Tanpa bermaksud membuat generalisasi, dan pengelompokan ini mungkin tidak belaku pada suku tertentu, secara umum, bila dibagi dalam kenangan lini waktu, maka pemberian nama dapat ditengerai sebagai berikut:
1. Masa Tradisional.Â
Pada masa masa tradisional, pemberian nama adalah diambil dari bahasa Dayak, yang dikaitkan dengan kenangan alam flora dan faunanya. Menurut saya, ini indah sekali.
Suatu tulisan oleh Eric Hansen "Stranger in the Forest: On Foot Across Borneo" (1988), mengkisahkan tentang suku Kelabits yang hidup di wilayah Serawak. Ia menyampaikan bahwa terdapat nama nama seperti Tama Bulan, yang artinya ayah dari bulan.Â
Eric menemukan pula bahwa pemberian nama bisa berkaitan dengan suasana. Ia menyebut seorang Dayak bernama Balang Nakrai yang artinya auman harimau. Ada pula Bayah Punga yang artinya buaya yang sesungguhnya.
Pada tulisan itu, Eric mencatat bahwa orang Dayak bisa mengganti nama anak karena suatu peristiwa yang membawa kesan. Misalnya, Peder Ulun yang berarti banyak kesedihan.Â
Nama ini diberikan ketika seseorang yang kehilangan anaknya di masa penjajahan Jepang, dan kemudian mengganti nama anaknya untuk memberikan gambaran situasi peristiwa yang ia kenang.
Penggantian nama itupun dilakukan dengan upacara di rumah betang.
Terdapat contoh contoh nama kenangan, misalnya Inandiu yang berarti tempat untuk mandi. Ada pula nama Inantudu, yang artinya tempat untuk duduk.Â
Seribu Munung yang berarti seribu wajah. DO-Eelah yang berarti sangat pintar. Ini mungkin mirip arti Jan Ethes, cucu Jokowi. :)  Nap-an Aran yang berarti penghargaan tersembunyi. Siron Lemalun, berarti lihatlah aku.