Terciptanya kondisi aman dan nyaman di kampus tidak hanya ditentukan dari seberapa unggul peringkat suatu universitas secara nasional atau seberapa memadai fasilitas yang ada. Namun, kondisi aman dan nyaman juga ditentukan dari sejauh bagaimana sivitas akademika merasa bahwa kegiatan mereka baik di bidang akademis maupun nonakademis terjamin dan terlindungi dengan baik, khususnya dari ancaman kekerasan seksual.
Di Indonesia, saat ini kekerasan seksual masih menjadi isu yang abu-abu bagi sebagian masyarakat, tetapi juga menjadi momok yang menakutkan dan kerap menimbulkan diskursus. Miris rasanya apa apabila kita masih menemukan korban yang tidak mendapatkan perlindungan yang memadai dan malah menjadi orang yang dipersalahkan dari kekerasan yang dialami.
Dalam melihat realitanya di lapangan, sebenarnya belum ada data konkret mengenai jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus. Namun, beberapa media massa seperti Tirto, Vice, dan Jakarta Post menunjukkan terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus dan 29 kota (Tirto, 2019). Fenomena isu kekerasan seksual ini dapat diibaratkan seperti gunung es, yang mana angka yang muncul hanya angka di permukaan, belum sampai kepada kasus-kasus yang "tidak terlihat" atau "tidak terungkap".
Menyadari bahwa terdapat urgensi untuk mengisi kekosongan hukum mengenai perlindungan bagi dari kekerasan seksual di perguruan tinggi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, mengeluarkan aturan mengenai pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di kampus. Aturan ini tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen).Â
Pencegahan yang dimaksud dalam Permen ini merujuk ke Pasal 1 ayat (3) adalah tindakan/cara/proses yang dilakukan agar seseorang atau sekelompok orang tidak melakukan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi. Pencegahan ini juga dibahas lebih lanjut dalam bab II bahwa pencegahan mengikutsertakan setiap aktor di perguruan tinggi agar mempelajari modul mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) yang telah ditetapkan oleh Kementerian.Â
Tidak hanya itu, pencegahan juga dapat dilakukan melalui penguatan tata kelola, yang mana dimaksudkan di sini adalah merumuskan kebijakan yang mendukung perihal PPKS ini, membuat pedoman PPKS, membentuk satgas PPKS, menyediakan layanan pelaporan KS, dan lain sebagainya.
Poin terakhir yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual yang tertuang dalam adalah  penguatan budaya komunitas kepada seluruh civitas akademika setidaknya pada saat orientasi kehidupan kampus kepada Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan.
Terobosan Berperspektif Korban
Terobosan baru yang dibuat dalam Permen yang baru saja disahkan pada 27 Oktober 2021 adalah termuatnya sejumlah poin penting yang "berperspektif korban", yaitu jaminan perlindungan untuk korban dan saksi kekerasan seksual. Selain itu juga terdapat Satuan Tugas yang berfungsi sebagai pusat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, pelibatan seluruh unsur civitas akademika yang berada di perguruan tinggi, mekanisme penanganan kekerasan seksual yang jelas, serta evaluasi implementasi terhadap penerapan peraturan ini.
Maka dari itu, Permen ini membutuhkan aktor yang dapat memastikan pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual dapat berjalan dengan baik, dan upaya tersebut dapat diusahakan oleh 3 (tiga) komponen kuncinya, yaitu perguruan tinggi, pendidik dan tenaga kependidikan, serta mahasiswa. Upaya pelibatan perguruan tinggi dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Kewenangan Pendelegasian Wewenang Kepada Perguruan Tinggi
Untuk melaksanakan peraturan tersebut di tingkat perguruan tinggi, perlu dibuat pengaturan lebih lanjut di internal perguruan tinggi. Oleh sebab itu, dibutuhkan pelimpahan kewenangan, yakni pelimpahan dari Permen yang bersangkutan yang kemudian dikonversikan menjadi peraturan di dalam perguruan tinggi masing-masing.
Pelimpahan kewenangan ini pada umumnya diberikan kepada pemrakarsa untuk membuat pengaturan hukum lebih lanjut agar ketentuan yang diatur dalam undang-undang bersangkutan dapat dilaksanakan sesuai yang telah dicita-citakan sejak peraturan yang telah dibuat disahkan.Â
Menurut Hadjon, salah satu syarat delegasi adalah harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang mana dimaksudkan bahwa delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.Â
Kewenangan delegasi yang dinyatakan dengan tegas dalam Permen antara lain pengaturan mengenai tata pemberian persetujuan, pengenaan sanksi administratif, hasil pembentukan dan rekrutmen keanggotaan panitia seleksi, keanggotaan satuan tugas, rekomendasi untuk korban apabila terbukti terdapat tindak kekerasan seksual, dan pemulihan nama baik terlapor terhadap dugaan kasus kekerasan seksual.
Â
Diskresi dan Kewenangan Rektor
Dalam bagian yang telah disebutkan di atas, Permen menetapkan bahwa permasalahan tersebut akan dilakukan berdasarkan "Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi". Hal ini berkaitan dengan sejumlah kewajiban yang diberikan oleh Permen tersebut.
Bagian III Pasal 10 dalam Permen a quo ini menyatakan bahwa Perguruan Tinggi wajib melakukan penanganan kekerasan seksual melalui pendampingan, perlindungan, pengenaan sanksi administrasi, dan pemulihan korban. Wewenang ini atas diskresi rektor pada korban untuk memberikan jaminan serta fasilitas perlindungan pada korban baik keberlanjutan mahasiswa atau tenaga kependidikan atas segala ancaman.
Dalam hal pemulihan akan dilakukan pendampingan atas persetujuan korban maupun wali/orang tua korban lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (2) yaitu berupa konseling, layanan kesehatan, bantuan hukum, advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani. Dalam tahap ini perlu diperhatikan juga apabila korban merupakan penyandang disabilitas maka akan diberikan fasilitas tertentu selama masa pendampingan. Serta untuk korban belum dewasa maka dapat mengikutsertakan lembaga yang membidangi perlindungan anak.
Selanjutnya terkait perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 12 yang memuat jaminan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan pendidikan, jaminan pekerjaan bagi tenaga kependidikan, perlindungan dari ancaman fisik atau non fisik.Â
Bentuk dari perlindungan ini bisa dilakukan dalam beberapa hal yang 'berperspektif korban' seperti konseling; layanan kesehatan; bantuan hukum; advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban; perlindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana; gugatan perdata atas peristiwa Kekerasan Seksual yang dilaporkan; penyediaan rumah aman; dan/atau perlindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang diberikan.
Sanksi administratif dilakukan pada pelaku kekerasan seksual atau keputusan pemimpin perguruan tinggi melalui rekomendasi satuan tugas dengan tiga bagian secara umum yaitu dalam Pasal 14 menyebutkan bahwa;
Sanksi Ringan berupa, teguran tertulis; ataupernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Sanksi Sedang berupa, pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau pengurangan hak sebagai Mahasiswa yang meliputi; penundaan mengikuti perkuliahan (skors); Â pencabutan beasiswa; atau pengurangan hak lain.
Sanksi Berat berupa, pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Berikutnya mengenai pemulihan korban diatur dalam Pasal 20 yang menyebutkan bahwa pimpinan perguruan tinggi harus melakukan sejumlah hal yang berkenaan dengan kondisi psikologis korban. Sebagaimana diketahui, bahwa terapi ini juga berkenaan dengan fisik dan batin korban.
Bentuk dari hal tersebut bisa melalui tindakan medis; terapi fisik terapi psikologis; dan bimbingan sosial dan rohani, serta dapat melibatkan dokter/tenaga kesehatan lain; konselor; psikolog; tokoh masyarakat; pemuka agama; dan/atau pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan Korban penyandang disabilitas. Dalam hal ini pemulihan harus dilakukan atas persetujuan korban, serta terkait stress traumatis akan diberikan persetujuan saksi. Masa pemulihan ini tidak mengurangi hak korban baik dalam pembelajaran, hak kepegawaian, atau hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Peraturan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini juga mengatur terkait pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dibentuk oleh Pemimpin Perguruan Tinggi melalui seleksi paling sedikit tiga orang dan maksimal tujuh orang dengan keterwakilan paling sedikit (dua pertiga) perempuan dari jumlah anggota.Â
Dalam hal ini panitia seleksi terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa serta memenuhi syarat berupa pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual. Dilanjutkan syarat administrasi berupa daftar riwayat hidup; surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur Mahasiswa.Â
Satgas ini pun juga harus dilatih dan dipantau oleh Kemendikbud Ristek-Dikti dan juga Rektorat. Terdapat pelatihan dan seleksi yang diumumkan melalui laman unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter, lalu diadakan uji publik untuk mendapat masukan dari masyarakat. Pemimpin Perguruan Tinggi juga memiliki tugas dan wewenang untuk memfasilitasi pelaksanaan satuan tugas seperti halnya sarana dan prasarana operasional yang meliputi pembiayaan dalam pencegahan dan keamanan, perlindungan keamanan, dan pendampingan hukum.Â
Mekanisme Penanganan Kekerasan Seksual Melalui Satgas
Berikutnya diperlukan mekanisme dalam penanganan kekerasan seksual. Disebutkan bahwa mekanisme akan dilakukan oleh satuan tugas melalui lima tahap; penerimaan laporan; pemeriksaan; penyusunan kesimpulan dan rekomendasi; pemulihan; dan tindakan Pencegahan keberulangan.Â
Pertama dalam Pasal 39 mengenai penerimaan laporan; pemeriksaan; dan penyusunan kesimpulan dan rekomendasi. Pelaporan oleh korban atau saksi pelapor yang dapat disampaikan melalui telepon, pesan singkat elektronik, surat elektronik, maupun laman resmi Perguruan Tinggi.Â
Dalam hal ini mekanisme harus dibuat mudah diakses bagi penyandang disabilitas sekalipun. Selanjutnya dalam pasal 40 dalam tahapan penerimaan pelaporan yang akan diproses oleh Satuan Tugas untuk: mengidentifikasi korban atau saksi pelapor; penyusunan kronologi peristiwa; pemeriksaan dokumen yang disampaikan' inventarisasi kebutuhan Korban atau saksi; pemberian informasi hak Korban atau saksi pelapor serta risiko dan rencana mitigasi terhadap risiko tersebut; dan laporan akan dilanjutkan pada pemimpin Perguruan Tinggi. Tahap ketiga dalam pasal 41 mengenai pemeriksaan dokumen dengan tujuan untuk mengumpulkan keterangan atau dokumen laporan.Â
Pemeriksaan dilakukan terhadap korban, saksi, dan terlapor. Satuan tugas menyediakan akomodasi dalam pendampingan yang layak dan dilakukan secara tertutup dengan maksimal waktu 30 hari kerja. Selama tahap ini, menurut Pasal 42 Pemimpin perguruan Tinggi dapat melakukan pemberhentian hak pendidikan terlapor yang berstatus sebagai mahasiswa maupun hak pekerjaan baik pendidik, tenaga kependidikan, dan warga kampus.
Keempat, rekomendasi yang memuat uraian identitas, bentuk kekerasan, pendampingan, dan perlindungan terkait apakah terbukti atau tidak terbukti adanya kekerasan seksual. Rekomendasi yang dimaksud memuat pemulihan, sanksi dan pencegahan keberulangan yang akan ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.Â
Kelima, Â pemulihan akan difasilitasi oleh satuan tugas sesuai dengan kebutuhan korban. Berikutnya keenam, mengenai pencegahan keberulangan melalui pembelajaran, tata kelola seperti perumusan kebijakan mengenai pencegahan kekerasan seksual, dan perbaikan penguatan budaya komunitas.Â
Keenam, tindakan pencegahan keberulangan yang dilakukan oleh perguruan tinggi melalui pembelajaran, penguatan tata kelola, dan budaya komunitas berupa pengembanan materi modul, pengembangan metodologi pembelajaran, melakukan diseminasi dan sosialisasi berkala, evaluasi pemahaman materi modul, dan kegiatan dalam rangka pencegahan keberulangan.Â
Hak Korban
Pemenuhan hak korban dalam peristiwa kekerasan seksual sangat penting untuk menghindari pengulangan peristiwa kekerasan seksual serta dampak keberlanjutan terhadap korban.Â
Dalam hal ini diatur dalam Pasal 53 yaitu hak korban untuk; mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri; meminta pendampingan, perlindungan, dan/atau pemulihan dari Perguruan Tinggi melalui Satuan Tugas; dan meminta informasi perkembangan Penanganan laporan Kekerasan Seksual dari Satuan Tugas. Serta hak saksi kekerasan seksual yaitu; mendapatkan jaminan atas kerahasiaan identitas diri; dan/atau meminta pendampingan, perlindungan, dan/atau pemulihan.
Kesimpulan
Lahirnya Permen tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi tentunya memberikan nafas segar bagi perlindungan kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Namun, apalah guna suatu hukum apabila tidak ditegakkan secara nyata di masyarakat.Â
Pemimpin Perguruan Tinggi memiliki kewajiban penting untuk memantau dan mengevaluasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual oleh Satuan Tugas. Hal itu dilakukan melalui laporan yang disampaikan kepada Menteri melalui unit kerja di Kementrian yang berfungsi dan bertugas dalam penguatan karakter dalam kurun waktu paling sedikit satu kali dalam enak bulan atau jika diperlukan.Â
Bagi pemimpin yang tidak melakukan tugasnya akan dikenakan sanksi administratif sesuai perundang-undangan berupa teguran tertulis bahkan pemberhentian.Â
Menteri juga dapat melakukan pemantauan dan evaluasi jika terjadi kekerasan skala berat, kondisi korban kritis, korban berada di negara berbeda (lintas yuridiksi), dan melibatkan pelaku karena tugas dan kedudukannya memiliki kewenangan melakukan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi.Â
Dengan tercapainya pengawasan dan evaluasi tersebut, maka diharapkan dapat menghantarkan civitas akademika kedalam lingkungan kampus yang aman dari kekerasan seksual.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H