Bentuk dari perlindungan ini bisa dilakukan dalam beberapa hal yang 'berperspektif korban' seperti konseling; layanan kesehatan; bantuan hukum; advokasi; dan/atau bimbingan sosial dan rohani, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merendahkan dan/atau menguatkan stigma terhadap Korban; perlindungan Korban dan/atau pelapor dari tuntutan pidana; gugatan perdata atas peristiwa Kekerasan Seksual yang dilaporkan; penyediaan rumah aman; dan/atau perlindungan atas keamanan dan bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang diberikan.
Sanksi administratif dilakukan pada pelaku kekerasan seksual atau keputusan pemimpin perguruan tinggi melalui rekomendasi satuan tugas dengan tiga bagian secara umum yaitu dalam Pasal 14 menyebutkan bahwa;
Sanksi Ringan berupa, teguran tertulis; ataupernyataan permohonan maaf secara tertulis yang dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
-
Sanksi Sedang berupa, pemberhentian sementara dari jabatan tanpa memperoleh hak jabatan; atau pengurangan hak sebagai Mahasiswa yang meliputi; penundaan mengikuti perkuliahan (skors); Â pencabutan beasiswa; atau pengurangan hak lain.
Sanksi Berat berupa, pemberhentian tetap sebagai Mahasiswa; atau pemberhentian tetap dari jabatan sebagai Pendidik Tenaga Kependidikan, atau Warga Kampus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dari Perguruan Tinggi yang bersangkutan.
Berikutnya mengenai pemulihan korban diatur dalam Pasal 20 yang menyebutkan bahwa pimpinan perguruan tinggi harus melakukan sejumlah hal yang berkenaan dengan kondisi psikologis korban. Sebagaimana diketahui, bahwa terapi ini juga berkenaan dengan fisik dan batin korban.
Bentuk dari hal tersebut bisa melalui tindakan medis; terapi fisik terapi psikologis; dan bimbingan sosial dan rohani, serta dapat melibatkan dokter/tenaga kesehatan lain; konselor; psikolog; tokoh masyarakat; pemuka agama; dan/atau pendamping lain sesuai kebutuhan termasuk kebutuhan Korban penyandang disabilitas. Dalam hal ini pemulihan harus dilakukan atas persetujuan korban, serta terkait stress traumatis akan diberikan persetujuan saksi. Masa pemulihan ini tidak mengurangi hak korban baik dalam pembelajaran, hak kepegawaian, atau hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Peraturan mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi ini juga mengatur terkait pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang dibentuk oleh Pemimpin Perguruan Tinggi melalui seleksi paling sedikit tiga orang dan maksimal tujuh orang dengan keterwakilan paling sedikit (dua pertiga) perempuan dari jumlah anggota.Â
Dalam hal ini panitia seleksi terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa serta memenuhi syarat berupa pernah mendampingi Korban Kekerasan Seksual;pernah melakukan kajian tentang Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; pernah mengikuti organisasi di dalam atau luar kampus yang fokusnya di isu Kekerasan Seksual, gender, dan/atau disabilitas; dan/atau tidak pernah terbukti melakukan kekerasan termasuk Kekerasan Seksual. Dilanjutkan syarat administrasi berupa daftar riwayat hidup; surat rekomendasi dari atasan bagi calon anggota dari unsur Pendidik dan Tenaga Kependidikan; dan surat rekomendasi dari Pendidik bagi calon anggota dari unsur Mahasiswa.Â
Satgas ini pun juga harus dilatih dan dipantau oleh Kemendikbud Ristek-Dikti dan juga Rektorat. Terdapat pelatihan dan seleksi yang diumumkan melalui laman unit kerja di Kementerian yang melaksanakan fungsi dan tugas penguatan karakter, lalu diadakan uji publik untuk mendapat masukan dari masyarakat. Pemimpin Perguruan Tinggi juga memiliki tugas dan wewenang untuk memfasilitasi pelaksanaan satuan tugas seperti halnya sarana dan prasarana operasional yang meliputi pembiayaan dalam pencegahan dan keamanan, perlindungan keamanan, dan pendampingan hukum.Â