Mohon tunggu...
leony shabryna
leony shabryna Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Nama : Leony Shabryna Akbar NIM : 42321010002 Fakultas : Desain dan Seni Kreatif Mata Kuliah : PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB Dosen : Prof Dr Apollo, M.Si.Ak Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Anti Korupsi pada Teori Panopticon dan Giddens

1 Juni 2023   09:32 Diperbarui: 1 Juni 2023   10:24 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam bentuk korupsi yang sengaja dilakukan, tindakan pencegahannya jauh lebih sulit. Lembaga hukum merupakan lembaga utama untuk mencegah berlangsungnya tindakan korupsi. Namun jika lembaga hukum sendiri sudah tercemari oleh korupsi, maka pencegahan korupsi mustahil untuk dilakukan. Regulasi-regulasi tidak akan bisa berjalan, dan perlahan-lahan suatu negara pun bisa runtuh. Maka dari itu pemerintah harus menumbuhkan sikap anti korupsi kepada orang-orang yang bekerja dalam lembaga-lembaga pemerintahan, terutama dalam lembaga hukum.

Birokrasi yang sudah penuh korupsi menjadi struktur yang sulit untuk dibongkar ulang. Secara individual pun, korupsi merupakan cara mudah dan efisien untuk menambah kekayaan secara pribadi. Agen dan struktur saling menguatkan kecenderungan untuk korupsi. Namun seperti semua struktur, jika ada satu bagian yang tidak bekerja, maka struktur itu bisa hancur. Maka pencegahan korupsi bisa dicegah dari sisi struktur dan dari sisi pelaku.

Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu:

  • Struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, 1984: 29). Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada. Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya.
  • Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.
  • Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dilakukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu. Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui 'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional

Transparansi dan akuntabilitas dapat ditingkatkan dalam birokrasi dengan memperkenalkan mekanisme pelaporan dan pemantauan yang jelas. Menyediakan akses informasi yang mudah bagi publik mengenai kebijakan, proses pengambilan keputusan, dan penggunaan anggaran. Memperkuat mekanisme akuntabilitas dengan melakukan audit internal dan eksternal secara teratur. Proses atau sistem yang rumit juga lebih memungkinkan terjadinya korupsi, maka prosedur, proses kerja dan administrasi bisa dipermudah dan disederhanakan. 

Menetapkan aturan yang jelas dan prosedur yang transparan dapat mempersulit terjadinya korupsi. Memperkuat mekanisme pengawasan terhadap kontrak-kontrak yang terkait dengan pemerintahan, untuk mencegah praktik korupsi seperti mark-up harga atau kickback. Menempatan dan mempromosikan pejabat yang berintegritas di dalam birokrasi, membangun sistem penilaian kinerja yang mencakup aspek integritas dan memberikan penghargaan bagi pegawai yang menunjukkan komitmen dalam melawan korupsi.

Dalam hal individual, pemerintah harus mendorong pelaporan dan whistleblowing. Dengan hal ini pula, setiap individu dapat membangun budaya di mana individu setiap orang bisa mengawasi orang lain. Hal ini bisa didukung untuk melaporkan tindakan korupsi yang mereka temui. Penyediaan saluran pelaporan yang terjamin kerahasiaannya dan melindungi pelapor dari tindakan balasan yang mungkin terjadi juga harus dibuat agar tidak ada yang ragu-ragu melaporkan. 

Orang-orang yang bekerja juga harus terinformasi mengenai jenis-jenis korupsi yang ada dan juga dampaknya. Hal-hal ini bisa diajarkan melalui pelatihan, workshop, atau program pendidikan terkait integritas dan antikorupsi. Ini dapat membantu mengubah sikap dan perilaku individu dalam menjalankan tugasnya di dalam birokrasi.

Untuk koruptor yang tertangkap, hukuman yang diberikan sering kali tidak separah kerusakan yang sudah dibuat. Menurut KPK biaya kerugian yang diberikan koruptor jauh lebih besar dibandingkan dengan hukuman bagi koruptor itu sendiri. Dari 2001 sampai 2012 kerugian akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168 triliun. Sementara hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan Rp15 triliun. Jelas bisa dilihat bahwa hukuman kepada para koruptor yang diberikan tidak mampu memberikan efek jera. 

Hukuman berbentuk denda tidak merefleksikan dampak korupsi yang sudah dibuat. Efek pidana pun tidak banyak berpengaruh kepada para koruptor dimana praktik suap memperbolehkan mereka untuk beraktivitas seperti biasanya. Seberapa besar pun tindakan koruptor, sampai sekarang masih belum ada satu pun yang di mendapat hukuman mati. Maka penguatan hukum dalam memberikan denda dan pidana haruslah dikuatkan dengan sangat keras, dimana tidak ada seorang pun yang berani lagi.

Konsekuensi modernitas dan globalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari selama gugusan stuktur penopangnya masih eksis di muka bumi ini. Adanya perentangan atau pemadatan ruang waktu dalam skala global menunjukkan bahwa manusia tidak hanya mampu menciptakan sejarah tetapi juga menciptakan geografi waktu dan ruang. Mendunianya teknologi industri, transportasi, informasi, dan telekomunikasi pada saatnya membawa pengaruh keseimbangan lingkungan (alam) dan kepercayaan lokal. 

Konsekuensinya, segala nilainilai lokalitas (tradisi) dan relijiusitas (agama) yang dipercayai sebagai petunjuk moral dan jalan hidup kini 'tercabut' dari makna dasarnya akibat dapak globalisasi yang menjadi ciri modernitas akhir. Korupsi menjadi pilihan hidup. Moralitas hanya menjadi tunggangan untuk melegitimasi kepentingan pribadi atau kelompok. Idealisme-idealisme utopis dalam logika 'percepatan' modernitas berbenturan dengan realitas-realitas semu yang berdampak pada cuaca batin manusia modern. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun