Mohon tunggu...
Leopoldus Giovani Sitohang
Leopoldus Giovani Sitohang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Frater Serikat Sabda Allah (SVD)

Mahasiswa STFT WIDYA SASANA Malang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Untuk Apa Sih Kita Hidup? Mari Berfilsafat!

16 Agustus 2021   23:12 Diperbarui: 18 Agustus 2021   14:04 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Semua benda memiliki esensi. Sebut saja sebuah kursi. Kursi bukanlah sebuah kursi, jika tidak ada tempat untuk diduduki. Cerek bukanlah sebuah cerek, jika tidak bisa menampung air. Apakah cerek itu memiliki pegangan atau tidak, bukanlah hal yang penting bagi sebuah cerek. Hal ini juga berlaku pada kursi. Apakah kursi memiliki sandaran atau tidak, terbuat dari kayu atau plastik, atau apakah kursi itu berasal dari kantong ajaib Doraemon, juga bukanlah hal yang penting. Sejauh kursi memiliki tempat untuk diduduki, dia tetaplah sebuah kursi. Sejauh cerek dapat menampung air, dia tetaplah sebuah cerek. Ada esensi yang melekat pada mereka.

Apakah seluruh entitas itu memiliki esensi masing-masing? Ya! Dalam khazanah filsafat ada istilah "esensialisme" lantas apa artinya itu? Pandangan atau paham bahwa semua entitas memiliki atribut yang sangat penting, sebagai identitas maupun sebagai fungsinya, itulah yang dimaksud dengan esensialisme. Paham esensialisme ini sudah ada sejak jaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles menyerukan ide yang sama, yakni semua memiliki esensi bawaannya. Jadi seiring berjalannya waktu akhirnya manusia mulai mempertanyakan esensi dirinya sendiri. Apa esensi dari manusia? Atau  apa yang membuat manusia itu manusia?

Menurut Aristoteles setiap manusia memiliki tujuannya masing-masing. Tugas manusia adalah untuk memenuhi tujuannya tersebut. Maka dari itu dia mengatakan manusia yang unggul itu adalah manusia yang hidup sesuai dengan tujuannya. Sama seperti contoh analogi tadi. Pisau kalau tidak tajam, tidak akan memenuhi tujuannya sebagai alat pemotong. Ini juga berlaku pada si cerek dan si kursi.

Bagaimana dengan manusia? Kaum esensialis berpendapat bahwa dunia dan manusia itu sendiri memiliki inherent meaning atau makna bawaan yang sudah ada sebelum mereka lahir. Inilah ide pokok atau nada dasar pemikiran esensialisme. Apakah ada filsuf yang skeptis atau kontra dengan paham ini? Tentu ada! Bukan filsafat namanya kalau tidak ada yang kontra. Beberapa filsuf setelahnya meragukan paham tersebut, terutama mereka yang menganut paham nihilisme. Apa itu paham nihilisme?

Nihilisme

Setiap orang pasti memiliki suatu momen di mana ia mempertanyakan eksistensi (keberadaan) dirinya. Ini adalah salah satu pertanyaan besar yang sering diajukan para filsuf. Selama ribuan tahun sudah menjadi pandangan umum bahwa dunia ini dan manusia diciptakan oleh Tuhan dan manusia ditugaskan untuk mengikuti perintah-Nya, serta menjauhi larangan-Nya. Tentu berbeda agama, berbeda pula aturannya. Meskipun demikian poin setiap agama tetaplah sama, yaitu Tuhanlah yang menciptakan dunia beserta isinya dengan tujuan tertentu. Itulah alasan adanya kehidupan.

Di zaman sekarang, tidak bisa dipungkiri bahwa banyak filsuf Barat yang suka mengeritik agama. Kritik terhadap agama ini merupakan salah satu ketidak-sukaan orang Indonesia. Tidak heran bila di negara kita Indonesia, terdapat undang-undang yang mengatur tentang penistaan agama. Di Barat tidak ada undang-undang yang mengatur ini. Kemudian di negara kita juga terdapat Kementrian Agama. Hal ini berbeda dengan negara lain pada umumnya.

Memang harus diakui banyak orang di Indonesia yang close minded, artinya tidak mau terbuka dan mencoba untuk memahami sesuatu yang berseberangan dengan paham yang mereka percaya. Banyak orang Indonesia yang tidak mau membahas sesuatu yang tidak mereka sukai. Padahal sebenarnya kita harus mengakui keberadaan dari sesuatu yang bertentangan dengan pandangan yang berlawanan dengan keyakinan atau pandangan kita. Kalau pemahaman atau keyakinan orang lain tidak sesuai dengan keyakinan kita, kita bisa membahas atau mendiskusikannya bersama, kenapa hal itu ada dan bertentangan dengan keyakinan atau pandangan kita. Atau kenapa mereka melakukan apa yang tidak kita lakukan.

Alangkah baik bila kita bersikap open minded terhadap berbagai hal. Artinya kita mau mencoba untuk membuka pikiran dan melihat perspektif dan tafsir baru (new perspectives and interpretations). Kita tidak perlu terlalu fanatik. Meski hal itu berkaitan dengan agama sekalipun, bila kita bersikap open minded, niscaya kita mampu mengakui kenyataan bahwa dalam hidup ini memang ada banyak orang yang tidak puas dengan tujuan dan makna hidup yang ditawarkan oleh agama.

Bila anda yang sedang membaca artikel ini adalah orang yang open minded, anda tentu ingin memahami fenomena ini (fenomena yang dimaksud: orang mulai skeptis terhadap agama dan mengeritik agama). Lantas, muncul pertanyaan di dalam benak anda, mengapa orang-orang tidak lagi percaya dengan agama?

Sebagaimana yang kita ketahui, semakin berkembangannya sains atau teknologi, semakin banyak pulalah orang yang mulai mempertanyakan kebenaran dari agama. Alasannya jelas karena mereka mendapati agama tidak sejalan dengan sains. Dalam banyak hal apa yang dianggap kebenaran dalam agama ternyata berbenturan atau berseberangan dengan sains dan teknologi. Atau banyak hal yang dianggap kebenaran dalam  agama, tetapi tidak dapat dibuktikan dengan sains dan teknologi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun