Dalam larik itu, Juliet yang tak direstui untuk menjalin cinta dengan Romeo gara gara nama keluarga Romeo, hendak mengatakan bahwa dari manapun Romeo berasal dan menggunakan nama keluarga di nama belakangnya, Romeo tetaplah Romeo yang ia cinta.
Banyak pihak mengacu secara kurang tepat larik Skahespeare itu seakan nama tidaklah penting. Sejatinya, justru karena nama keluarga yang ada di nama belakang Romeo, yang notabene merupakan musuh orang tua Juliet ini menjadikan cinta Romeo dan Juilet tidak mendapat restu dari orang tuanya, dan cinta mereka berakhir dengan kematian dari keduanya. Kisah tragis.
Masih soal nama, bukan hanya di dalam seting Rome dan Juilet, di dalam adat Jawa, nama diberikan melalui upacara selapanan, yaitu selamatan yang diadakan pada hari ke 35 kelahiran bayi. Pada hari itu pula nama diberikan.
Saat ini, dengan makin meningkatnya ritual penganut Islam, pemberian nama bayi biasanya dikaitkan dengan upacara akikah dengan menyembelih kambing. Satu kambing ketika yang lahir adalah anak itu perempuan. Dua kambing ketika anak yang lahir adalah laki laki. Pada saat acara akikah itu, biasanya nama anak diumumkan.
Ini membuktikan, betapa nama itu penting. Nama dipercaya menentukan peruntungan dan nasib seseorang. Banyak orang mengganti nama, karena merasa bahwa nama lamanya tidak membawa keberuntungan. Tak heran bila begitu banyak masyarakat dari suku dan budaya di Nusantara memiliki berbagai upacara dan ritual budaya ketika memberikan nama.
Nama dan Masyarakat Suku Dayak
Sebelum membincang nama yang diberikan oleh orang tua kepada anak di kalangan masyarakat suku dayak, ada baiknya kita menyentuh pula tentang nama Dayakkyang tertera pada suku dan masyarakat yang kita kenal sebagai Dayak.
Nama suku Dayak adalah nama yang oleh penjajah diberikan kepada masyarakat yang hidup dan tinggal di pedalaman pulau Borneo (id.Wikipedia.org). Tentu terbayang kompleksnya nama 'pemberian', apalagi pemberian itu diperoleh dari penjajah, dimana masyarakat di pulau Borneo atau Kalimantan ini tidak memiliki kekuatan, selain menerimanya.Â
Sebetulnya, masyarakat Dayak memiliki keberatan dengan penamaan yang sarat bias, stereotipi yang diterakan kepada mereka sebagai kelompok masyarakat yang hidup di pedalaman, yang tradisional dan dianggap terbelakang, yang pada akhirnya membawa pada perlakuan diskiriminasi.Â
Konstruksi sosial kemudian dengan keji memposisikan masyarakat Dayak sebagai kafir dan inferior. Bahkan dalam literatur Belanda, Dayak berarti 'manusia kera', dan orang Cina menyebut sebagai 'la chi', yang artinya setengah manusia. Tidak pantas, kan?!
Kalangan masyarakat Adat Dayak pernah mengusulkan penamaan suku ini menjadi Daya yang berarti kekuatan dan berdaya. Namun, seperti yang kita saksikan, nama suku Dayak tetap menjadi nama yang kita pakai sampai saat ini. Namun, kemudian, adalah masyarakat Dayak sendiri yang kemudian memunguti hinaan dan ejekan itu sebagai perjuangan dan identitas sosial untuk mengangkat harkatnya. Luluh hati kita membaca ini.