Di telinga dan otak saya, nama nama itu begitu indahnya. Namun, rupanya, bagi kalangan masyarakat Dayak sendiri, nama nama yang menggambarkan ciri dan budaya suku Dayak sempat dihindari, karena mengidentikkan dengan label dan stereotipi, khususnya di masa yang lalu. Ini menyebabkan masyarakat Dayak sempat tidak mau disebut sebagai orang Dayak.Â
Masyarakat Dayak, misalnya, tak hendak menggunakan nama tradisional ketika melamar pekerjaan, karena kuatir menyebabkan tidak bisa diterima ketika melamar sebagai pegawai negeri. Dicatat bahwa otonomi daerahlah yang membuka kesempatan orang Dayak untuk menjadi pejabat di wilayahnya sendiri. Sebelumnya, semua pejabat adalah pendatang.Â
Pak Marius dan nara sumber saya yang lain yang tak saya sebutkan identitasnya sempat menyampaikan adanya nama seseorang yang semula bernama asli Dayak dan berkaitan dengan nama binatang, yang akhirnya menggantinya dengan nama Melayu. Saya tidak menyebutkan nama tersebut dengan jelas karena ini berkaitan dengan nama seorang tokoh terkenal yang mungkin tak berkenan bila kita membincang.
2. Masa Masuknya Misionaris dan Agama Katolik.Â
Dicatat bahwa masuknya penyebaran Agama Katolik ke wilayah Kalimantan juga mempengaruhi nama nama yang ada. Tentu ini terkait nama baptis yang kita kenal pula di kalangan masyarakat luas.
Terdapat tulisan di suatu blog tentang tren nama orang Dayak yang beragama katolik yang lahir di sekitar tahun 70 sampai 80 an. Namu nama itu dikaitkan dengan nama baptis, yang pada umumnya terdapat frasa 'us' di akhir nama, misalnya Hurbertus, Kristianus, Albertus, dan sebagainya.
Pada saat yang sama terdapat pula yang menggabungkan nama baptis dengan nama asli, misalnya Theresia Hure. Nama ini adalah nama seseorang dari suku Dayak Kayan yang kisahnya ditulis oleh sang suami di blognya di Indratinying.
3. Masa Pengaruh Melayu dan Identitas Baru
Pengaruh nama Melayu pada masyarakat Dayak bukan hanya soal nama baru. Ada hal yang cukup kompleks dan ironis sebagai kesalahan sejarah bangsa kita yang memperlakukan masyarakat Dayak sebagai masyarakat inferior. Ini mungkian tergambar tentang bagaimana proses akulturasi pengaruh Melayu masuk dalam sendi kehidupan masyarakat Dayak.
Pada masa pengaruh Melayu dan Islam besar, misalnya, masyarakat Dayak memilih menjadi Islam dan melebur dalam budaya melayu untuk meninggalkan identitas kesukuannya yang dianggap inferior.Â
Karena inferiroritasnya inilah, saat itu banyak kalangan masyarakat Dayak yang meninggalkan rumah betang dan meninggalkan keluarganya, yang ditandai dengan memecahkan piring di depan rumah betang dan pergi untuk menjadi masyarakat Melayu. Senganan/berhaloq.