Mohon tunggu...
Leopoldus Giovani Sitohang
Leopoldus Giovani Sitohang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Frater Serikat Sabda Allah (SVD)

Mahasiswa STFT WIDYA SASANA Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Untuk Apa Sih Kita Hidup? Mari Berfilsafat!

16 Agustus 2021   23:12 Diperbarui: 18 Agustus 2021   14:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: idntimes.com

Mengapa aku bingung memilih pasangan hidup? Mengapa terkadang aku takut untuk menikah? Mengapa aku takut menjomblo seumur hidup? Mengapa aku bingung ingin kuliah di mana dan memilih jurusan apa? Bahkan pasca terbebas dari penjara institusi universitas pun aku masih bingung? Aku sering bertanya apa yang harus kulakukan setelah lulus? Ke mana aku harus pergi? Apa sebenarnya yang ingin kucapai? Apa sebenarnya yang ingin kuperjuangkan? Ada apa dengan diriku? Bila anda mengalami kebingungan atau depresi akut dalam menjalani kehidupan ini, artikel ini akan menjelaskan penyebabnya serta memberikan solusinya. Selamat membaca!

Apa yang membedakan manusia dengan hewan? Akal Budi. Istilah klasik menyebut manusia sebagai animal rationale. Artinya manusia adalah makhluk yang dapat menata dan mampu mengatur perilaku dan kehendak bebasnya dengan menggunakan akalnya. Walaupun memang terkadang manusia itu juga mau melakukan sesuatu yang tak masuk akal atau tak berakal. Sudahlah tidak perlu diperpanjang.. Apakah hanya itu saja? Tentu tidak! Masih ada satu hal lagi yang membedakan manusia dengan hewan atau makhluk hidup lainnya. Apa itu?

Secara biologis manusia dan hewan memang memiliki kesamaan, yaitu sama-sama membutuhkan makanan untuk bertahan hidup. Akan tetapi, apa hal yang manusia butuhkan sedangkan hewan lain tidak butuhkan? Jawabannya ialah Makna Hidup! Kita sebagai manusia tidak hanya memerlukan makanan dan minuman atau nutrisi (physical needs). Kita juga memerlukan tujuan dan alasan kenapa kita hidup di dunia ini, karena tujuan dan alasan kenapa kita hidup itulah yang akan membuat hidup kita menjadi bermakna. Boleh dibilang tujuan dan alasan hidup sama pentingnya dengan sesuap nasi. Sama-sama menjadi kebutuhan primer, kebutuhan yang paling dasariah yang harus dimiliki manusia.

Dr. Victor Frankl dalam bukunya "Man's Search for Meaning" mengatakan "Manusia mampu mengatasi keadaan se-ekstrim apa pun asal mereka memiliki makna hidup yang terus mereka pegang". Latar belakang buku ini lahir dari perang dunia ke-2. Dia menceritakan pengalamannya sendiri sebagai tahanan di kamp konsentrasi Nazi, tempat yang sangat kejam dan menakutkan. Di tempat yang kejam dan menakutkan itu selama bertahun-tahun dia dan beberapa teman lainnya berjuang untuk bertahan hidup hingga akhirnya bebas. Hal yang membuat ia bertahan hidup ialah adanya makna hidup yang terus ia pegang.

Di dalam bukunya terdapat juga salah satu quote yang terdengar sangat indah. Quote itu berkaitan dengan kebebasan manusia. Dia mengatakan "Apapun bisa dirampas dari manusia, kecuali satu, kebebasan untuk menentukan sikap dalam setiap keadaan, kebebasan untuk memilih jalannya sendiri". Artinya manusia bebas menentukan jalan hidup atau makna hidupnya sendiri.

Essensialisme

Apa sebenarnya makna hidup? Pernahkah filsuf mempertanyakan ini? Kalau pernah, apa makna kehidupan ini menurut mereka? Tentu ada banyak filsuf yang berusaha mencari pengertian makna hidup. Apa itu makna hidup, menjadi salah satu tema yang menarik bagi para filsuf. Akan tetapi, pertanyaan semacam ini memiliki banyak jawaban dan tidak dapat dijawab hanya dengan beberapa kalimat.

Mengapa dan kapan manusia mulai mempertanyakan makna hidup? Semua ini dimulai dari kebiasaan manusia yang melihat segala sesuatu disekelilingnya itu, ternyata mempunyai suatu aspek yang amat penting. Manusia mulai menyadari bahwa setiap entitas memiliki sesuatu yang sangat teramat penting, sebegitu penting sehingga jika sesuatu itu dihilangkan, maka benda itu tidak akan menjadi benda itu tersebut. Bila anda bingung, jangan diskip dulu.

Misalkan sebuah pisau. Cobalah lihat atau bayangkan sebuah pisau! Adakah sesuatu dari sebuah pisau yang jika dihilangkan tidak akan membuatnya menjadi pisau? Mata pisaunya! Atau sisi tajam dari sebuah pisau. Tidak perduli apakah gagang pisau itu terbuat dari kayu, plastik, besi atau bahkan tidak bergagang. Tidak perduli apakah pisau itu terbuat dari batu, besi, emas, berbentuk lurus atau melengkung. Apakah pisau itu milik naruto atau sasuke juga bukanlah hal yang penting. Hal yang terpenting adalah pada pisau masih terdapat bagian yang tajam. Sisi tajam atau mata pisau itulah yang membuatnya menjadi pisau! Inilah yang disebut esensi!

Dalam KBBI esensi itu adalah hakikat; inti atau hal yang pokok. Secara sederhana esensi dapat diartikan sebagai hal yang paling mendasar atau intisari. Untuk memahami ini sekali lagi penulis akan memberikan suatu analogi sederhana.

 Semua benda memiliki esensi. Sebut saja sebuah kursi. Kursi bukanlah sebuah kursi, jika tidak ada tempat untuk diduduki. Cerek bukanlah sebuah cerek, jika tidak bisa menampung air. Apakah cerek itu memiliki pegangan atau tidak, bukanlah hal yang penting bagi sebuah cerek. Hal ini juga berlaku pada kursi. Apakah kursi memiliki sandaran atau tidak, terbuat dari kayu atau plastik, atau apakah kursi itu berasal dari kantong ajaib Doraemon, juga bukanlah hal yang penting. Sejauh kursi memiliki tempat untuk diduduki, dia tetaplah sebuah kursi. Sejauh cerek dapat menampung air, dia tetaplah sebuah cerek. Ada esensi yang melekat pada mereka.

Apakah seluruh entitas itu memiliki esensi masing-masing? Ya! Dalam khazanah filsafat ada istilah "esensialisme" lantas apa artinya itu? Pandangan atau paham bahwa semua entitas memiliki atribut yang sangat penting, sebagai identitas maupun sebagai fungsinya, itulah yang dimaksud dengan esensialisme. Paham esensialisme ini sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles menyerukan ide yang sama, yakni semua memiliki esensi bawaannya. Jadi seiring berjalannya waktu akhirnya manusia mulai mempertanyakan esensi dirinya sendiri. Apa esensi dari manusia? Atau  apa yang membuat manusia itu manusia?

Menurut Aristoteles setiap manusia memiliki tujuannya masing-masing. Tugas manusia adalah untuk memenuhi tujuannya tersebut. Maka dari itu dia mengatakan manusia yang unggul itu adalah manusia yang hidup sesuai dengan tujuannya. Sama seperti contoh analogi tadi. Pisau kalau tidak tajam, tidak akan memenuhi tujuannya sebagai alat pemotong. Ini juga berlaku pada si cerek dan si kursi.

Bagaimana dengan manusia? Kaum esensialis berpendapat bahwa dunia dan manusia itu sendiri memiliki inherent meaning atau makna bawaan yang sudah ada sebelum mereka lahir. Inilah ide pokok atau nada dasar pemikiran esensialisme. Apakah ada filsuf yang skeptis atau kontra dengan paham ini? Tentu ada! Bukan filsafat namanya kalau tidak ada yang kontra. Beberapa filsuf setelahnya meragukan paham tersebut, terutama mereka yang menganut paham nihilisme. Apa itu paham nihilisme?

Nihilisme

Setiap orang pasti memiliki suatu momen di mana ia mempertanyakan eksistensi (keberadaan) dirinya. Ini adalah salah satu pertanyaan besar yang sering diajukan para filsuf. Selama ribuan tahun sudah menjadi pandangan umum bahwa dunia ini dan manusia diciptakan oleh Tuhan dan manusia ditugaskan untuk mengikuti perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Tentu berbeda agama, berbeda pula aturannya. Meskipun demikian poin setiap agama tetaplah sama, yaitu Tuhanlah yang menciptakan dunia beserta isinya dengan tujuan tertentu. Itulah alasan adanya kehidupan.

Di zaman sekarang, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak filsuf Barat yang suka mengeritik agama. Kritik terhadap agama ini merupakan salah satu ketidak-sukaan orang Indonesia. Tidak heran bila di negara kita Indonesia, terdapat undang-undang yang mengatur tentang penistaan agama. Di Barat tidak ada undang-undang yang mengatur ini. Kemudian di negara kita juga terdapat Kementrian Agama. Hal ini berbeda dengan negara lain pada umumnya.

Memang harus diakui banyak orang di Indonesia yang close minded, artinya tidak mau terbuka dan mencoba untuk memahami sesuatu yang berseberangan dengan paham yang mereka percaya. Banyak orang Indonesia yang tidak mau membahas sesuatu yang tidak mereka sukai. Padahal sebenarnya kita harus mengakui keberadaan dari sesuatu yang bertentangan dengan pandangan yang berlawanan dengan keyakinan atau pandangan kita. Kalau pemahaman atau keyakinan orang lain tidak sesuai dengan keyakinan kita, kita bisa membahas atau mendiskusikannya bersama, kenapa hal itu ada dan bertentangan dengan keyakinan atau pandangan kita. Atau kenapa mereka melakukan apa yang tidak kita lakukan.

Alangkah baik bila kita bersikap open minded terhadap berbagai hal. Artinya kita mau mencoba untuk membuka pikiran dan melihat perspektif dan tafsir baru (new perspectives and interpretations). Kita tidak perlu terlalu fanatik. Meski hal itu berkaitan dengan agama sekalipun, bila kita bersikap open minded, niscaya kita mampu mengakui kenyataan bahwa dalam hidup ini memang ada banyak orang yang tidak puas dengan tujuan dan makna hidup yang ditawarkan oleh agama.

Bila anda yang sedang membaca artikel ini adalah orang yang open minded, anda tentu ingin memahami fenomena ini (fenomena yang dimaksud: orang mulai skeptis terhadap agama dan mengeritik agama). Lantas, muncul pertanyaan di dalam benak anda, mengapa orang-orang tidak lagi percaya dengan agama?

Sebagaimana yang kita ketahui, semakin berkembangannya sains atau teknologi, semakin banyak pulalah orang yang mulai mempertanyakan kebenaran dari agama. Alasannya jelas karena mereka mendapati agama tidak sejalan dengan sains. Dalam banyak hal apa yang dianggap kebenaran dalam agama ternyata berbenturan atau berseberangan dengan sains dan teknologi. Atau banyak hal yang dianggap kebenaran dalam  agama, tetapi tidak dapat dibuktikan dengan sains dan teknologi.

Fenomena ini amat terasa pada saat abad pencerahan (bahasa Inggris: Age of Enlightenment; bahasa Jerman: AufklÓ“rung), suatu masa di mana pergerakan intelektual filsafat yang sangat mendominasi eropa dari abad 17-19 Masehi. Orang-orang mulai skeptis terhadap makna yang ditawarkan oleh agama. Makna yang dimaksud ialah bahwa Tuhanlah yang menciptakan dunia beserta isinya dengan tujuan tertentu. Manusia ditugaskan untuk mengikuti perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Orang-orang yang skeptis terhadap agama ini berpikir, bahwa dunia sama sama sekali tidak memiliki makna yang melekat/makna bawaan (inherent meaning). Orang-orang yang menganut pandangan inilah yang disebut nihilis, sedangkan pandangan atau pahamnya itu sendiri disebut nihilisme.

Apakah para nihilis (orang yang menganut paham nihilisme) berpikir bahwa dunia ini termasuk manusia tidak ada maknanya sama sekali? Ya! Boleh dikatakan demikan. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia tidak memiliki suatu tujuan (tidak ada esensi). Bagi kaum nihilis tidak ada bukti yang mendukung keberadaan Pencipta, tidak ada juga etika atau moral sejati yang dapat dijadikan pegangan. Baik dan buruk itu subjektif.

Eksistensialisme

Setelah mengetahui paham nihilisme mungkin anda berpikir, "Lantas untuk apa mereka (nihilis) hidup kalau begitu? Untuk apa mereka hidup kalau mereka sendiri tidak percaya kalau hidup ini tidak ada maknanya? Sangat tidak masuk akal!" Barangkali anda berpikir demikian.

Cara hidup atau pandangan hidup esensialisme dan nihilisme memang kurang menarik atau kurang dapat diterima. Tidak heran bila banyak filsuf yang bersikap kontra atau tidak puas dengan pandangan-pandangan ini (esensialisme, nihilism). Ada yang tidak puas dengan pandangan esensialisme (kehidupan ini telah memiliki makna bawaan atau makna yang objektif sebelum kita lahir/eksis). Ada juga yang tidak setuju dengan nihilism (melihat dunia tidak memililki makna sama sekali).

Adakah paham atau "isme" yang lain tentang makna atau tujuan hidup yang jauh lebih baik atau lebih dapat diterima akal? Tentu ada, yaitu eksistensialisme. Kaum eksistensialis bertanya bagaimana kalau manusia lahir terlebih dahulu atau "ada" terlebih dahulu baru setelahnya maknanya mengikuti? Mereka meyakini bahwa manusia perlu lahir terlebih dahulu lalu makna itu menyusul kemudian. Ini tentu berbeda dengan esensialisme yang beranggapan makna kehidupan sudah ada sebelum manusia dilahirkan (inherent meaning). Inilah yang disebut eksistensialisme, eksistensi mendahului esensi (Existence precede essence) atau (Existence comes before essence). Kita ada atau terlahir terlebih dahulu, lalu makna itu menyusul kemudian dalam perjalanan waktu. Inilah yang membedakan esensialisme dengan eksistensialisme.

Eksistensialisme merupakan pemikiran yang berkembang pada abad 19-20 M. Pada saat itu beberapa filsuf mempertanyakan dan membahas persoalan mengenai sifat alami keberadaan manusia. Mereka mempertanyakan pertanyaan yang sifatnya eksistensial. Contoh pertanyaan eksistensial seperti: Apa makna kehidupan ini? Untuk apa kita di sini? Mengapa kita di sini? Untuk apa kita hidup? Apakah pada akhirnya ini semua ada artinya? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang mereka pertanyakan. Pernahkah kalian mempertanyakan ini? Mungkin pernah. Itu artinya terdapat bibit-bibit seorang filosof dalam diri kalian.

Apa yang membedakan eksistensialisme dengan pandangan yang lain (essensialisme, nihilisme) dalam melihat hidup? Perbedaan itu terletak pada slogannya: Eksistensi mendahului esensi! Kita lahir dulu, setelah itu kita yang nantinya mencari dan menemukan makna kehidupan kita sendiri. Lantas apakah eksistensialis sependapat dengan dengan nihilis, bahwa dunia ini tidak memiliki makna tertentu? Mereka hampir sependapat akan tetapi sedikit berbeda.

Dalam eksistensialisme, dunia ini tidak memiliki makna sebelum manusia memutuskan untuk memberi makna pada hidupnya sendiri. Ada atau tidaknya makna itu dan seperti apa makna itu tergantung oleh manusia. Manusia bebas memilih makna apa yang ia pilih dalam hidupnya. Misalnya orang ingin mengajar, mengabdi ke sekolah-sekolah yang terpencil, menjadi seniman, menjadi biksu, pendeta, dll. Intinya manusia bebas melakukan apa saja yang membuat hidupnya itu menjadi bermakna (meaningfull).

Soren A. Kierkegaard & Jean Paul Sartre

Apakah eksistensialis itu ateis? Belum tentu! Walaupun memang harus diakui ada eksistensialis seorang ateis, namun tidak semua. Faktanya ada eksistensialis yang religius. Sebut saja misalnya, Kierkegaard seorang bapak eksistensialisme yang taat beragama. Bagi dia dunia ini tetap diciptakan Tuhan, akan tetapi yang memberi makna tetap manusia itu sendiri.

Soren Kierkegaard digelari sebagai bapak eksistensialisme (The father of existenscialism). Mengapa? Alasannya karena dia merupakan filsuf pertama yang memperkenalkan istilah "eksistensi" menurut pengertian yang dipakai pada abad ke-20 dalam aliran yang disebut "eksistensialisme". Ia memberikan bobot tertentu kepada perkataan "eksistensi", yang terdapat dalam filsafat terbaru. Gelar The father of existensialism ini diberkan kepadanya, karena ia juga dianggap sebagai filsuf yang mempelopori penyelidikan filsafat mengenai eksistensi manusia.

Salah satu pemikiran Kierkegaard yang menarik ialah tentang kebebasan manusia dalam memilih jalanya sendiri. Menurutnya manusia memiliki kebebasan atau kehendak bebas (free will) alam memilih. Akan tetapi kebebasan itu tidak selamanya menguntungkan atau menyenangkan bagi manusia, karena kebebasaan itu dapat menimbulkan kepusingan bagi manusia. Apa yang dimaksud dengan kepusingan? Mengapa manusia pusing? Apa korelasi antara kebebasan dalam memilih dengan kepusingan? Untuk menjelaskan ini, penulis akan mulai menjelaskan quote Kierkegaard yang berbunyi "Anxiety is the dizziness of freedom." Kegelisahan adalah rasa pusing akan kebebasan.

Mengapa Kierkegard mengatakan kegelisahan adalah rasa pusing dari kebebasan? Alasannya karena baginya kebebasan tidak selamanya menjadi hal yang menyenangkan. Kegelisahan dan depresi akut seringkali merupakan suatu akibat dari kebebasan yang memusingkan. Ketidakbahagiaan sering muncul dari kodrat manusia itu sendiri yang mana merupakan suatu makhluk yang bebas sebebas-bebasnya.

Seorang filsuf eksistensialis lain yang tersohor, yaitu Jean Paul Sartre (filsuf, penulis-drama-novel-sastra, dan aktivis politik) mencoba mengartikan fenomena "ketakutan akan kebebasan" dengan sebuah analogi. Kita sedang berdiri di tepi jurang dan melihat ke bawah. Kebanyakan orang akan mereasa takut bila berada dalam situasi ini, kecuali orang itu adalah Iron Man atau Superman.

Cobalah berpikir atau bertanya, kenapa kita merasa takut ketika berada di tepi jurang? Tentu kita akan menjawab bahwa "karena kalau angin berhembus sangat kencang, aku bisa terjatuh; aku juga takut kalau tepi jurang ini roboh atau longsor", dll. Mendengar jawaban ini Sartre akan mengatakan bahwa kita keliru atau salah. Bukan angin kencang atau longsor itu yang menyebabkan kita merasa takut, akan tetapi penyebab sebenarnya adalah karena kita mempunyai kebebasan untuk memilih; memilih untuk melompat ke dasar jurang dan akhirnya mati.

Kalau anda paham analogi di atas, anda akan berkata dalam hati "benar juga ya". Akan tetapi, bagi anda yang belum paham penulis akan menjelaskan lagi. Ketika kita berada di pinggir jurang, kita berpikir, "waduh.. kalau aku lompat ke bawah aku pasti mati!". Jadi, aku takut bukan karna factor eksternal. Bukan external force yang membuat aku takut, akan tetapi aku takut pada diriku sendiri!

Sartre juga pernah mengatakan bahwa manusia itu dikutuk untuk bebas (Man is condemned to be free). Manusia dikutuk untuk bebas, karena ketika manusia dilemparkan ke dunia ini, dia bertanggungjawab atas apapun yang ia lakukan. "Kalau aku begini-begitu atau memlih ini-itu, aku pasti akan...." Jadi manusia itu gelisah disebabkan oleh konsekuensi atas berbagai pilihan hidup yang ada. Kita bebas memilih ini-itu dan kita bebas memilih yang ada di sana-di sini, akan tetapi kita sadar bahwa kita juga harus bertanggungjawab apabila pilihan itu salah! Ini menjadi suatu kutukan yang diterima manusia, sebuah kutukan yang tidak bisa dinegosiasikan apalagi dihilangkan.

Orang yang hidup di zaman dulu tampaknya jauh lebih menyenangkan dan damai hidupnya. Mengapa? Jaman dulu orang tidak terlalu pusing memikirkan jalan atau pilihan hidup. Contohnya, dulu kalau orangtua petani, secara otomatis anak-anaknya menjadi petani. Anak nelayan akan menjadi nelayan, anak tukang kayu akan menjadi tukang kayu. Tidak mungkin seorang anak tukang parkir, menjadi tukang kayu. Hal ini sangat berbeda dengan fenomena yang kita hadapi saat ini, di abad ke-21 ini.

Di zaman ini kita sebagai generasi muda diberi kebebasan untuk memiliih jalan hidup kita masing-masing. Kita bebas untuk menjadi apapun yang kita mau. Bahkan banyak orangtua yang telah berpikir maju, artinya orangtua mendorong anak-anaknya agar tidak mengikuti jejak mereka. Kita mau jadi terkenal, penggusaha sukses, presiden, tentara, polisi, silahkan. Asalkan kita mau berusaha dengan giat, "Ya Monggo..!"  Akan tetapi ingat, karena kebebasan inilah seseorang mengalami kebingungan/kegelisahan (anxiety).

Terkadang orangtua mengira bahwa hidup di zaman kita jauh lebih enak dan menyenangkan, karena kita hidup di tengah teknologi yang serba canggih. Akan tetapi sebenarnya tekanan hidup kita lebih besar daripada orangtua kita atau kakek-nenek kita zaman dulu. Mengapa? Dulu mereka hanya hanya berfokus untuk bertahan hidup atau melanjutkan profesi orangtua. Kemudian orangtua zaman dulu juga tak perlu pusing dalam menentukan jodoh karena jodoh mereka telah ditentukan. Jadi waktu itu belum ada istilah "Jodoh itu di tangan Tuhan" tetapi "Jodoh itu di tangan orangtua". Sementara kita? Kita mulai diberi kebebasan dalam memilih jalan hidup, pasangan hidup, dsb. Kita bebas dalam memilih apa pun, akan tetapi justru kebebasan itu adalah hal yang mengerikan.  

Sartre mengatakan bukannya hidup ini kekurangan atau tidak memiliki makna sama sekali, tetapi hidup memiliki jumlah kebebasan yang sangat mengerikan. Dalam eksistensialisme masalah ini disebut dread atau kengerian. Bisa juga disebut angst, yang berarti perasaan gelisah yang begitu dalam.  Angst sedikit berbeda dengan fear. Fear adalah ketakutan yang masih dapat diketahui dan dijelaskan penyebabnya. Sementara angst semacam ketakutan yang sulit untuk diketahui atau dijelaskan penyebabnya. Sebuah ketakutan akan kemungkinan yang tidak memiliki akhir (endless possibilities). Apapun bisa terjadi karena dunia atau semesta ini sangat tidak bisa diprediksi (unpredictable).

Authenticity VS Bad Faith

Manusia tidak dapat menghindar dari berbagai pilihan yang luar biasa banyaknya dalam hidup ini. Lantas apakah para filsuf memiliki saran agar kita dapat memilih jalan hidup yang benar? Ada satu hal yang ditekankan para eksistensialis, yaitu authenticity atau autentisitas.

Apa yang dimaksud authenticity? Oleh karena hidup ini tidak memiliki makna, hidup ini menjadi bebas, tidak ada petunjuk yang jelas. Lantas apa yang harus dilakukan manusia dengan kebebasan ini? Harus diakui bahwa kita seringkali cenderung mengikuti apa yang dikatakan orang lain yang terlihat mempunyai otoritas, seperti guru, pejabat, psikolog/psikiater yang kita jumpai, motivator, imam, dll. Mengapa kita harus mengikuti mereka? Bukankah pada kenyataannya mereka juga sama seperti kita? Bukankah mereka juga orang yang bingung atas apa yang harus dilakukan dalam hidup ini? Jadi, menurut Sartre tidak ada orang yang bisa memberikan kita panduan yang benar dalam hidup ini? Kalau begitu apa yang harus kita lakukan bila semua manusia bingung, bila tak seorangpun yang dapat memberikan petunjuk? Authenticity! Hiduplah berdasarkan pilihan yang murni lahir dari diri kita sendiri! Pilihan yang autentik lahir dari sendiri!

Menjadi autentik artinya tidak membiarkan seorangpun di dunia ini memengaruhi pilihan kita. Tidak ada seorang pun yang bisa memberikan jawaban yang benar, kecuali dirinya sendiri. Apa yang telah dipilih seseorang maka itulah jawaban yang benar, jawaban yang autentik. Sejauh pilihan itu dibuat atas dirinya sendiri, dia menjadi autentik! Menjadi autentik juga berarti berani menentukan pilihan dengan bebas.

Bagaimana dengan orang yang membiarkan orang lain memengaruhi pilihannya atau orang yang tidak memperdulikan makna hidup? Apakah itu artinya mereka tidak autentik? Ya, boleh dikatakan demikian. Sartre menyebut hal ini dengan Bad Faith. Istilah ini digunakan untuk menjelsakan orang yang menolak untuk percaya bahwa pilihan itu ada. Dia memberikan contoh seorang waitress yang merasa dirinya terlahir sebagai seorang waitress.

Seorang waitress mengatakan bahwa dirinya terjebak. Dia berkata bahwa bila dia tidak menjadi waitress, maka dia tidak akan bisa menafkahi dirinya. Ia menjadi waitress karena memang tidak ada pilihan lagi. Itulah yang dia katakan waitress pada dirinya sendiri. Sartre jelas tidak setuju atau bersikap kontra dengan waitress itu.

Sartre menjelaskan bahwa waitress itu telah membohongi dirinya sendiri, dengan mengatakan bahwa "menjadi waitress adalah satu-satunya jalan untuk hidupnya" karena kenyataaanya tidaklah seperti itu! Kemungkinan pertama, ia hanya menyangkal kebebasannya sendiri untuk memilih. Atau kemungkinan kedua, dia tidak berani memilih karena dalam setiap pilihan terkandung tanggungjawab, usaha dan kerja keras, serta konsekuensi yang harus siap diterima.

Memang adalah hal yang wajar bila terkadang kita merasa terpaksa harus mengikuti jalan hidup tertentu, tetapi bukan berarti kita sampai lupa kalau kita itu makhluk bebas yang mempunyai pilihan, dan ketika kita telah menyangkal kebebasan kita sendiri, kita terjebak dalam Bad Faith!

Penutup

Eksistensialisme adalah sebuah pandangan yang melihat eksistensi manusia yang bebas memberikan makna pada hidupnya sendiri. Akan tetapi kerap kali kebebasan itu juga mendatangkan kegeliasahan (anxiety). Kegelisahan (anxiety) muncul karena manusia mau tak mau harus siap bertanggungjawab terhadap konsekuensi dari pilihan mereka sendiri. Meskipun begitu seseorang haruslah hidup secara autentik yakni memilih jalan hidupnya sendiri dan tidak bergantung pada suatu otoritas atau faktor eksternal, serta menghindari bad faith (yang mana merupakan tindakan menyangkal kebebasan hidupnya sendiri!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun