarga di nama belakangnya, Romeo tetaplah Romeo yang ia cinta.
Banyak pihak mengacu secara kurang tepat larik Skahespeare itu seakan nama tidaklah penting. Sejatinya, justru karena nama keluarga yang ada di nama belakang Romeo, yang notabene merupakan musuh orang tua Juliet ini menjadikan cinta Romeo dan Juilet tidak mendapat restu dari orang tuanya, dan cinta mereka berakhir dengan kematian dari keduanya. Kisah tragis.
Masih soal nama, bukan hanya di dalam seting Rome dan Juilet, di dalam adat Jawa, nama diberikan melalui upacara selapanan, yaitu selamatan yang diadakan pada hari ke 35 kelahiran bayi. Pada hari itu pula nama diberikan.
Saat ini, dengan makin meningkatnya ritual penganut Islam, pemberian nama bayi biasanya dikaitkan dengan upacara akikah dengan menyembelih kambing. Satu kambing ketika yang lahir adalah anak itu perempuan. Dua kambing ketika anak yang lahir adalah laki laki. Pada saat acara akikah itu, biasanya nama anak diumumkan.
Ini membuktikan, betapa nama itu penting. Nama dipercaya menentukan peruntungan dan nasib seseorang. Banyak orang mengganti nama, karena merasa bahwa nama lamanya tidak membawa keberuntungan. Tak heran bila begitu banyak masyarakat dari suku dan budaya di Nusantara memiliki berbagai upacara dan ritual budaya ketika memberikan nama.
Nama dan Masyarakat Suku Dayak
Sebelum membincang nama yang diberikan oleh orang tua kepada anak di kalangan masyarakat suku dayak, ada baiknya kita menyentuh pula tentang nama Dayakkyang tertera pada suku dan masyarakat yang kita kenal sebagai Dayak.
Nama suku Dayak adalah nama yang oleh penjajah diberikan kepada masyarakat yang hidup dan tinggal di pedalaman pulau Borneo (id.Wikipedia.org). Tentu terbayang kompleksnya nama 'pemberian', apalagi pemberian itu diperoleh dari penjajah, dimana masyarakat di pulau Borneo atau Kalimantan ini tidak memiliki kekuatan, selain menerimanya.Â
Sebetulnya, masyarakat Dayak memiliki keberatan dengan penamaan yang sarat bias, stereotipi yang diterakan kepada mereka sebagai kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, yang tradisional dan dianggap terbelakang, yang pada akhirnya membawa pada perlakuan diskiriminasi.Â
Konstruksi sosial kemudian dengan keji memposisikan masyarakat Dayak sebagai kafir dan inferior. Bahkan dalam literatur Belanda, Dayak berarti 'manusia kera', dan orang Cina menyebut sebagai 'la chi', yang artinya setengah manusia. Tidak pantas, kan?!
Kalangan masyarakat Adat Dayak pernah mengusulkan penamaan suku ini menjadi Daya yang berarti kekuatan dan berdaya. Namun, seperti yang kita saksikan, nama suku Dayak tetap menjadi nama yang kita pakai sampai saat ini. Namun, kemudian, adalah masyarakat Dayak sendiri yang kemudian memunguti hinaan dan ejekan itu sebagai perjuangan dan identitas sosial untuk mengangkat harkatnya. Luluh hati kita membaca ini.
Dipercaya, kata "daya" sendiri serumpun dengan misalnya kata "raya" dalam nama "Toraya" yang berarti "orang (di) atas, orang hulu". Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang ditemukan di Gua Niah (Sarawak) dan Gua Babi (Kalimantan Selatan), penghuni pertama Kalimantan memiliki ciri-ciri Austro-Melanesia, dengan proporsi tulang kerangka yang lebih besar dibandingkan dengan penghuni Kalimantan masa kini. (id.wikipedia.org).
Dalam hal suku bangsa, Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan masyarakat yang ada di Kalimantan menjadi tiga, yaitu masyarakat suku Banjar, suku Dayak (terdiri dari 6 suku utama dari 258 suku bangsa) dan suku Kalimantan lainnya (non Dayak dan non Banjar).Â
Adapun enam rumpun suku Dayak adalah rumpun Iban, rumpun Apokayan atau Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, Murut, Ot Fanum-Ngaju dan Rumpun Punan. Namun dari penelitian ahli bahasa, terdapat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulai Kalimantan.
Sejarah mencatat bahwa budaya hulu, budaya masyarakat Dayak adalah Budaya maritim atau bahari. Hampir semua nama sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan "perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama kekeluargaannya.
Dari obrolan dengan pak Marius Gunawan, dan dari tulisan yang saya baca dan wawancara nara sumber tentang adat Dayak, saya mencatat bahwa apa yang terkandung dalam nama yang diberikan kepada anak di kalangan masyarakat dan suku Dayak mengikuti kenangan yang ada pada lini waktu budaya dan sosial masyarakat. Namun demikian, apa yang terjadi di suku yang satu berbeda dengan praktik yang ada di suku yang lain.
Sebetulnya saya berharap munculnya tulisan tulisan tentang Dayak yang ditulis oleh Kompasianer dari Kalimantan. Ini mengurangi kemungkinan salah paham. Pada tahun 2013 terdapat tulisan 'Saya adalah Dayak' oleh seorang Kompasianer di tautan ini . Â
Juga terdapat tulisan di sini. Karena saya bukan orang Dayak, saya kuatir bila apa yang saya tulis salah dan akan menimbilkan masalah. Namun, bukanlah saya bila tidak nekad. :)Â
Pemberian nama seseorang diambil dari bahasa Dayak, juga nama-nama orang asing, dan dari kitab suci agama Katolik, serta nama orang lain yang membawa kenangan. Namun, pada dasarnya, nama bukan hanya dipakai untuk alat berkomunikasi.Â
Nama yang diberikan mengandung suatu makna dan maksud, harapan-harapan, dan citacita yang ingin dicapai oleh si anak, serta berdasarkan kejadian yang pernah dialami oleh orang tuanya ataupun yang lainnya.
Sejarah mencatat bahwa setiap komunitas di dunia ini memiliki masa lalu. Ini seperti yang disampaikan oleh Robert N. Bellah, bahwa suatu komunitas ditentukan oleh apa yang terjadi di masa lalu mereka, yang ada dalam ingat atau memori kolektif masyarakat.
Di kalangan suku Dayak tertentu, misalnya suku Tinying, penyebutan nama kepada orang yang lebih tua akan didahului dengan awalan Mang, Mah, atau Pak yang artinya bapak dari diikuti nama anak tertua. Ini untuk laki laki. Untuk perempuan, awalan Mak yang artinya ibu dan diikuti nama anak tertua, atau Nek yang diikuti biasanya dengan nama gelar karena perilakunya.
 Tanpa bermaksud membuat generalisasi, dan pengelompokan ini mungkin tidak belaku pada suku tertentu, secara umum, bila dibagi dalam kenangan lini waktu, maka pemberian nama dapat ditengerai sebagai berikut:
1. Masa Tradisional.Â
Pada masa masa tradisional, pemberian nama adalah diambil dari bahasa Dayak, yang dikaitkan dengan kenangan alam flora dan faunanya. Menurut saya, ini indah sekali.
Suatu tulisan oleh Eric Hansen "Stranger in the Forest: On Foot Across Borneo" (1988), mengkisahkan tentang suku Kelabits yang hidup di wilayah Serawak. Ia menyampaikan bahwa terdapat nama nama seperti Tama Bulan, yang artinya ayah dari bulan.Â
Eric menemukan pula bahwa pemberian nama bisa berkaitan dengan suasana. Ia menyebut seorang Dayak bernama Balang Nakrai yang artinya auman harimau. Ada pula Bayah Punga yang artinya buaya yang sesungguhnya.
Pada tulisan itu, Eric mencatat bahwa orang Dayak bisa mengganti nama anak karena suatu peristiwa yang membawa kesan. Misalnya, Peder Ulun yang berarti banyak kesedihan.Â
Nama ini diberikan ketika seseorang yang kehilangan anaknya di masa penjajahan Jepang, dan kemudian mengganti nama anaknya untuk memberikan gambaran situasi peristiwa yang ia kenang.
Penggantian nama itupun dilakukan dengan upacara di rumah betang.
Terdapat contoh contoh nama kenangan, misalnya Inandiu yang berarti tempat untuk mandi. Ada pula nama Inantudu, yang artinya tempat untuk duduk.Â
Seribu Munung yang berarti seribu wajah. DO-Eelah yang berarti sangat pintar. Ini mungkin mirip arti Jan Ethes, cucu Jokowi. :)  Nap-an Aran yang berarti penghargaan tersembunyi. Siron Lemalun, berarti lihatlah aku.
Di telinga dan otak saya, nama nama itu begitu indahnya. Namun, rupanya, bagi kalangan masyarakat Dayak sendiri, nama nama yang menggambarkan ciri dan budaya suku Dayak sempat dihindari, karena mengidentikkan dengan label dan stereotipi, khususnya di masa yang lalu. Ini menyebabkan masyarakat Dayak sempat tidak mau disebut sebagai orang Dayak.Â
Masyarakat Dayak, misalnya, tak hendak menggunakan nama tradisional ketika melamar pekerjaan, karena kuatir menyebabkan tidak bisa diterima ketika melamar sebagai pegawai negeri. Dicatat bahwa otonomi daerahlah yang membuka kesempatan orang Dayak untuk menjadi pejabat di wilayahnya sendiri. Sebelumnya, semua pejabat adalah pendatang.Â
Pak Marius dan nara sumber saya yang lain yang tak saya sebutkan identitasnya sempat menyampaikan adanya nama seseorang yang semula bernama asli Dayak dan berkaitan dengan nama binatang, yang akhirnya menggantinya dengan nama Melayu. Saya tidak menyebutkan nama tersebut dengan jelas karena ini berkaitan dengan nama seorang tokoh terkenal yang mungkin tak berkenan bila kita membincang.
2. Masa Masuknya Misionaris dan Agama Katolik.Â
Dicatat bahwa masuknya penyebaran Agama Katolik ke wilayah Kalimantan juga mempengaruhi nama nama yang ada. Tentu ini terkait nama baptis yang kita kenal pula di kalangan masyarakat luas.
Terdapat tulisan di suatu blog tentang tren nama orang Dayak yang beragama katolik yang lahir di sekitar tahun 70 sampai 80 an. Namu nama itu dikaitkan dengan nama baptis, yang pada umumnya terdapat frasa 'us' di akhir nama, misalnya Hurbertus, Kristianus, Albertus, dan sebagainya.
Pada saat yang sama terdapat pula yang menggabungkan nama baptis dengan nama asli, misalnya Theresia Hure. Nama ini adalah nama seseorang dari suku Dayak Kayan yang kisahnya ditulis oleh sang suami di blognya di Indratinying.
3. Masa Pengaruh Melayu dan Identitas Baru
Pengaruh nama Melayu pada masyarakat Dayak bukan hanya soal nama baru. Ada hal yang cukup kompleks dan ironis sebagai kesalahan sejarah bangsa kita yang memperlakukan masyarakat Dayak sebagai masyarakat inferior. Ini mungkian tergambar tentang bagaimana proses akulturasi pengaruh Melayu masuk dalam sendi kehidupan masyarakat Dayak.
Pada masa pengaruh Melayu dan Islam besar, misalnya, masyarakat Dayak memilih menjadi Islam dan melebur dalam budaya melayu untuk meninggalkan identitas kesukuannya yang dianggap inferior.Â
Karena inferiroritasnya inilah, saat itu banyak kalangan masyarakat Dayak yang meninggalkan rumah betang dan meninggalkan keluarganya, yang ditandai dengan memecahkan piring di depan rumah betang dan pergi untuk menjadi masyarakat Melayu. Senganan/berhaloq.
Sebagian masyarakat adat Daya memberikan tanggapan yang barbagai akan hal hal ini.
Adanya identitas baru dari Dayak Melayu sering dikritisi menjadi bagian dari melarikan diri dari kelompok tertentu.
4. Masa Pengaruh Perdagangan dengan Cina.Â
Di masa perdagangan Cina ramai dilakukan dengan kalangan masyarakat di Kalimantan, nama anak anak dikaitkan dengan nama orang Cina. Suatu tulisan seorang jurnalis senior bernama Lian Cheng menyebutkan betapa ia gembira karena ia temukan banyak nama Cina di antra masyarakat suku Kenyah yang ia temui.
Ia menemukan nama Lawai, Jau, Keling, Ngau, Lisu, Ullok, Apoi dan Wan sementara Sulin, Usun, Ubong, Long ada di antara nama anak laki laki, serta ia temukan nama Puynag dan Bulan yang ada di dalam bahasa Cina di antara anak perempuan suku Kenyah.
5. Masa Pengaruh Masyarakat dan Budaya Jawa
Adanya program transmigrasi yang menyebabkan banyaknya orang Jawa yang bermigrasi ke Kalimantan juga mempengaruhi nama anak. Selain itu, terdapat pula Jawa yang diberikan karena kenangan terhadap sahabat yang berasal dari Jawa. Nama nama itu misalnya, Indrawan, Setyawan, dan sebagianya.Â
Pak Marius memberikan contoh tentang namanya, Gunawan, yang merupakan nama kenangan atas nama sahabat yang berkesan di hati ayah pak Marius Gunawan.
6. Nama yang di Telinga atau secara Audio Indah terdengar, tetapi mungkin tanpa maknaÂ
Nama Vita, Mela, dan nama bama baru seperti Tina bermunculan. Kadang nama itu adalah nama yang indah di telingan atau secara audio, tetapi artinya tak selalu ada.
Salah satu narasumber menyebutkan pengalamannya mendapatkan oleh oleh cerita dari kerabatnya yang bekerja sebagai mantra kesehatan di wilayah Kalimantan. Salah satu oleh oleh adalah tentang betapa pentingnya arti sebuah nama.
Suatu saat pak Mantri pulang membawa cerita tentang seorang anak yang sakit sakitan. Nama anak ini Vagina. Si orang tua tentu tak mengetahui arti nama itu. Setelah proses diskusi dan edukasi, pak Mantri menyarankan orang tua sia anak untuk mengganti nama.Â
Pertimbangannya, nama adalah penting dan juga terdapat nama yang bisa mempengaruhi secara psikhologis. Di masa dewasa, anak tersebut tentu akan masuk dalam masyarakat sosial. Tak mungkin ia hidup baik bila namanya akan menjadi olok olokan. Alhasil, nama itu diganti.Â
Dan, secara ajaib, anak perempuan itu menjadi sehat. Setelah nama si anak perempuan diganti, maka ia sehat wal afiat. Ini menarik, tetapi kita percaya bahwa nama adalah penting.Â
Penggantian Nama dan Upacara AdatÂ
Di kalangan suku Dayak, upacara pemberian nama dan penggantian nama adalah penting.
Sebuah artikel di Borneo post menuliskan tentang pengalaman seorang Jurnalis tentang proses penggantian nama di kalangan suku Dayak Kenyah.Â
Upacara pemberian atau penggantian nama, atau sering disebut Pusau Ngalang Anak, dilakukan melalui upacara adat agar masyarakat luas mengenal. Ini juga untuk kehormatan pemilik nama. Penghulu Paul Balan Kalang, tetua adat yang menjadi nara sumber koran itu menyebutkan bahwa pemberian nama dilakukan dengan hati hati, dan bagaimana kesesuaiannya dengan anak.Â
Kalangan tua dan keluarga akan menilai nama itu dari sisi keturunan, dan nama keluarga atau nama adat dipertahankan melalui upacara itu. Yang menarik, nama adat Kenyah seringkali tidak muncul atau tertera di KTP.
Di kalangan masyarakat suku Dayak Kenyah, pemberian nama dilakukan antara usia 1 sampai 10 tahun. Biasanya, diperlukan 100 anak sebelum suatu upacara dilakukan. Karena mahalnya penyelenggaraan upacara, kadang kadang anak anak baru mendapatkan namanya setelah berusia 10 tahun atau bahkan ketika telah dewasa. Acara ini dilakukan sekali selama 10 tahun atau lebih lama. Â
Upacara pemberian nama memang cukup njlimet. Upacara memerlukan persiapan sekitar sebulan. Makanan dan akomodasi bagi tamu serta kelaurga besar dipersiapkan. Ini termasuk soal baju tradisional dan roncean mote mote.
Pada upacara itu, nama yang dipilih dipanggil sebelum sebuah rotan dilengkungkan hingga menjadi dua dan dibakar bagian tengahnya. Bila api menyala dan membakar rotan serta membagi rotan menjadi sama panjang, artinya, nama itu sesuai dengan si anak. Bila tidak sama, maka nama lain akan dipilih dan ritual akan akan diulang hingga prosesi sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam upacara ini, air atau jus jahe banyak dimanfaatkan. Ini menggambarkan bahwa ketenangan dan kedamaian serta penuh cinta selama upacara, dan kehidupan yang makmur dan sejahtera akan hadir di antara semua.
Pada upacara ini, semua harus saling memaafkan dan dalam suasana damai. Benci dan dendam harus hilang pada saat itu. Upacara ini menempatkan kebersamaan, penghargaaan dan penghormatan kepada orang tua. saling menghargai
Yang menarik, tetua adat di kalangan masyarakat Dayak tidak harus selalu laki laki. Terdapat pencalonan perempuan, misalnya Ibu Lucia Baya Kallang, untuk menjadi tetua adat. Ini menarik. Di Kalimantan, tetua adat harus dikonfirmasi dan disetujui oleh pemerintah.
Dayak, Identitasnya, dan Indonesia sebagai Bangsa yang Perlu Menghargai Warganya
Sebetulnya, bukan hanya soal nama Dayak dan nama masyarakat Dayak, soal nama Indonesia  juga menjadi bagian pergumulan kita. Nama Indonesia yang berarti India Belanda, adalah nama kolonisasi, yang menempel walau sudah merdeka. Â
Dalam hal Dayak, adalah masyarakat adat yang kemudian mempertahankan identitias Dayak untuk kemudian digunakan sebagai pemersatu ketika terjadi rapat damai Tumbang Anoi.
Dalam pertemuan itu, identitas penduduk asli Kalimantan ini dikatakan bukanlah identitas yang dikonstruksi dan direkonstruki. Pertemuan itu menyebutkan tanpa malu malu bahwa suku Dayak adakah suku yang dengan sadar memiliki falsafah hidup Huma Betang atau rumah panjang.
Ini memiliki makna bahwa identitas masing masing suku dan bangsa di negeri ini memiliki posisi setara. Negara perlu punya kearifan pada persoalan semacam ini. Kitapun sebagai warga negara perlu terus mendorong kesetaraan di antara sesama warganya.Â
Pustaka : 1) Borneo; 2) Suku Dayak; 3) Suku Dayak 2; 4) Nama di Suku Dayak Kenyah; 5) Adakah Dayak Melayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H