Mohon tunggu...
Leopoldus Giovani Sitohang
Leopoldus Giovani Sitohang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Frater Serikat Sabda Allah (SVD)

Mahasiswa STFT WIDYA SASANA Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Untuk Apa Sih Kita Hidup? Mari Berfilsafat!

16 Agustus 2021   23:12 Diperbarui: 18 Agustus 2021   14:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena ini amat terasa pada saat abad pencerahan (bahasa Inggris: Age of Enlightenment; bahasa Jerman: AufklÓ“rung), suatu masa di mana pergerakan intelektual filsafat yang sangat mendominasi eropa dari abad 17-19 Masehi. Orang-orang mulai skeptis terhadap makna yang ditawarkan oleh agama. Makna yang dimaksud ialah bahwa Tuhanlah yang menciptakan dunia beserta isinya dengan tujuan tertentu. Manusia ditugaskan untuk mengikuti perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Orang-orang yang skeptis terhadap agama ini berpikir, bahwa dunia sama sama sekali tidak memiliki makna yang melekat/makna bawaan (inherent meaning). Orang-orang yang menganut pandangan inilah yang disebut nihilis, sedangkan pandangan atau pahamnya itu sendiri disebut nihilisme.

Apakah para nihilis (orang yang menganut paham nihilisme) berpikir bahwa dunia ini termasuk manusia tidak ada maknanya sama sekali? Ya! Boleh dikatakan demikan. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia tidak memiliki suatu tujuan (tidak ada esensi). Bagi kaum nihilis tidak ada bukti yang mendukung keberadaan Pencipta, tidak ada juga etika atau moral sejati yang dapat dijadikan pegangan. Baik dan buruk itu subjektif.

Eksistensialisme

Setelah mengetahui paham nihilisme mungkin anda berpikir, "Lantas untuk apa mereka (nihilis) hidup kalau begitu? Untuk apa mereka hidup kalau mereka sendiri tidak percaya kalau hidup ini tidak ada maknanya? Sangat tidak masuk akal!" Barangkali anda berpikir demikian.

Cara hidup atau pandangan hidup esensialisme dan nihilisme memang kurang menarik atau kurang dapat diterima. Tidak heran bila banyak filsuf yang bersikap kontra atau tidak puas dengan pandangan-pandangan ini (esensialisme, nihilism). Ada yang tidak puas dengan pandangan esensialisme (kehidupan ini telah memiliki makna bawaan atau makna yang objektif sebelum kita lahir/eksis). Ada juga yang tidak setuju dengan nihilism (melihat dunia tidak memililki makna sama sekali).

Adakah paham atau "isme" yang lain tentang makna atau tujuan hidup yang jauh lebih baik atau lebih dapat diterima akal? Tentu ada, yaitu eksistensialisme. Kaum eksistensialis bertanya bagaimana kalau manusia lahir terlebih dahulu atau "ada" terlebih dahulu baru setelahnya maknanya mengikuti? Mereka meyakini bahwa manusia perlu lahir terlebih dahulu lalu makna itu menyusul kemudian. Ini tentu berbeda dengan esensialisme yang beranggapan makna kehidupan sudah ada sebelum manusia dilahirkan (inherent meaning). Inilah yang disebut eksistensialisme, eksistensi mendahului esensi (Existence precede essence) atau (Existence comes before essence). Kita ada atau terlahir terlebih dahulu, lalu makna itu menyusul kemudian dalam perjalanan waktu. Inilah yang membedakan esensialisme dengan eksistensialisme.

Eksistensialisme merupakan pemikiran yang berkembang pada abad 19-20 M. Pada saat itu beberapa filsuf mempertanyakan dan membahas persoalan mengenai sifat alami keberadaan manusia. Mereka mempertanyakan pertanyaan yang sifatnya eksistensial. Contoh pertanyaan eksistensial seperti: Apa makna kehidupan ini? Untuk apa kita di sini? Mengapa kita di sini? Untuk apa kita hidup? Apakah pada akhirnya ini semua ada artinya? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang mereka pertanyakan. Pernahkah kalian mempertanyakan ini? Mungkin pernah. Itu artinya terdapat bibit-bibit seorang filosof dalam diri kalian.

Apa yang membedakan eksistensialisme dengan pandangan yang lain (essensialisme, nihilisme) dalam melihat hidup? Perbedaan itu terletak pada slogannya: Eksistensi mendahului esensi! Kita lahir dulu, setelah itu kita yang nantinya mencari dan menemukan makna kehidupan kita sendiri. Lantas apakah eksistensialis sependapat dengan dengan nihilis, bahwa dunia ini tidak memiliki makna tertentu? Mereka hampir sependapat akan tetapi sedikit berbeda.

Dalam eksistensialisme, dunia ini tidak memiliki makna sebelum manusia memutuskan untuk memberi makna pada hidupnya sendiri. Ada atau tidaknya makna itu dan seperti apa makna itu tergantung oleh manusia. Manusia bebas memilih makna apa yang ia pilih dalam hidupnya. Misalnya orang ingin mengajar, mengabdi ke sekolah-sekolah yang terpencil, menjadi seniman, menjadi biksu, pendeta, dll. Intinya manusia bebas melakukan apa saja yang membuat hidupnya itu menjadi bermakna (meaningfull).

Soren A. Kierkegaard & Jean Paul Sartre

Apakah eksistensialis itu ateis? Belum tentu! Walaupun memang harus diakui ada eksistensialis seorang ateis, namun tidak semua. Faktanya ada eksistensialis yang religius. Sebut saja misalnya, Kierkegaard seorang bapak eksistensialisme yang taat beragama. Bagi dia dunia ini tetap diciptakan Tuhan, akan tetapi yang memberi makna tetap manusia itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun