Mohon tunggu...
leony shabryna
leony shabryna Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Nama : Leony Shabryna Akbar NIM : 42321010002 Fakultas : Desain dan Seni Kreatif Mata Kuliah : PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB Dosen : Prof Dr Apollo, M.Si.Ak Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Anti Korupsi pada Teori Panopticon dan Giddens

1 Juni 2023   09:32 Diperbarui: 1 Juni 2023   10:24 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Katadata.co.id

Di banyak negara, termasuk Indonesia, korupsi sudah tidak terkendali dan menjadi masalah serius. Selain merusak keuangan negara, korupsi juga merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, lembaga publik, bahkan kepercayaan di antara rekan kerja dan anggota keluarga. 

Baik di sektor publik maupun komersial, korupsi memiliki pengaruh merugikan yang cukup besar di Indonesia. Uang publik yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat seringkali disalahgunakan untuk kepentingan individu. Ketimpangan sosial, kerugian finansial, dan penurunan standar pelayanan publik adalah akibatnya. IHK Indonesia tahun 2022 memiliki skor 34/100 dan menempati urutan ke-110 dari 180 negara, menurut informasi di situs Transparency International Indonesia.

Pemberantasan korupsi di Indonesia sangat terbantu dengan adanya pendidikan antikorupsi. Pendidikan antikorupsi mengembangkan karakter dan sikap melawan korupsi dengan menanamkan cita-cita integritas, transparansi, dan akuntabilitas sejak dini. 

Diyakini bahwa pendidikan antikorupsi akan membantu kita membangun generasi yang sadar moral dan mampu mengidentifikasi, melaporkan, dan menolak perilaku koruptif. Ada beberapa pendapat dan pandangan dari para ahli tentang bagaimana masyarakat dapat memberantas kejahatan melalui pendidikan antikorupsi. Memahami pengawasan dan kejahatan dalam masyarakat menjadi semakin penting pada saat kemajuan teknis dan kompleksitas sosial.

Esensi korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan. Hal ini dipahami karena manusia pada dasarnya adalah makhluk ekonomi yang selalu berupaya memaksimalkan manfaat atas setiap aktivitas dengan biaya seminimal mungkin yang dengan kata lain, dalam diri manusia sesungguhnya sudah ada benih atau kecenderungan untuk melakukan tindakan korupsi. 

Korupsi muncul sejak manusia mulai hidup berkelompok dan bermasyarakat, membangun relasi sosial untuk mempertahankan hidup, menciptakan norma-norma sosial demi suatu cita-cita seperti kebahagiaan, kesejahteraan, dan ketentraman hidup. Akan tetapi, masalah kemanusiaan mulai muncul ketika kejahatan oleh segelintir orang telah menciptakan ketidakadilan, kesengsaraan, dan penderitaan bagi sebagian yang lain. Nilai kebaikan dan kejahatan mulai dipertanyakan essensi dan keberadaannya di dalam diri manusia


Sumber gambar Pinterest
Sumber gambar Pinterest

"Panopticon" oleh Jeremy Bentham dan "kejahatan struktural" oleh Anthony Giddens adalah dua gagasan yang akan dibahas dalam artikel ini karena berkaitan dengan situasi ini. Teori Giddens tentang kejahatan struktural, yang menjelaskan elemen struktural asal-usul kejahatan, dan Panopticon, yang didasarkan pada sistem pengawasan Bentham, keduanya menawarkan perspektif mendalam tentang pemahaman sosial dan perilaku manusia. 

Kami akan mendefinisikan Panopticon, membahas kejahatan struktural, dan mendiskusikan bagaimana konsep-konsep ini dapat digunakan dalam konteks masyarakat kontemporer. Diharapkan dengan memahami ide-ide mendasar di balik ide-ide ini dan konsekuensinya, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih aman dan adil..

Jeremy Bentham kuliah di Universitas Oxford untuk belajar hukum. Bentham percaya bahwa sistem hukum Inggris pada saat itu tidak adil, keras, dan sulit diterapkan. Akibatnya, Bentham menjadi tertarik pada topik yang berkaitan dengan moralitas publik. Bentham banyak menulis tentang topik moral, politik, dan hukum.

Penemuan dan eksperimen Kekaisaran Rusia menjadi sumber inspirasi bagi konsep Bentham. Bentham penasaran untuk meneliti bagaimana industrialisasi mempengaruhi rakyat biasa di Rusia pada tahun 1786, ketika negara itu sedang dalam proses industrialisasinya. Dalam hal pekerjaan dan pergaulan, kehidupan masyarakat semakin terbagi. Bagaimana individu dapat menghasilkan barang dengan lebih efisien menjadi topik yang semakin diperhatikan.

Bentham mengamati bahwa tindakan seseorang di era industrialisasi ini mungkin berdampak besar pada seluruh tenaga kerja dan pabrik tempat orang tersebut bekerja. Misalnya, seseorang yang mencuri sesuatu atau melakukan tindakan korupsi dapat mengikis kepercayaan atasan dan bawahan serta merusak merek industri. Atau ilustrasi lain tentang bagaimana seseorang yang menggunakan mesin secara sembarangan dapat menghambat arus produksi pabrik. Akibatnya, ide-ide organisasi mulai muncul untuk mengendalikan masyarakat dan tenaga kerja secara sistematis. 

Sistem panoptikon ini dimaksudkan untuk mengatur perilaku kolektif tanpa mempengaruhi perilaku individu oleh sekelompok individu yang memiliki tujuan yang sama..Proposal Bentham untuk penjara Panopticon menggabungkan prinsip kesenangan dan rasa sakit yang dikembangkan oleh filsuf materialis Thomas Hobbes, tetapi juga karena partisipasi Bentham dalam perdebatan yang muncul tentang ekonomi politik membuat pemerintah Inggris menarik banyak minat dari para pemangku kepentingan. Bentham berargumen bahwa pemenjaraan di penjara adalah "hukumannya, dan mencegah narapidana membawa karyanya ke pasar lain."

Beberapa penjara yang dikenal menerapkan prinsip atau sistem Panopticon adalah sebagai berikut

1. Penjara Presidio Modelo, Kuba: Penjara ini didirikan pada tahun 1926 dan dirancang berdasarkan konsep Panopticon. Bangunannya berbentuk bintang dengan menara pengawas di tengahnya yang memungkinkan pengawas untuk mengamati seluruh area penjara secara efisien.

2. Eastern State Penitentiary, Amerika Serikat: Penjara ini didirikan pada tahun 1829 di Philadelphia dan dikenal sebagai salah satu penjara pertama yang menerapkan sistem isolasi total dengan pengawasan yang terpusat. Bentuknya melingkar dengan seluruh sel menghadap ke pusat yang memungkinkan pengawas mengamati tahanan dari satu tempat.

3. HMP Shrewsbury, Inggris: Penjara ini, yang sekarang dikenal sebagai The Dana, didirikan pada tahun 1793 dan menggunakan prinsip Panopticon dalam desainnya. Tempat pengawasan yang terpusat memungkinkan para pengawas untuk mengawasi tahanan dengan efektif.

4. Stateville Penitentiary, Amerika Serikat: Penjara ini, yang terletak di Crest Hill, Illinois, dibangun pada tahun 1925 dan dikenal karena menerapkan konsep Panopticon. Desainnya memiliki menara pengawas di pusat dengan bangunan penjara mengelilinginya, sehingga memungkinkan pengawasan yang efisien terhadap para tahanan.

5. Kingston Penitentiary, Kanada: Penjara ini, yang beroperasi dari tahun 1835 hingga 2013, memiliki desain yang didasarkan pada prinsip Panopticon. Dalam desainnya, menara pengawas terletak di pusat dengan sel-sel penjara di sekitarnya, memungkinkan pengawas untuk mengamati tahanan dengan mudah.

Panopticon penjara adalah struktur kelembagaan dengan sistem penjagaan dan pengawasan. Ide di balik pembangunan gedung ini adalah untuk memungkinkan satu penjaga penjara mengawasi semua narapidana tanpa disadari oleh narapidana. Strukturnya terbuat dari menara tinggi dengan balkon atau geladak yang memanjang 360 derajat ke segala arah. Lampu di bawahnya menerangi area ke segala arah. Sel-sel penjara menghadap ke menara, yang terletak di tempatnya berdiri dalam struktur melingkar. Setiap sel penjara dibangun sedemikian rupa sehingga tidak ada narapidana yang dapat melihat narapidana lainnya.

Untuk mencegah narapidana melihat ke seberang bangunan, lampu dari menara juga dibuat sangat terang. Narapidana juga tidak dapat menentukan apakah mereka sedang dipantau dari menara karena kecerahan yang sangat tinggi. Meskipun sulit bagi seorang penjaga untuk mengawasi setiap narapidana, kurangnya kesadaran para tahanan bahwa ada orang yang mengawasi mereka akan menyebabkan mereka berperilaku mencurigakan. Semua napi bisa melihat ada menara pengawas yang mengamati, mirip dengan contoh desain menara pengawas di atas, namun mereka tidak akan pernah bisa memastikan apakah mereka diawasi oleh penjaga atau tidak.

Ide ini telah digunakan untuk banyak hal selain arsitektur penjara. Ini terlihat pada tata letak perusahaan, rumah sakit, sekolah, dan struktur lainnya. Gagasan Panopticon juga dapat ditafsirkan secara metaforis. Dalam buku Discipline and Punish from the 1970s, psikolog Jacques-Alain Miller dan filsuf Michel Foucault menggunakan Panopticon sebagai metafora untuk masyarakat yang disiplin. Dia mengatakan bahwa sistem Panopticon dengan patuh dan patuh mengembangkan orang-orang yang rumit. Dia mengklaim bahwa gagasan Panopticon sekarang dilihat sebagai struktur kekuatan politik daripada struktur..

Ide dasar panopticon adalah adanya pengamat di pusat kendali tersembunyi, sedangkan yang diamati tidak tahu kapan sedang diamati atau tidak. Bentham percaya bahwa pengawasan konstan ini akan memiliki efek psikologis, karena orang merasa bahwa mereka sedang diawasi dan karena itu cenderung berperilaku dengan cara yang dianggap patuh dan sejalan dengan standar yang ditetapkan oleh atasan.


Sumber gambar Pinterest
Sumber gambar Pinterest

Michel Foucault lebih lanjut mengembangkan pemikiran panoptik dalam konteks masyarakat modern. Foucault berpendapat bahwa panopticon adalah metafora yang menggambarkan kekuasaan dan kontrol umum dalam masyarakat. Dalam masyarakat modern, kekuasaan didistribusikan ke seluruh institusi dan struktur sosial, dan individu diharapkan untuk memantau dan mengontrol diri mereka sendiri, menyadari bahwa mereka selalu dapat diawasi oleh kekuatan yang lebih tinggi. Secara lebih luas, pemikiran panoptikon mengeksplorasi dinamika kekuasaan, kontrol, dan kontrol sosial dalam masyarakat. Ini juga menimbulkan pertanyaan tentang privasi, otonomi individu, dan batas kekuasaan yang wajar.

Pada perkembangannya kemudian, Panopticon bukan lagi sekadar desain arsitektur, namun ia menjadi suatu model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat, yang juga diterapkan sampai zaman sekarang.

Filsuf yang mengulas masalah pendisiplinan masyarakat dengan model Panopticon ini adalah Michel Foucault. Desain Panopticon ini disebut oleh Michel Foucault dalam bukunya Surveiller et punir: Naissance de la Prison (1975) yang terbit di Perancis, dan lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul Discipline and Punish: The Birth of the Prison (1977). Desain Panopticon ini menjadi metafora bagi masyarakat disiplin modern dan kecenderungannya yang menyebar, untuk mengawasi dan menormalisasi.

Praktik sosial sesuatu yang dimulai dari kebiasaan seseorang yang menyebar kepada banyak orang dan menjadi kebiasaan suatu kelompok atau masyarakat. Praktik ini bisa dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Sebagai contoh seseorang mulai memakan nasi dengan tangan karena teman-temannya juga melakukan hal yang sama, lalu keluarganya juga ikut melakukan hal yang sama, teman dari ayah dan ibunya juga melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan praktik itu bukan hanya dilakukan oleh satu orang namun sekelompok besar orang dalam masyarakat.

Contoh lain dari praktek sosial adalah memanggil seseorang dengan gelar guru, dosen atau lurah, mengecek gigi ke dokter gigi setiap 3 bulan, berlari di pagi hari sebelum bekerja, menggunakan sabuk pengaman saat menyetir mobil, menyontek jawaban dari teman sebangku, dan juga melakukan tindakan suap kepada pihak berwenang. Itu semua merupakan pratik sosial. Menurut Giddens, praktik sosial seperti ini adalah bagaimana masyarakat mulai berfungsi. Strukturasi bukanlah individu atau struktur sosial yang ada di masyarakat berjalan namun praktik-praktik sosial.

  • Dualisme

Dualisme adalah ajaran bahwa segala sesuatu, bersumber dari dua unsur atau substansi yang berdiri sendiri-sendiri. Dalam teori strukturasi ada 2 unsur yang mendasar, subyektivisme dan obyektivisme. Kedua unsur merupakan cara pandang yang dimiliki seorang individu. Subyektivisme merupakan kecenderungan cara pandang yang lebih berfokus pada pengalaman atau tindakan individu, sedangkan obyektivisme adalah kecenderungan cara pandang yang berfokus kepada pengalaman secara keseluruha. Menurut Giddens obyek utama dalam pembelajaran ilmu sosial bukanlah terletak pada pengalaman individual, maupun pada struktur keseluruhan. Obyek utamanya adalah praktik sosial, yaitu titik temu antara kedua unsur tadi.

Dalam teori strukurasi "pelaku" dan "struktur", adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Pelaku atau yang Giddens sebut sebagai agency adalah pribadi konkret dalam tindakan dan peristiwa di dunia. Struktur yang dimaksud disini bisa berfungsi sebagai 2 hal, struktur yang membentuk suatu praktik sosial dan struktur yang terbentuk dari praktik sosial. Pelaku dan struktur bisa disebut sebagai dualitas, yang berarti rangkap dua. Dualitas terbentuk dari praktik sosial yang terjadi secara berulang-ulang dalam ruang dan waktu.

  • Ruang dan Waktu

Ruang dan waktu adalah area dimana suatu tindakan terjadi. Sebagai contoh, pada sebuah mall di jakarta (ruang) pada tahun 2020 (waktu), hampir semua orang yang berada disana melakukan praktik sosial yaitu menggunakan masker dan menjaga jarak. Dalam teori strukturasi, ruang dan waktu adalah unsur penting dalam praktik sosial. Perbedaan bentuk-bentuk masyarakat menurut Giddens, terletak pada bagaimana masing-masing masyarakat mengorganisir hubungan ruang dan waktu. Praktik sosial bisa berlangsung satu, dua atau sepuluh tahun yang lalu. Praktik sosial bisa terletak di kota Jakarta, Bandung, seluruh Indonesia atau luar negeri.

Dualisme (pelaku dan struktur) dalam praktik sosial berada pada adanya suatu konsep atau pola pikir yang menjadi prinsip untuk praktik sosial di berbagai tempat dan waktu. Aturan ini merupakan hasil dari praktik sosial dan juga penyebab atau sarana dari praktik sosial. Aturan atau skemata inilah yang disebut sebagai struktur. Struktur tidak dikekang oleh waku dan ruang. Maka dari itu, struktur bisa berada pada berbagai situasi, lokasi dan waktu. Hal ini membuat struktur menjadi penyebab dan sarana terjadinya praktik sosial. Struktur tidak berbentuk sebagai entitas atau benda melainkan suatu konsep atau pola pikir yang bisa terlihat dalam praktik praktik sosial.

Untuk lebih jelasnya mari gunakan contoh. Institusi sosial seperti keluarga, pendidikan, dan agama membentuk dan dipengaruhi oleh praktik sosial. Contohnya, praktik keluarga seperti pengasuhan dan pendidikan anak membentuk struktur keluarga dan pada gilirannya mempengaruhi praktik sosial di dalamnya.

Praktik sosial yang muncul sebagai contoh adalah seorang ayah yang mendisiplin anaknya dengan menjewer atau mencubitnya. Praktik sosial itu bisa muncul dari struktur, seperti kebiasaan keluarga yang mendisiplin seorang anak dengan metode fisik untuk membuat anak itu kuat secara mental dan tahan banting. Demikian pula kebalikannya, dari praktek sosial mendisiplin anak menggunakan metode fisik, struktur itu pun muncul dalam diri anak itu dan kemungkinan besar akan melakukan hal yang sama kepada anaknya.

Studi panoptikon tidak dapat bergerak maju tanpa menangani masalah Foucault di muka. Pusat Prancis Bentham telah menghasilkan penelitian baru tentang subjek. Pusatnya didirikan di universitas Paris ouest-nanterre-la dfense pada tahun 2002 oleh Jean-Pierre clro dan christian laval pada saat Inggris filsuf hukum sedikit dikenal di kalangan akademisi Perancis. setiap penelitian tentang Bentham -- dan pernyataan ini berlaku sepenuhnya untuk pusat Bentham -- berutang lebih dari yang pernah dapat diakui untuk pekerjaan editorial yang mengesankan. 

Dilakukan di Bentham Project di university college london di bawah Philip sekolah. sarjana di sana telah menyediakan edisi deinitive dari Bentham karya, serta beasiswa ekstensif tentang Bentham dan utilitarianisme, keduanya yang berfungsi sebagai dasar untuk setiap studi tentang Panopticon. 

French Bentham sarjana telah menikmati sudut pandang yang sangat istimewa. di persimpangan Perancis akademisi, dipengaruhi baik oleh ide-ide Foucault dan oleh beasiswa Bentham, mereka telah mengerjakan hubungan antara dua pemikir. semua setuju pada distorsi interpretasi Foucault tentang Bentham. Tetapi, Sejak itu mereka belum mendirikan apa yang bisa disebut aliran pemikiran. Ada beberapa ketidaksepakatan tentang masalah yang begitu penting Luasnya kontrol sosial panoptic.

Dasarnya dipahami sebagai proses interaktif di mana tindakan individu dan struktur sosial saling mempengaruhi dan membentuk satu sama lain. Giddens berpendapat bahwa struktur sosial bukanlah entitas di luar individu, melainkan pola tindakan yang diulang dan dipertahankan individu dalam interaksi sehari-hari. Di sisi lain, individu membentuk dan mengubah struktur sosial melalui tindakan mereka.

Giddens menekankan konsep agensi, yaitu kemampuan individu untuk bertindak dan mengendalikan tindakannya sendiri, dan konsep struktur, yang mencakup pola dan norma sosial yang memandu perilaku. Dia menekankan bahwa aktor dan struktur tidak dapat dipisahkan tetapi saling bergantung. Individu bertindak dalam kerangka norma dan struktur yang ada, tetapi tindakan individu juga berkontribusi pada penciptaan dan perubahan struktur tersebut.

Giddens menggambarkan strukturasi sebagai proses rekursif yang berlangsung antara aktor dan struktur, di mana tindakan individu membentuk dan membentuk struktur sosial, sedangkan struktur sosial memberikan batasan dan pedoman bagi tindakan individu. 

Dia menekankan bahwa penataan sosial terjadi dalam konteks ruang dan waktu yang selalu berubah, dan bahwa individu memainkan peran aktif dalam membentuk dunia sosial di sekitar mereka. Dengan konsep strukturasi, Giddens mencoba menggabungkan perspektif struktural dan aktor dalam memahami kehidupan sosial. Pendekatan ini memberikan dasar untuk memahami bagaimana individu dan struktur sosial berinteraksi dan saling mempengaruhi dalam membentuk masyarakat.

Selain itu, konsep struktural juga menekankan pentingnya aktor individu untuk membentuk dan mempengaruhi struktur sosial. Artinya individu, termasuk pelaku kejahatan, berperan aktif dalam membentuk dan menggunakan struktur sosial untuk mencapai tujuannya. Hal ini menggarisbawahi pentingnya memahami faktor individu, motivasi dan konteks sosial yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk terlibat dalam kejahatan struktural.

Untuk mengatasi kejahatan struktural, memahami konsep penataan hubungan antara tindakan individu dan struktur sosial dapat membantu merancang strategi pencegahan yang lebih efektif. Pendekatan ini termasuk meningkatkan kesadaran dan pendidikan publik tentang dampak kejahatan struktural, mengubah kebijakan dan sistem hukum untuk mengurangi ketidaksetaraan dan korupsi, dan memperkuat kerja sama antara berbagai aktor dalam masyarakat untuk mengatasi faktor struktural yang mendasari kejahatan.

Namun, penting untuk diingat bahwa kejahatan struktural adalah masalah kompleks yang melampaui kerangka konseptual struktur belaka. Kejahatan struktural juga dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik dan budaya lainnya. Oleh karena itu, pendekatan multidisiplin dan kolaboratif sangat penting dalam upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan struktural.

Dalam menghadapi kejahatan struktural, kita dituntut untuk berperan aktif dalam menciptakan perubahan positif. Dengan kesadaran, pendidikan, partisipasi, dan upaya kolaboratif, kita dapat merangkul keadilan sosial, mendorong reformasi sistem, dan membangun komunitas yang lebih aman dan adil. Ingatlah, setiap tindakan kecil memiliki potensi untuk mengubah dunia di sekitar kita. Mari bersama-sama mengatasi kejahatan struktural dan membentuk masa depan yang lebih baik untuk kita semu.

Kejahatan struktural memiliki pola dan struktur yang sama, entah dimana dan kapanpun terjadinya dalam dunia ini. Struktur ini terbagi dari jenis-jenis yang dibahas diatas, yaitu tentang signifikasi, dominasi dan legitimasi.

  • Korupsi dari struktur signifikasi

Kejahatan dari struktur signifikasi adalah kejahatan yang dilakukan menggunakan pemaknaan suatu tindakan yang bisa disalahkan gunakan. Sebagai contoh, penyuapan yang dilakukan kepada seorang polisi biasanya digambarkan dengan isitlah "damai" yang memberikan konotasi positif kepada tindakan yang jelas-jelas salah. 

Atau bisa juga dilihat dari seorang murid atau mahasiswa yang tidak membiarkan temannya menyontek dari jawabannya. Anak sering disebut sebagai anak yang "pelit" atau "sombong" oleh teman sekelasnya. Signifikasi yang diberikan ini memberikan konotasi negatif kepada suatu tindakan yang jujur. Penyebab korupsi dari struktur signifikasi ini mungkin terlihat sepele dari awal, namun penamaan dari signifikasi biasanya akan terus terbawa dan menyebar kepada masyarakat.

  • Korupsi dari struktur dominasi

Korupsi dari struktur dominasi adalah penyebab korupsi paling umum dan paling besar. Struktur dominasi ini mencakup pengontrolan dan pengelolaan atas sumber daya yang berupa manusia, alam, uang dan lain-lain. Semakin besar jabatan seseorang, maka semakin banyak kesempatan untuk melakukan tindak korupsi tanpa tertangkap. 

Korupsi dari dominasi ini adalah jenis korupsi yang sangat berbahaya karena jumlah korupsi yang dilakukan. Pelaku korupsi ini juga sulit untuk ditangkap karena kekuasaan yang mereka miliki atas orang-orang dan juga karena yang mereka memiliki. Korupsi yang dilakukan memperkuat struktur dominasi yang dimiliki pelaku dan dominasi ini membuatnya lebih gampang lagi untuk melakukan korupsi. Efek timbal balik ini membuat koruptor di Indonesia menjadi orang-orang yang susah untuk ditangkap.

  • Korupsi dari struktur legitimasi

Landasan legitimasi ini bisa dilihat pada saat seorang koruptor yang tertangkap melakukan tindak korupsi. Hukuman yang diberikan untuk pada koruptor ini sangatlah ringan dan tidak berarti. Hal ini dapat terjadi juga karena struktur dominasi yang dimiliki oleh koruptor-koruptor ini atas hukum yand ada, seperti para hakim, juri dan unsur-unsur lainnya. Saat seorang hakim memberikan hasil bahwa seseorang ini tidak bersalah, reputasi orang itu bisa terlegitimasi atau terverifikasi sebagai orang yang tidak bersalah.

Korupsi bisa dibagi menjadi 2 bentuk, bentuk yang semua orang sudah tahu dan yang orang belum tahu. Jenis korupsi yang kedua merupakan jenis korupsi yang sudah menjadi praktik sosial atau kebiasaan. Melanggar lampu lalu lintas saat sedang sepi, menyontek saat ujian, menerima suap dari atasan, berbohong kepada guru atau orang tua, ini semua merupakan jenis korupsi yang sudah menjadi praktik sosial. Maka dari itu cara penanganan yang pertama adalah dengan mengubah struktur pembuat sebuah praktik sosial itu.

Mengubah struktur yang ada melalui pendidikan. Orang yang belum tahu akan suatu tindakan yang salah harus mendapat penjelasan terlebih dahulu mengapa suatu tindakan itu salah. Hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan anti korupsi yang diadakan pada lembaga pendidikan dan yang terlebih penting lagi oleh orang tua dan keluarga dekat.

Ajaran-ajaran yang diberikan sejak kecil, merupakan ajaran yang akan selalu diingat seorang anak sampai dia tumbuh besar, maka dengan mengajarkan kejujuran dan keterbukaan kepada anak-anak, prinsip-prinsip anti korupsi dapat dicegah sejak usia muda. Tindakan yang kita lakukan lebih diingat dibandingkan perkataan kita, maka tindakan kejujuran dalam hal-hal kecil, juga harus dilakukan orang tua dan para pengajar agar anak-anak bisa meniru dan mencontoh tindakan yang benar. Dengan melakukan hal ini, struktur yang membuat praktik korupsi bisa dicegah untuk generasi kedepannya.

Dalam bentuk korupsi yang sengaja dilakukan, tindakan pencegahannya jauh lebih sulit. Lembaga hukum merupakan lembaga utama untuk mencegah berlangsungnya tindakan korupsi. Namun jika lembaga hukum sendiri sudah tercemari oleh korupsi, maka pencegahan korupsi mustahil untuk dilakukan. Regulasi-regulasi tidak akan bisa berjalan, dan perlahan-lahan suatu negara pun bisa runtuh. Maka dari itu pemerintah harus menumbuhkan sikap anti korupsi kepada orang-orang yang bekerja dalam lembaga-lembaga pemerintahan, terutama dalam lembaga hukum.

Birokrasi yang sudah penuh korupsi menjadi struktur yang sulit untuk dibongkar ulang. Secara individual pun, korupsi merupakan cara mudah dan efisien untuk menambah kekayaan secara pribadi. Agen dan struktur saling menguatkan kecenderungan untuk korupsi. Namun seperti semua struktur, jika ada satu bagian yang tidak bekerja, maka struktur itu bisa hancur. Maka pencegahan korupsi bisa dicegah dari sisi struktur dan dari sisi pelaku.

Sebagai sebuah aturan dan sumberdaya, struktur memiliki tiga gugus dimensi yaitu:

  • Struktur penandaan (signification) yang menyangkut skemata simbolik, pemaknaan, penyebutan, dan wacana. Kedua, struktur penguasaan atau dominasi (domination) yang mencakup skemata penguasaan atas orang (politik) dan barang/hal (ekonomi). Ketiga, struktur pembenaran atau legitimasi (legitimation) yang menyangkut skemata peraturan normatif, yang terungkap dalam tata hukum (Giddens, 1984: 29). Pertama; bahwa untuk melakukan komunikasi, seseorang membutuhkan sistem tanda dan bingkai interpretasi (tata simbol, wacana/ lembaga bahasa), sehingga struktur signifikasi itu ada. Aktor-aktor sosial, dalam perilaku kehidupan sehari-harinya, secara aktif menghasilkan makna dalam tataran yang telah mereka beri makna; secara bersamaan mereka dipengaruhi oleh cara dimana makna-makna tersebut telah menjadi dirutinkan dan direproduksi. Hal yang dilakukan dan dikatakan masyarakat memiliki konsekuensi bagi struktur sosial. Individu-individu menggerakkan sumber daya, ketrampilan dan pengetahuan yang telah didapatkan dari interaksi sebelumnya.
  • Kedua; untuk mendapatkan atau mempraktikkan kekuasaan, seseorang membutuhkan mobilisasi dua struktur dominasi sebagai fasilitas. Pada dimensi penguasaan, fasilitas ini terdiri dari sumberdaya alokatif (ekonomi) dan otoritatif (politik). Sumberdaya alokatif mengacu pada kemampuan-kemampuan atau bentuk-bentuk kapasitas transformatif yang memberikan komando atas barang-barang, objekobjek atau fenomena material. Adapun sumberdaya otoritatif mengacu pada jenis-jenis kapasitas transformatif yang menghasilkan perintah atas orang-orang atau aktor-aktor. Istilah 'kekuasaan' harus dibedakan dengan istilah dominasi. Dominasi mengacu pada asimetri hubungan pada dataran struktur, sedang kekuasaan menyangkut kapasitas yang terlibat dalam hubungan sosial pada dataran pelaku (interaksi sosial). Karena itu kekuasaan selalu menyangkut kapasitas transformatif, sebagaimana tidak ada struktur tanpa pelaku, begitu pula tidak ada struktur dominasi tanpa relasi kekuasaan yang berlangsung diantara pelaku yang kongkret. Kekuasaan terbentuk dalam dan melalui reproduksi dua struktur/ sumberdaya dominasi (alokatif dan otoritatif). Meski demikian, menurut Giddens tidak pernah mungkin terjadi penguasaan total atas orang entah dalam sistem totaliter, otoriter, ataupun penjara karena adanya dialektika kontrol (the dialectic of control). Artinya dalam penguasaan selalu terlibat relasi otonomi dan ketergantungan, baik pada yang menguasai maupun pada yang dikuasai sekalipun dalam kadar yang minimal.
  • Ketiga; untuk memberlakukan sebuah sanksi, orang membutuhkan sarana legitimasi berupa norma atau peraturan (tata hukum/lembaga hukum). Aspek legal (normatif) dibutuhkan untuk memberikan rasa aman (ontological security) dan keabsahan atas interaksi yang dilakukan oleh agen-agen sosial. Perubahan sosial tidak bisa ditempuh dengan kontradiksi sistem, tetapi perubahan dapat ditempuh melalui koordinasi praktik yang dilembagakan dalam sistem dan struktur sosial yang mengatasi ruang dan waktu. Perubahan sosial dalam dimensi ketiga gugus strukturasi hanya bisa dirubah melalui 'derutinisasi' dalam kapasitas 'monitoring refleksif' atau mengambil jarak terhadap unsurunsur yang melingkupinya baik secara personal maupun institusional

Transparansi dan akuntabilitas dapat ditingkatkan dalam birokrasi dengan memperkenalkan mekanisme pelaporan dan pemantauan yang jelas. Menyediakan akses informasi yang mudah bagi publik mengenai kebijakan, proses pengambilan keputusan, dan penggunaan anggaran. Memperkuat mekanisme akuntabilitas dengan melakukan audit internal dan eksternal secara teratur. Proses atau sistem yang rumit juga lebih memungkinkan terjadinya korupsi, maka prosedur, proses kerja dan administrasi bisa dipermudah dan disederhanakan. 

Menetapkan aturan yang jelas dan prosedur yang transparan dapat mempersulit terjadinya korupsi. Memperkuat mekanisme pengawasan terhadap kontrak-kontrak yang terkait dengan pemerintahan, untuk mencegah praktik korupsi seperti mark-up harga atau kickback. Menempatan dan mempromosikan pejabat yang berintegritas di dalam birokrasi, membangun sistem penilaian kinerja yang mencakup aspek integritas dan memberikan penghargaan bagi pegawai yang menunjukkan komitmen dalam melawan korupsi.

Dalam hal individual, pemerintah harus mendorong pelaporan dan whistleblowing. Dengan hal ini pula, setiap individu dapat membangun budaya di mana individu setiap orang bisa mengawasi orang lain. Hal ini bisa didukung untuk melaporkan tindakan korupsi yang mereka temui. Penyediaan saluran pelaporan yang terjamin kerahasiaannya dan melindungi pelapor dari tindakan balasan yang mungkin terjadi juga harus dibuat agar tidak ada yang ragu-ragu melaporkan. 

Orang-orang yang bekerja juga harus terinformasi mengenai jenis-jenis korupsi yang ada dan juga dampaknya. Hal-hal ini bisa diajarkan melalui pelatihan, workshop, atau program pendidikan terkait integritas dan antikorupsi. Ini dapat membantu mengubah sikap dan perilaku individu dalam menjalankan tugasnya di dalam birokrasi.

Untuk koruptor yang tertangkap, hukuman yang diberikan sering kali tidak separah kerusakan yang sudah dibuat. Menurut KPK biaya kerugian yang diberikan koruptor jauh lebih besar dibandingkan dengan hukuman bagi koruptor itu sendiri. Dari 2001 sampai 2012 kerugian akibat korupsi oleh 1.842 koruptor mencapai Rp168 triliun. Sementara hukuman final terhadap para koruptor hanya menghasilkan jumlah tuntutan Rp15 triliun. Jelas bisa dilihat bahwa hukuman kepada para koruptor yang diberikan tidak mampu memberikan efek jera. 

Hukuman berbentuk denda tidak merefleksikan dampak korupsi yang sudah dibuat. Efek pidana pun tidak banyak berpengaruh kepada para koruptor dimana praktik suap memperbolehkan mereka untuk beraktivitas seperti biasanya. Seberapa besar pun tindakan koruptor, sampai sekarang masih belum ada satu pun yang di mendapat hukuman mati. Maka penguatan hukum dalam memberikan denda dan pidana haruslah dikuatkan dengan sangat keras, dimana tidak ada seorang pun yang berani lagi.

Konsekuensi modernitas dan globalisasi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari selama gugusan stuktur penopangnya masih eksis di muka bumi ini. Adanya perentangan atau pemadatan ruang waktu dalam skala global menunjukkan bahwa manusia tidak hanya mampu menciptakan sejarah tetapi juga menciptakan geografi waktu dan ruang. Mendunianya teknologi industri, transportasi, informasi, dan telekomunikasi pada saatnya membawa pengaruh keseimbangan lingkungan (alam) dan kepercayaan lokal. 

Konsekuensinya, segala nilainilai lokalitas (tradisi) dan relijiusitas (agama) yang dipercayai sebagai petunjuk moral dan jalan hidup kini 'tercabut' dari makna dasarnya akibat dapak globalisasi yang menjadi ciri modernitas akhir. Korupsi menjadi pilihan hidup. Moralitas hanya menjadi tunggangan untuk melegitimasi kepentingan pribadi atau kelompok. Idealisme-idealisme utopis dalam logika 'percepatan' modernitas berbenturan dengan realitas-realitas semu yang berdampak pada cuaca batin manusia modern. 

Banyaknya pilihan moral yang ditawarkan oleh tradisi dan agama menjadi semu di tengah keadaan dunia sosial yang terus bertransformasi dengan cepat. Berpijak pada konteks tranformasi tersebut, maka korupsi sebagai kejahatan moral menuntut adanya reformasi sistem-sistem moral dari institusi-institusi sosial yang ada di masyarakat seperti agama, hukum, politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Persoalan-persoalan korupsi harus diintegrasikan dalam kebijakan politik negara-bangsa.

Setiap gerakan politik dan sosial harus mempertahankan inti keadilan sosial, mencari suatu keseimbangan antara tanggung jawab individual dan kolektif dalam komunitas masyarakat, meluasnya individualisme seharusnya disertai dengan perluasan kewajiban individual (Giddens, 1998: 74-75). 

Makna struktural kejahatan korupsi dalam konteks dunia global ialah bahwa korupsi memiliki sifat-sifat struktural kejahatan yang memiliki rentang ruang-waktu terluas dan dimensi-dimensi struktur (budaya, ekonomi, politik, hukum) yang saling kait mengkait. Tindakan kejahatan tersebut tidak terlepas dari jaringan tindakan produksi dan reproduksi struktur oleh agen, yang hadir dalam konteks kehadiran maupun ketidakhadiran, yang membentuk setting atas apa yang dikatakan dan apa yang dikerjakan satu sama lain dalam seluruh totalitas gejala (Giddens, 1984: Bab I).

Penempatan korupsi sebagai problem kejahatan struktural merupakan konsekuensi dari kosmologi modernitas yang tengah bergerak menjadi kekuatan semakin tidak terkendali akibat arus globalisasi. Giddens melihat modernitas menjadi semakin radikal dan tidak terkendali ini akibat tiga kondisi penting yang mengglobal dan saling berhubungan satu sama lain: the separation (distanciation) of time and space, the development of disembedding mechanism, and the reflexive appropriation of knowledge (1990: 53).

Korupsi biasa diidentikkan dengan uang. 'Uang' dalam konsepsi Giddens, adalah bentuk dari mekanisme disembedding (keterlepasan) yang merupakan ciri kedua modernitas (1990: 23), dimana kondisi mekanisme disembedding turut 'mencabut' aktivitas sosial dari konteks lokalitasnya, diorganisasikan kembali dalam relasi-relasi sosial menembus batas jarak ruang-waktu. Dua bentuk mekanisme 'keterlepasan' secara intrinsik dalam perkembangan institusi-institusi sosial modern yaitu; kreasi tanda-tanda simbolik (symbolic tokens) dan pembangunan sistem-sistem ahli (expert system).

Konsep uang secara tradisional adalah sebagai alat pertukaran (barter) namun pada perkembangannya tanda 'uang' menjadi simbol nilai dan komoditi (ekonomi uang). Uang dalam korupsi bukanlah tujuan esensiil tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan, sebab uang adalah produk dari mekanisme simbolik dari sistem abstrak. 

Masyarakat modern adalah masyarakat yang ditandai oleh kegiatan mengambil resiko secara aktif. Konsep risk untuk era modern menggantikan berbagai konsep tentang nasib atau takdir Illahi pada era tradisi. Resiko adalah cara orang modern memahami masa depan yang kontingen dengan segala kalkulasi dan kepasrahan. Ketika kosmologi relijius atau alamiah masih kokoh, orang tidak perlu pusing memikirkan apa yang terjadi besok dan apa yang harus dilakukan. Masa depan sudah dikunci oleh tafsiran-tafsiran relijius. Kosmologi modern membiarkan sejarah berjalan tanpa jaminan apapun di masa

Contoh kasus di Indonesia yaitu masalah di lapas diperparah oleh kualitas komponen lapas seperti pendidikan (pengembangan keterampilan profesional dan rehabilitasi medis-sosial) di lapas yang buruk; Petugas (penjaga) tidak sebanding dengan WBP dan oleh karena itu tidak dikontrol dengan baik. Hak diperebutkan (misalnya; makanan, tempat tidur, dll); tingkat pengeluaran pemerintah untuk mendanai penjara; dan jumlah narapidana yang dipindahkan ke Lapas yang dianggap layak untuk menampung narapidana (Eddyono, 2017). 

Selain itu, banyak kasus di mana narapidana melarikan diri dengan menggali lubang di tanah, seperti di Lapas Kerobokan di Bali, di mana empat orang melarikan diri dengan menggali lubang di tanah. Salah satu contoh kasus adalah kerusuhan di Lapas Kelas I Tanjung Gusta merupakan salah satu dari sekian banyak kejadian di Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia yang tidak disadari umum terjadi di penjara, baik oleh narapidana, narapidana atau staf penjara. 

Masalah lain yang diamati di lapas itu adalah kasus peredaran narkoba. Berdasarkan pemaparan di atas, diperlukan struktur baru yang dapat mengontrol kondisi detensi dengan baik meskipun penjaganya sedikit. Proses perancangan ini menggunakan pendekatan "Panopticon Architecture".

Dalam kasus ini, konsep bangunan dan pemikiran panoptikon membantu memahami bagaimana pengawasan, kontrol, dan disiplin digunakan untuk memengaruhi perilaku individu dalam masyarakat modern.Berhubungan dengan konsep penjara panopticon, sebuah penjara tidak akan dibangun tanpa adanya perilaku orang-orang yang telah menyimpang dan merugikan orang lain, dan perilaku atau perbuatan tersebut dilakukan oleh tubuh seseorang bukan ruh. Kita dapat menyebut bahwa perbuatan itu disebut juga dengan "kejahatan".

Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara kasat mata, uang menjadi tujuan akhir dari korupsi namun pada dasarnya uang hanyalah alat dari abstract system yang sifatnya disembedding (taktersimpan). Uang sanggup 'mencabut' lokalitas maknanya dari sekedar komoditi (alat tukar) menjadi nilai sesuatu; seperti uang adalah modal, jabatan, kesempatan, kekuasaan, kemapanan, dan lain-lain. Signifikasi tersebut melahirkan praktik korupsi seperti penyalahgunaan wewenang/jabatan, komersialisasi layanan publik, pemerasan, kecurangan, dan jenis-jenis korupsi lainnya.

Korupsi sebagai kejahatan struktural bukanlah kejahatan yang anonim (tanpa wajah) melainkan struktur dan agensinya dapat disendirikan dengan memperhatikan resiko-resiko masing-masing tindakan. Dampak struktural korupsi merupakan bagian dari manufactured risk (resiko yang dibuat) oleh manusia sendiri atas kepercayaannya terhadap abstract system/expert system.

Penaggulangan korupsi seharusnya dibarengi dengan pembersihan perbuatan-perbuatan ilegal seperti illegal logging, fishing, trading, dan lainnya yang kesemuanya membutuhkan sistem ahli yang bermoral. Gerakan-gerakan moral seperti gerakan antikorupsi sebagai wujud kontrol sosial-politik idealnya berkolaborasi dengan gerakan-gerakan kemanusiaan lainnya yang secara riil berkontribusi bagi terciptanya solidaritas masyarakat untuk saling mengurangi beban kemiskinan, ketidakadilan yang menjadi akar tindakan-tindakan koruptif

DAFTAR PUSTAKA

Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. (2013). Post-colonial studies: The key concepts. Post-Colonial Studies: The Key Concepts, 1--355. https://doi.org/10.4324/978023777855

Canta, A., & Can, A. (2022). Justification of panopticon in superhero movies: The Batman Movie. Journal of Design for Resilience in Architecture and Planning, 3((Special Issue)), 122--135. https://doi.org/10.47818/drarch.2022.v3si076

Doucet, I., & Cupers, K. (2009). Agency in Architecture: Reframing criticality in theory and practice (editorial). Footprint (Delft School of Design Journal), Spring(4), 1--6.

Laval, C. (2012). Discipline and prevent. The new panoptic society. Revue Du MAUSS Semestrielle, 40(2), 47--72. https://search.proquest.com/docview/1418124431?accountid=14511%0Ahttp://sfx.ucl.ac.uk/sfx_local?url_ver=Z39.88-2004&rft_val_fmt=info:ofi/fmt:kev:mtx:journal&genre=article&sid=ProQ:ProQ%3Aibss&atitle=Discipline+and+prevent.+The+new+panoptic+society&title=Rev

Manokha, I. (2018). Surveillance, Panopticism and Self-Discipline. Surveillance and Society, 16(2), 219--237.

Ndumu, A., Marsh, D. E., Van-hyning, V., & Triola, S. (2020). Panopticism and Complicity: The State of Surveillance and Everyday Oppression in Libraries , Archives , and Museums. Journal Perspective, 1(2).

Simon, B. (2005). The return of panopticism: Supervision, subjection and the new surveillance. Surveillance and Society, 3(1), 1--20. https://doi.org/10.24908/ss.v3i1.3317

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun