Remang senja membaur dengan mega malam yang berarak perlahan dari belahan timur. Angin pegunungan mendesing menampar-nampar permukaan danau, merontokkan daun pepohonan di pantai Tuktuk. Aroma malam mengapung menyergap daratan.
Tuktuk sedang lengang. Cuaca mendung seharian seakan meminta orang memilih berdiam di dalam rumah. Hanya beberapa turis bule kelihatan hilir mudik di jalanan. Kehidupan wisata dari waktu ke waktu terus menggeliat. Danau Toba dan pantai serta pegunungan memanjakan banyak orang penyuka panorama dan ketenteraman. Tak ada bom, minus kriminalitas, minus kegaduhan.
Kalau ada kegaduhan saat itu adalah gaduh di pikiran Marihot alias Riko, yang sejak berjam-jam duduk terpana menatap dari jendela kamar kos nya.
Gaduh,galau, apa bedanya. Kepala serasa dikerumuni bnyak kumbang mendengung. Lalu amarah itu memuncak bila ingat insiden penembakan ke pahanya. Entah kemana kini Nika dibawa bandit itu. Geram membara. Tapi itu membuatnya pusing. Perasaan rindu campur aduk.Â
Riko beranjak dari duduknya yang lama yang membuat pantatnya kejang. Dengan langkah terpincang-pincang dibantu sebuah tongkat kayu ia menuruni tangga rumah berkolong itu. Ia menyeberangi jalan aspal menuju sebuah kedai yang saat itu masih sepi.
"Jangan dipaksakan dulu,kamu belum sehat," tegur Nai Ramos pemilik kedai.
"Tak apa namboru, aku hanya mau melonggarkan otot. Aku bosan di rumah, rasanya seperti mau mati."Â
Riko duduk dekat jendela menghadap ke pantai. Gelap malam mulai merangkul bumi. Tapi di atas bukit ada potongan bulan separuh sudah nongol malu-malu di antara awan hitam yang berkejaran. Cahaya temaram kemerahan membuat suasana menyeramkan.
Riko meraih gitar yang tergantung di dinding. "Minta segelas tuaknya namboru."
Nai Ramos berkata,"Hati-hati Riko, jAngan menambah sakitmu minum tuak."
"Tak apa namboru hanya segelas menghangatkan badan."
Riko menyetel senar gitar. Memetik-metik dengan jemari yang cekatan. Memainkan instrementalia melodi dengan begitu bagusnya.
Nai Ramos selalu terpikat setiap mendengar petikan gitar dan suara Riko menyanyi lagu-lagu nostalgia. Perempuan itu mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja mengikuti petikan gitar dari tangan yang prof itu.
Ada beberapa lagu barat legendaris yang sering dimainkan Riko kalau datang ke kedai ini. Green green grass at home, to love somebody, Marian, Delilah, I can't help falling in love with you...
Kedai itu masih sepi. Belum ada pelanggan yang datang. Biasanya jam segini sudah penuh parmitu. Mungkin masih kecapekan baru mencari ikan di danau atau bekerja seharian di sawah ladang sehingga mereka memilih istirahat di rumah. Tapi andaikan mereka tahu Riko ada di kedai Nai Ramos, mereka pasti akan berkerumun di sana. Biasanya mereka berlomba membayar semua yang diminta Riko di kedai itu asalkan dia main gitar dan menyanyi.
"Menyanyi dululah, sudah lama tak dari sini," ujar Nai Ramos.
"Belum bisa suaraku namboru, kerongkongan sakit," kata Riko ketika meletakkan gitar di meja.
"Apa sudah ada kabar tentang gadis Jakarta itu," tanya Nai Ramos.Â
"Belum ada namboru, tapi polisi masih aktif mencari." kata Riko sambil menyalakan rokok. Menyeruput minuman dari gelasnya. Menatap ke danau. Sebuah kapal motor masih nampak melintas pelan menyusuri danau, kapal terakhir menuju Parapat. Biasanya kapal motor itu menaikkan penginap hotel di Tuktuk yang ingin naik kapal ke Parapat.
Lalu dari arah berlawanan ada sosok pria dalam perahu sedang merapat ke pantai. Pria itu sudah berjam-jam mengapung dengan perahunya mencari ikan.Â
Semuanya kini melintas di pelupuk mata anak muda itu. Deretan perjalanan dan kebersamaannya dengan Nika. Saat-saat romantis yang tak terlupakan.Â
Lalu Riko seakan terbawa memalingkan wajah ke halaman depan kedai. Matanya menangkap bayangan sosok seseorang yang mendekat. Â Itu sosok seorang wanita. Tak begitu jelas. Samar oleh remang cahaya.Â
Riko berhalusinasi, andaikan sosok itu adalah  sosok Nika yang entah dari mana datangnya, kini menemuinya. Ah, pikiran yang aneh dan mustahil kejadian. Tapi...kenapa ada asosiasi pikiran kesitu. Kenapa sosok yang mendekat itu dalam alur pikirannya adalah Nika. Apakah ini semacam Deja Vu, atau anomali pikiran karena kekacauan yang dialami.Â
Riko menatap sosok dalam remang itu lagi. Tampaknya sosok itu berhenti melangkah persis di bawah pohon jambu berdaun rimbun. Seperti mengamati sesuatu atau seperti ragu masuk ke kedai yang sepi.
Jantung Riko berdebar.
Ia heran merasakan debar jantungnya sendiri.
Riko berdiri menuju pintu melangkah ke halaman mendekati sosok itu. Tapi pada saat bersamaan sosok di bawah pohon itu juga bergerak lagi menuju kedai.
NIKA? Riko menggumam sendiri.Â
Tak diduganya kalau sosok itu juga menyebut namanya.Â
Bang Riko...!
Riko terperangah menatap lurus.
Sosok itu makin dekat. Riko merasa dirinya terpelanting ke ngarai keajaiban. Riko mengucak matanya. Sosok itu masih hadir di sana.Â
Riko mendekat lagi, dan dalam jarak sepelukan tangan ia terpana. Benar. Sosok itu adalah Nika.
"Kamukah ini Nika..." suara Riko sayup di tiup angin malam.
"Ya bang Riko, ini aku..." jawab sosok yang kini ada di hadapannya.
Seakan ada tarikan magnet, keduanya sudah menyatu dalam pelukan melekat. Ciuman bertubi-tubi menghujani wajah keduanya.
"Aku kira aku hanya bermimpi sayang," bisik Riko tanpa melepas pelukannya.
"Mimpi yang jadi kenyataan Bang..." lirih suara gadis itu.Â
Riko memandangi wajah di keremangan itu sambil memegangi kedua tangan Nika. " Bagaimana kau bisa lagi ada di sini."
Nika terisak.
"Panjang ceritanya bang, ada saatnya aku bercerita pengalamanku yang mengerikan."
Riko kembali mendekap tubuh sintal itu ke tubuhnya. Erat sekali. Dikecupnya brulang wajah manis itu, dibelainya rambut lepas itu.Â
"Kita tak boleh pisah lagi sayang, tak akan lagi pernah." Riko berbisik mesra. Nika merebahkan wajahnya di dada Riko.Â
"Aku datang ke sini diantarkan keajaiban Tuhan untuk menjemputmu."
"Menjemputku? " Riko tersenyum.Â
" Ya Bang, kita segera berangkat."
" Kemana..."
"Ke Jakarta Bang. Papa sudah menunggu kita." Nika serius, meremas jari Riko.
"Tapi...apa..." Riko tersendat.
"Jangan ada lagi tapi tapi an bang Riko, kita segera tinggalkan tempat ini."
"Kapan. Malam ini?"
"Kalau saja masih ada feri, ya kita berangkat sekarang ke Medan, besok sudah bisa ke Jakarta. "
"Ya besok aja Nik, sebaiknya istirahat dulu. Kamu sudah capek."
"Ya Bang, aku pikir juga begitu. Ayo Bang, antarkan aku ke hotel. Mau kan?"
Jawaban Riko adalah pelukan.Â
Malam merangkak makin jauh. Suasana masih sepi. Hanya bunyi riak air Danau Toba terdengar mengempas ke pantai.
(The End/ ikuti juga novel true story lainnya di www.batakindonews.com/Â Kekasihku Preman Pinggiran)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H