Mohon tunggu...
Lestari Anfa M
Lestari Anfa M Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Pamulang Prodi Sastra Indonesia

Kegemaran? Menulis dan bernapas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Magical Eyes

3 Juli 2023   14:35 Diperbarui: 3 Juli 2023   14:38 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namanya Afifah, panggilannya Ifa. Pembawaannya sangat tenang, santai, namun terlihat dewasa. Dia jarang berbicara, lebih banyak diam dan mendengarkan. Dia tidak mudah tertawa atau tersenyum saat melihat atau mendengar hal lucu. Eh, ya, maksudku dia tersenyum, tapi sangat samar.

Wajahnya biasa saja. Senyumnya biasa. Suaranya biasa. Pokoknya semuanya biasa, dia bukan orang spesial. Tetapi katanya, ada sihir di matanya. Lumayan banyak teman-temanku yang selalu membicarakan dia, seolah mereka tertarik padanya. Kamu tau, suka, maksudku. "jangan sampai kamu menatap atau ditatap matanya! Kamu pasti jatuh cinta!" kata mereka. Ah, aku tidak percaya.

Walaupun begitu, aku jadi penasaran dengannya. Memangnya ada apa sih, di matanya? Maka dari itu, aku jadi sering memperhatikannya diam-diam. Awalnya sih, aku tidak berniat melakukannya. Hanya tanpa sadar saja aku memperhatikan dia, demi melihat ke dalam matanya.

Sudah hampir dua bulan aku memperhatikan dia, tepatnya matanya. Dan menurutku, matanya biasa saja. Matanya agak kecil—bukan sipit. Warna pupil matanya hitam biasa. Bulu matanya biasa, tidak lebat dan tidak lentik. Kelopak matanya pun biasa saja. Apa yang spesial dari matanya?

"hei, Deny! Aku lihat beberapa minggu terakhir ini kamu sering memperhatikan Ifa. Apa kamu menyukainya?" tanya salah seorang temanku, Rion. Dia juga pernah berbicara tentang Ifa kepadaku, 'deg-degan setelah menatap mata Ifa.' Katanya.

"ah, tidak, lah! Aku tidak menyukainya. Aku seperti ini karena kamu dan anak-anak lain. Aku jadi penasaran dengan matanya. 'ada apa sih, di matanya?' itu saja" jawabku jujur.

"ooh.. seperti itu. Aku sarankan, sebaiknya kamu hentikan penelitianmu itu jika tidak ingin jatuh cinta padanya." Rion menyarankanku agar berhenti mencoba melihat ke dalam mata Ifa.

"aku tidak mungkin jatuh cinta padanya. Aku sudah sering menatap matanya dan tidak merasakan apa-apa." Jawabku jujur.

"oh, ya? Masa, sih? Mungkin kamu harus ditatap dulu olehnya, baru kamu akan jatuh cinta. Heheh" Rion terkekeh. Aku menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Aku tidak akan jatuh cinta pada wanita biasa hanya karena tatapan matanya yang menurutku juga biasa saja.

Oh ya, aku Deny. Murid SMA kelas 11. Dan Ifa adalah teman sekelasku. Rumor tentang Ifa itu kudengar sejak kelas 10 semester 2. Saat itu mulai terdengar 'bisik-bisik' di antara para murid laki-laki di sekolahku. Katanya, ada murid perempuan yang memiliki sihir. "sihir?" tanyaku saat itu. Aku bingung dan membayangkan sihir yang dimaksud itu adalah sihir seperti yang biasa dimiliki oleh nenek sihir. Ternyata bukan. Dan murid perempuan itu adalah Ifa.

Lalu setelah kenaikan kelas, aku satu kelas dengannya. 'ah, orangnya biasa saja kok, ternyata. Tidak cantik' pikirku saat pertama kali melihatnya.

Tentu saja aku tidak ingin peduli. Tapi—sudah kubilang, gosip di antara anak laki-laki tentangnya membuatku penasaran.

Saat ini, aku sudah yakin bahwa tidak ada yang spesial dari matanya. Dan juga yakin bahwa mata atau otak teman-temanku lah yang salah. Malah, aku sempat berpikir bahwa mungkin Ifa memakai pelet? Oh, aku jahat sekali menuduhnya seperti itu. Tapi sebelumnya pun, selain aku, sudah pernah ada yang mengira seperti itu. Tapi—lagi, untuk apa orang seperti Ifa memakai pelet?

Orangnya sangat cuek, apalagi terhadap laki-laki. Dan aku pikir, dia bukan orang yang suka dengan sesuatu yang seperti itu. Itu tidak mungkin. Tapi tunggu, mengapa aku jadi seperti ini? Ah, aku tidak ingin memikirkan dan mencari sebab dari gosip 'mata sihir' itu lagi. Tidak penting. Lebih baik, aku mempersiapkan diri untuk materi presentasi pelajaran Geografi besok, tentang Globalisasi dan Pengaruhnya terhadap per-ekonomian di Indonesia.

[Esoknya..]

"... lagi pula, minimarket atau supermarket biasa dikenai pajak pada produk atau transaksinya. Sedangkan beberbelanja secara online hanya membayar ongkos kirim saja. Dan banyak pula yang menggratiskannya. ...

... sampai sini, ada yang ingin bertanya?" akulah yang mempresentasikan hasil diskusi kelompok kami. Aku yakin, presentasi kelompokku lah yang paling bagus. Isi materinya bagus, lengkap, dan sesuai dengan pertanyaan yang menjadi bahasan. Dan caraku mempresentasikannya juga jelas, lancar dan percaya diri.

Lalu kulihat, ada seorang murid perempuan yang mengangkat tangan kanannya.

'ah.. orang usil, bertanya di presentasi teman. Paling pertanyaan tidak jelas dan ngaco.' Pikirku sebelum benar-benar melihat wajah orang yang mengangkat tangannya. Dan dia adalah Ifa, murid yang mengangkat tangannya tanda ingin bertanya.

'ooh.. Ifa. Kira-kira dia ingin bertanya apa, ya? Tunggu, tidak biasanya dia ingin ikut bertanya, biasanya dia diam saja. Eh? Apa jangan-jangan dia sadar beberapa bulan terakhir aku sering memperhatikannya? Tapi, mengapa aku harus khawatir seperti ini? Eh, apa hubungannya dengan presentasiku? Eh? Aku kenapa, sih?'

"ya, Ifa, silahkan berdiri" aku mempersilahkannya untuk bertanya sambil berdiri. Jika itu adalah siswi lain, mungkin akan menolak karena malu jika bertanya sambil berdiri. Tapi dia langsung berdiri setelah kupersilahkan. Dia cuek sekali.

"silakan"

"tadi Anda bilang, bahwa pasar online tidak dikenakan pajak, sedangkan pasar offline berpajak?" tanyanya langsung. Entah mengapa, perkataan Rion dan yang lainnya jadi terngiang-ngiang di benakku.

'jangan menatap ...'

'mungkin kamu harus ditatap olehnya, baru jatuh cinta'

Aku jadi terdoktrin untuk tidak menatap matanya. Aku jadi tidak benar-benar memperhatikan pertanyaannya karena mataku jelalatan melihat ke sana sini, menghindar. Hey?! Kenapa aku begini?

"eh? Iya, benar begitu" jawabku sambil berusaha fokus memperhatikan si penanya. Aku mencoba menjadi lawan bicara yang baik dengan menatap kepada wajahnya—matanya.

"bukankah setiap produk yang dijual sudah dikenakan pajak sejak pertama dipasarkan? Apa Anda tidak tau? Atau lupa?" tanyanya tegas. Deg. Mengapa jantungku jadi berdebar?

Oh tidak, aku baru mengetahuinya sekarang. Memang benar ada sesuatu yang tidak biasa di matanya. Yang sesuatu itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku jadi terpaku menatapnya, yang sedang menatapku juga.

"ah? Hah?" tanyaku seperti orang bodoh. Jujur, saat ini aku masih terhipnotis tatapannya padaku.

"bukankah dalam pelajaran Ekonomi sudah dijelaskan tentang pajak?" Ifa bertanya lagi.

"hah?! Apa? Apa yang—?" aku tersadar. Aku kebingungan mengingat pertanyaannya.

"pst! Den! Deny! Ingin menjawab tidak? Cepat jawab!" teman-teman di sampingku menyikutiku. Aku menatap mereka untuk meminta penjelasan. Setidaknya tentang apa pertanyaannya. Lalu aku mengalihkan pandanganku kepada guru yang sedang memperhatikan kelompok kami dari tempat duduknya. Menunggu tanggapan kami atas pertanyaan Ifa. Aku pun menjadi gugup dan akhirnya tergagap.

"it-itu, pajak—" nah kan, gagap. Teman-temanku membisikkan ulang pertanyaan dari Ifa di telingaku. Dan aku terkejut juga bingung harus menjawab seperti apa. "euh.." aku kehilangan kalimatku. Aku nge-blank. Aku terkejut karena baru ingat bahwa yang dikatakan Ifa tentang pajak memang fakta. Aku lengah sekali, melupakan itu. Kenapa kemarin-kemarin aku tidak ingat? Duh!

Karena aku diam saja seperti orang bodoh, Bagus—wakil ketua dari kelompokku—menyuruhku untuk mundur dan dia yang menggantikanku untuk menjawab pertanyaan dari Ifa. Meski menjawab, Ia menjawab dengan sangat ragu-ragu juga terbata-bata. Ia juga menghindari diri untuk menatap mata Ifa.

Kacau sudah presentasiku, hanya karena tatapan darinya. Tatapan itu adalah tatapan biasa, namun entah mengapa efeknya menjadikanku yang dikenal cuek terutama pada perempuan menjadi kikuk dan berdebar. Oh ternyata benar, ada sihir di matanya.

Aku tidak tau cara kerjanya, tapi rumor itu memang benar adanya. She has magical eyes.

Kamu tahu? Matanya jarang sekali menatap kepada laki-laki. Mungkin itu yang membuat tatapannya menjadi spesial.

Kamu tahu? Matanya jarang menatap dengan fokus kepada lawan bicaranya jika itu laki-laki. Hanya sesekali menatap lalu sisanya melihat ke bawah, ke samping, atau ke atas. Mungkin karena itu, saat matanya fokus menatap mataku—atau yang lainnya juga—saat bicara, tatapannya menjadi spesial.

Kamu tahu? Mungkin karena itu, matanya memiliki sihir.

Magical eyes, special eyes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun