Mohon tunggu...
Leya Cattleya
Leya Cattleya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PEJALAN

PEJALAN

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Lansia Itu Orang Tua dan Nenek Kita, Lansia Itu Warga Negara

19 Juni 2019   07:33 Diperbarui: 20 Juni 2019   08:46 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Anggota Keluarga Lanjut Usia -- Suatu Realita
Di usianya yang ke 83 tahun, ibu saya masih melakukan hampir semua kegiatan di rumahnya di Jakarta. Ini termasuk membersihkan rumah, memasak, mencuci baju dan mengurus taman. Ia dibantu oleh asisten rumah tangga yang hadir hanya setiap 2 jam dalam sehari. Ia adalah kepala rumah tangga.

Semua itu karena kemauannya. Ia tidak hendak tinggal dengan salah satu dari kami, anak anaknya. Kadang kadang serba salah untuk mendapat komentar keluarga besar. Seakan kami tak perduli padanya. Namun, intinya, ia ingin mandiri. 

Di bulan April yang lalu, saya dan kakak dan adik yang semuanya perempuan sengaja menyisihkan waktu untuk mengajak ibu saya berlibur ke Surabaya, kota kelahiran ibu saya. 

Maka, jadilah, kami tiga perempuan bersaudara yang berasal dari tiga kota berbeda mengambil cuti dan bersama sama ke Surabaya. Sangat manis, karena ini adalah kali pertama bisa melakukannya, di luar pertemuan di saat Lebaran dan Natal.

Di Surabayapun, kami sengaja memilih hotel favorit ibu saya di jalan Basuki Rahmat. Hotel dengan ruang yang memadai, alas seprei dan bantal serba putih bersih, ruang lobi penuh bunga dengan wangi daun sereh, sarapan menu yang ia suka, serta kebun luas adalah tempat yang Ibu saya sangat suka.

Meski nampak lelah dan berdamai untuk menggunakan kursi roda, Ibu saya terlihat gembira. Bahkan, rencana perjalanan kami atur ulang. Ibu saya ingin sekali memiliki pengalaman naik Kereta Api yang nyaman, yang ia sering baca di melalui unggahan kawannya di facebook. 

Maka ketika kami akhirnya melakukan perjalanan dengan Kereta Api dari Surabaya -- Semarang, Ibu saya bergembira dan menyediakan waktu ekstra untuk berlibur di Semarang.  Ia berkomentar sangat positif tentang Kereta Api Indonesia. 

Nyaman, moderen, dan WC nya yang bersih. Itu komentarnya. Ketepatan waktu tiba di kota tujuan juga menjadi acungan jempolnya. Ibupun memutuskan memperlama tinggal di Semarang dengan adik saya.

Namun, kebahagiaan kami dengan antusiasme ibu di Semarang buyar ketika pada suatu pagi, sekitar jam 5.00 adik saya menelpon dan memberitahukan bahwa ibu saya terjatuh di kamar mandi dan alami patah tulang bonggol pinggang. 

Ibu sayapun segera dibawa ke Rumah Sakit di Semarang. Saran dokter adalah dilakukan bedah penggantian tulang bonggol pinggulnya. Operasi dilakukan dan sukses.

Namun, perawatan di Rumah Sakit itu rupanya bukan hanya satu-satunya. Dalam dua bulan terakhir, Ibu saya terpaksa dirawat tiga kali di Rumah Sakit di Semarang. Bahkan, kami rayakan lebaran hari kedua di Rumah Sakit. 

Perawatan di Rumah Sakit ini bukan hanya terkait operasi tulang bonggol pinggulnya, tetapi juga perlunya transfusi darah karena merosotnya HB hingga 6 sampai 7, sementara idealnya ia harus pada angka 11 atau 12. Juga, ia dirawat karena karena serangan vertigo luar biasa, muntah muntah hebat, berikut tensi dan gula darah yang turun naik layaknya 'jet coaster'.

Satu hal yang cukup membuat kami patah hati luar biasa, ibu saya cepat muncul simtom dementianya. Ia menanyakan tentang apakah adik saya sejak semalam belum pulang, padahal baru 5 menit yang lalu kami duduk bertiga. Ia juga lupa bahwa ia sudah makan dan minum obat, sehingga ia kecewa dan berkeluh bahwa ia tidak dilayani baik dalam hal makan minumnya. 

Ibu saya juga meminta saya mengatur ulang dan menyesuaikan suhu kamar dan lampu lebih dari 10 kali dalam semalam, karena ketikdnyamanannya. Kemudian, iapun mulai curiga ada yang mengambil uangnya karena ia lupa bahwa uang yang ia pegang telah ia berikan sebagai tip kepada seseorang yang membantu merawatnya di rumah. 

Ini menyadarkan kepada saya, betapa ibu saya memang sudah berusia lanjut. Dementianya membuat ia seakan bukan lagi ibu yang kami kenal. Ini membuat patah hati luar biasa. Temuan bahwa ibu saya memiliki hiperkalsemia, kandungan kalsium berlebih di darah, membuat pemeriksaan olh hematolog masih dilakukan. Kami hanya berdoa bahwa ini bukan disebabkan oleh sesuatu yang akan menyakitkan ibu kami. 

Ibu saya hanyalah satu dari sekitar 25 juta lansia di Indonesia. Dari definisi lansia menurut pemerintah Indonesia, Ibu saya termasuk lansia tua, yang berumur di atas 80 tahun.Ia jadi bagian 8.69 persen dari seluruh lansia di Indonesia, dari sisi usia. Sementara, 63,39 persen dari lansia tergolong lansia muda yang berumur antara 60-69 tahun, sementara terdapat 27,92 persen adalah lansia madya berumur 70-79 tahun (BPS, Statistik Penduduk Usia Lanjut, 2018).

Bila dilihat dari angka ketergantungan penduduk, dari 100 penduduk usia produktif harus menanggung 15 orang penduduk usia lanjut. Artinya, secara nasional, setiap lansia adalah menjadi tanggung jawab sekitar 5,5 penduduk usia produktif (BPS, 2018).

Isu lansia merupakan isu dunia. Jumlahnya yang terus berkembang hingga melebihi jumlah balita di dunia. Menurut Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), saat ini terdapat sekitar 705 juta penduduk berusia di atas 65 tahun di dunia, sementara jumlah balita adalah 600 juta. Pada 2050 diperkirakan rasio itu akan meningkat. Setiap dua orang lansia terdapat satu orang balita.

Persoalan Kesehatan Lansia 
Terdapat berbagai isu yang dihadapi lansia. Persoalan lansia mencakup ekonomi, sosial, politik dan kesehatan. Namun, kita sepakati akan berbicara soal kesehatan di artikel ini. 

The National Council on Aging di Amerika menyebutkan bahwa di Amerika, 92% dari lansia memiliki paling tidak satu penyakit kronis, dan 77% dari lansia memiliki dua penyakit kronis. 

Angka ini kurang lebih juga menggambarkan situasi lansia di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Terdapat lebih dari sepuluh penyakit yang diidentiikasi sebagai penyakit lansia. 

Pengalaman saya memobilisasi dan mendampingi dokter relawan untuk pengungsi dari kalangan lansia pada saat gempa Lombok di tahun 2018 menunjukkan realita yang konsisten. Di bawah ini adalah persoalan kesehatan yang umum dihadapi lansia.

Penyakit kronis seperti tensi tinggi, stroke, kanker, diabetes, disamping persoalan obesitas yang disebabkan oleh gaya hidup dialami banyak lansia. Ini konsisten dengan situasi umum. 

Di pengungsian penyintas gempa di Lombok Timur, dari 87 lansia laki laki dan 228 lansia perempuan yang kami fasilitasi, lebih dari separuhnya memiliki tekanan darah tinggi, antara 140 sd 240. Mereka juga tidak merawat kesehatan degeneratifnya secara teratur. Terdapat cukup banyak kasus stroke yang meninggalkan isu disabilitas, sakit punggung, sakit kulit, penyakit persendian, dan juga penyakit menular seksual.

Kesehatan kognitif yang melibatkan persoalan kemampuan berpikir, belajar dan mengingat juga persoalan. Penyakit yang paling umum diiderita adalah dementia atau kepikunan. 

Sekitar 47,5 juta penduduk lansia di dunia dilaporkan mengalami dementia. Bentuk dementia yang paling dikenal adalah 'alzheimer'. Diprediksi jumlah tersebut akan berlipat tiga pada 2050. Sayangnya, keluarga pasien dementia membuat guyonan atas kepikunan lansia. Padahal, lansia yang mengalami dementia sangatlah tersiksa. Mereka bingung pada apa yang terjadi. 

Kesehatan mental. Karena penyakit ini sering tidak dikenal, maka kasus bunuh diri di antara lansia cukup tinggi. Di Amerika, misalnya, dari semua kasus bunuh diri, 18% nya adalah kasus yang dialami lansia. 

Di wilayah Dili, saya menemukan seorang lansia dengan persoalan kesehatan mental yang tidur di emper sebuah pagar tipis yang seukuran sebuah batu bata saja.

Kecelakaan fisik merupakan persoalan yang rumit. Terdapat data bahwa setiap 15 detik, seorang lansia jatuh dan masuk ke ruang UGD di Amerika. Selanjutnya, setiap setengah jam dicatat terdapat lansia yang meninggal karena terjatuh. 

Menjadi lansia memang menyebabkan perubahan bentuk dan struktur tulang. Kasus mengecilnya tulang tulang serta mengeropos menyebabkan tulang lansia mudah patah atau cedera bila jatuh atau terantuk. 

Namun, jatuh bisa dicegah bila lansia mengikuti dan turut mempelajari apa saja yang bisa menyebabkan jatuh. Juga modifikasi penataan dan perlengkapan rumah, termasuk kamar mandi dapat membantu. Juga, perlu waspada bahwa terjatuh bisa merupakan akibat dari penyakit lainnya.

Disabilitas. Selain akibat kecelakaan fisik, kasus disabilitas dialami banyak lansia, khususnya karena persoalan 'stroke' dan kecelakaan fisik. Ketika salah satu lansia mengalami disabilitas, ia segera memiliki ketergantungn yang tinggi pada lingkungannya. 

Sayangnya, fasilitasi rumah tangga dan publik belum dirancang dan dibangun untuk mereka yang punya disabilitas. Pada akhirnya, disabilitas membuat anggota masyarakat tidak bisa mengakses banyak fasilitas hidup dan sosial yang lain.

Penyakit kelamin dan HIV/AIDs juga menjadi momok orang lansia. Suatu saat saya menemani salah satu dokter relawan, dokter Andika di wilayah pengungsian yang memeriksa salah satu lansia. Lansia itu terkena sipilis. Krena dokter Andika masih muda, ia agak sungkan menerangkan kepada si kakek tentang penyakitnya. 

Alhasil, sayalah yang harus menerangkan pelan pelan terkait penyakit sipilisnya. Dan, menerangkan kepada seorang kakek kakek tentang sipilis ternyata tidak mudah. Ini pengalaman berharga bagi saya bahwa kita tak bisa mengasumsikan seakan orang tua tidak memiliki aktivitas seksual.

Kekurangan gizi. Karena menurunnya sistem kekebalan tubuh, persoalan kekurangan gizi membawa dampak serius pada lansia. Ini menjadi isu bagi lansia dari kalangan tidak mampu, khususnya. 

Pada penapisan dan layanan kesehatan di desa Beririjarak di Lombok Timur, misalnya ditemui kondisi lansia yang memprihatinkan. Dengan berat badan di bawah 40 kilogram dan tidak dapat menerima asupan makan, Pak Zainuddin yang menderita penyakit asam urat yang akut. 

Kondisi pengungsian di tenda menyebabkan lansia tersebut makin sulit bergerak. Baginya, mengunjungi Puskesmas yang harus ditempuh dengan perjalanan lebih dari 30 menit dengan mobil omprengan bukanlah sesuatu yang mudah.

Penyakit lain yang sering melanda lansia antara lain soal kemampuan melihat dan visual yang berkurang setelah usia 70 tahun. Dicatat bahwa satu dari 6 lansia memiliki persoalan penglihatan dan pendengaran. Juga isu kesehatan mulut, baik karena menggunakan/tidak menggunakan gigi palsu. Persoalan kesehatan mulut juga disebabkan mulut yang makin kering, persoalan polip geragam dan juga kanker usia lanjut.

Persoalan kecanduan minuman keras maupun obat obatan yang dibeli bebas serta gangguan saluran kencing juga merupakan persoalan yang sering muncul.

Persoalan-persoalan di atas menjadi lebih serius ketika lansia tinggal di tempat terisolir. Dicatat bahwa kondisi lansia yang menjadi pengungsi di wilayah terisolir seperti di dusun Batu Jong, desa Bilok Petung di Kecamatan Sembalun di Lombok Timur sangat mengenaskan. Karena lansia tidak dilibatkan dalam identifikasi kebutuhan pasca bencana, saya temukan terdapat pasangan lansia yang tinggal di bawah tenda yang terbuat dari plastik mulsa pada awal Desember 2018, atau 4 bulan setelah bencana gempa Lombok. Tak terbayang bila hujan tiba. 

Sementara itu, akses pada layanan kesehatan semakin terbatas dengan jalanan yang turun naik dan tiadanya transportasi umum. Jarak 42 km antara Batu Jong dengan Sembalun sebagai ibukota kecamatan Sembalun di Lombok Timur cukup sulit karena tiadanya transportasi umum dan jalanan berliku dan sempit di wilayah ini. Ini benar benar membuat hati teriris.

Ketika Lansia dengan Berbagai Persoalan Kesehatan itu adalah Anggota Keluarga Kita
Persoalan kesehatan lansia yang saya pahami melalu observasi, studi dan pengalaman empiris yang saya temui di lapang menjadi makin nyata dan menyakitkan ketika ibu saya mengalami persoalan kesehatan di usia lanjutnya.

Merawat lansia lanjut (di atas 80 tahun) tidaklah mudah. Terutama, bila persoalan kesehatan yang dihadapi lansia adalah gabungan dari beberapa penyakit kronik, dementia dan penyakit lain yang kritis dan membutuhkan pembiayaan cukup besar. Operasi tulang bonggol pinggul ibu saya didanai oleh BPJS. Terima kasih kepada negara ketika itu bisa ditanggulangi. Persoalan psikhologis lansia berupa penolakan dan 'denial' bahwa mereka membutuhkan bantuan juga rumit. 

Juga, saya mencatat bahwa pemerintah telah menyediakan layanan Puskesmas Lansia. DI Jakarta juga dibagikan kartu Lansia yang memberi manfaat sembako dan lain lain. Namun, ketika persoalan kesehatan yang lebih serius muncul, misalnya dengan adanya penyakit kanker oang lanjut usia, dan layanan Puskesmas Lansia dan BPJS tidak bisa menanggungnya, keluarga adalah yang menjadi tulung punggungnya. 

Dan, kami selaku anak ibu saya akan lakukan apapun untuk mengembalikan status kesehatannya, membuatnya lebih nyaman, atau membahagiakannya di hari tuanya. Namun, sesuatu yang nampak mudah belum tentu sesederhana itu. Dementia adalah sesuatu yang kami harus juga belajar paham. Ini sesuatu yang kompleks. 

Walaupun kami didukung 'pramurukti', sebutan untuk perawat pribadi untuk orang dewasa atau lansia, yang dalam bahasa Inggris sering disebut sebagai 'care giver', sayapun perlu bergantian dengan adik dan kakak untuk tetap siaga dengan kondisi tekanan darah dan gula darah yang turun naik.  

Karena sifat pekerjaan saya yang memungkinkan untuk saya lakukan secara 'nomaden', saya cukup lama mendampingi ibu selama tenaga pramurukti tak tersedia. Kurang lebih 3 minggu saya purna waktu mendukung ibu saya dan tidur di dekatnya. Ini menyedot enerji dan pikiran karena saya mengikuti turun naik kondisi ibu saya.

Pada saat yang sama, ini merupakan kesempatan bagi saya untuk dekat dengannya, untuk bisa mendukung sebisa saya. Cukup mengharukan ketika ibu saya melarang saya membantu membersihkannya setelah ia selesaikan BAB. Dan, saya lakukan tanpa kaos tangan, seperti yang dilakukan pramuraukti atau perawat Rumah Sakit. Saya hanya katakan 'Dulu saja mama cebokin Leya tiap hari juga ga papa, kan?". 

Studi global menunjukkan bahwa satu orang lansia yang memiliki isu kesehatan memerlukan dukungan sekitar empat orang anggota keluarga yang lain. Angka ini sangat relevan dengan kondisi yang kami alami. Ini persoalan ekonomi dan sosial yang serius. 

Dukungan pramurukti yang merupakan pekerjaan keperawatan untuk membantu lansia seperti ibu saya ini amatlah penting. Para pramukrukti ini diharapkan memiliki ketrampilan dan kualitas yang mumpuni, termasuk dalam menggunakan peralatan medis maupun non medis. 

Juga, pramurukti diharapkan paham dalam pemenuhan nutrisi. Bila diperlukan, merekapun paham cara merawat luka. Kerja yang nyaris 24 jam sehari kadang kadang melampaui apa yang dilakukan oleh anggota keluarga lansia. Adanya pramurukti juga membantu kami bisa lanjutkan kehidupan karena kami bisa 'mencuri waktu' untuk kembali bekerja, meski dengan berbagai penyesuaian. 

Sebagai anak atau cucu yang tahu dan paham kewajiban dan cinta sepenuh hati kepada orang tuanya, tentu kami akan melakukan apapun yang bisa untuk mendukung kesehatan orang tua agar terawat dan sehat dalam menjalani masa tuanya.

Bagi kita yang belum masuk dalam usia lansia, jagalah kesehatan agar tidak terkena penyakit degeneratif kronik seperti hipertensi, diabetes dan penyakit lainnya di hari tua. 

Memanjakan perut kita dengan makanan yang tampak lezat dan seringkali berlemak dan mengandung kolesterol tinggi mungkin perlu dipertimbangkan ulang. Sehat adalah mahal. Sehat di kala lansia lebih mahal lagi karena penyakit lansia memerlukan penanganan yang tidak biasa.

Saya teringat tulisan Kompasianer Pak Tjiptadinata Effendi ketika menuliskan alinea ini, karena beliau selalu mengingatkan kita tentang perlunya menjaga kesehatan kita, makan secukupnya, dan perlu mempersiapkan hari tua. Terima kasih, pak Tjip. 

Adalah wajar kita meminta perhatian negara. Ada rasa iri pada lansia di Kanada yang menerima uang pensiun. Ini termasuk untuk ibu rumah tangga yang selama hidupnya bekerja untuk keluarga. Tentunya ini bisa menjamin kehidupan lansia, secara ekonomi. 

Ketika negara tidak bisa mendukung, maka lansia menjadi tanggung jawab keluarga. Belum lagi soal kebutuhan infraststruktur dan layanan pubik yang tidak ramah lansia. Lansia perlu perhatian negara secara penuh. 

Siapkah Indonesia untuk merespons jumlah lansia kita pada 2050 yang diperkirakan 25% dari jumlah penduduk, atau sekitar 74 juta? 

Pustaka: 1) Elderly, 2) Statistik Penduduk Lanjut Usia 2018, 3) Lansia Dunia; 4) Lansia lebih banyak dari balita 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun