Riko menyetel senar gitar. Memetik-metik dengan jemari yang cekatan. Memainkan instrementalia melodi dengan begitu bagusnya.
Nai Ramos selalu terpikat setiap mendengar petikan gitar dan suara Riko menyanyi lagu-lagu nostalgia. Perempuan itu mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja mengikuti petikan gitar dari tangan yang prof itu.
Ada beberapa lagu barat legendaris yang sering dimainkan Riko kalau datang ke kedai ini. Green green grass at home, to love somebody, Marian, Delilah, I can't help falling in love with you...
Kedai itu masih sepi. Belum ada pelanggan yang datang. Biasanya jam segini sudah penuh parmitu. Mungkin masih kecapekan baru mencari ikan di danau atau bekerja seharian di sawah ladang sehingga mereka memilih istirahat di rumah. Tapi andaikan mereka tahu Riko ada di kedai Nai Ramos, mereka pasti akan berkerumun di sana. Biasanya mereka berlomba membayar semua yang diminta Riko di kedai itu asalkan dia main gitar dan menyanyi.
"Menyanyi dululah, sudah lama tak dari sini," ujar Nai Ramos.
"Belum bisa suaraku namboru, kerongkongan sakit," kata Riko ketika meletakkan gitar di meja.
"Apa sudah ada kabar tentang gadis Jakarta itu," tanya Nai Ramos.Â
"Belum ada namboru, tapi polisi masih aktif mencari." kata Riko sambil menyalakan rokok. Menyeruput minuman dari gelasnya. Menatap ke danau. Sebuah kapal motor masih nampak melintas pelan menyusuri danau, kapal terakhir menuju Parapat. Biasanya kapal motor itu menaikkan penginap hotel di Tuktuk yang ingin naik kapal ke Parapat.
Lalu dari arah berlawanan ada sosok pria dalam perahu sedang merapat ke pantai. Pria itu sudah berjam-jam mengapung dengan perahunya mencari ikan.Â
Semuanya kini melintas di pelupuk mata anak muda itu. Deretan perjalanan dan kebersamaannya dengan Nika. Saat-saat romantis yang tak terlupakan.Â
Lalu Riko seakan terbawa memalingkan wajah ke halaman depan kedai. Matanya menangkap bayangan sosok seseorang yang mendekat. Â Itu sosok seorang wanita. Tak begitu jelas. Samar oleh remang cahaya.Â