Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Unjuk Rasa Demi Publik atau Ajang Unjuk Taring?

5 Februari 2016   15:54 Diperbarui: 5 Februari 2016   16:31 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(By.Dasa Novi Gultom)

 

Unjuk rasa atau demonstrasi telah menjadi hal lumrah di Indonesia, bahkan menjadi sarapan masyarakat kala menyaksikan siaran berita di televisi, membaca media cetak maupun online.

Namun seberapa jauh unjuk rasa dibutuhkan, apakah demi kepentingan publik, atau bahkan sebaliknya bahkan malah merugikan kepentingan publik.

Sejatinya unjuk rasa adalah bagian dari hak menyampaikan pendapat, hak kebebasan berekspresi, hak memperjuangkan diri, hak berserikat, bagian dari hak yang diakui oleh konstitusi Indonesia.

Berdasarkan UU No. 9 tahun 1998, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukkan oleh seseorang atau kelompok untuk menyampaikan pendapat di muka umum yg bersifat demonstratif.

Hak tersebut pantas kita hormati, namun demikian harus digunakan secara bijak, bahkan terdapat banyak cara mengemukakan pendapat tanpa harus merugikan kepentingan umum.

Sudah sering menjadi konsumsi tentang demo buruh, hak-hak buruh wajib diperjuangkan, namun tak sedikit unjuk rasa buruh berkonotasi negatif, seperti unsur paksaan pada buruh lain yang sedang bekerja untuk mengikuti unjuk rasa.

Bahkan dalam kejadian tertentu mendatangi properti milik perusahaan, membubarkan buruh pabrik yang sedang bekerja agar mengikuti kegiatan unjuk rasa mereka.

Ini juga tidak berbeda dengan beberapa LSM, kerap menggunakan aksi kekerasan dalam menyampaikan cara pikir kelompok mereka.

Unjuk rasa bahkan dibarengi dengan tindakan sweping, tidak mengakui perbedaan, membenarkan tindakan kekerasan dengan dalil-dalil tertentu.

Kaum yang katanya cerdik pandai di kalangan kampus juga memberikan contoh yang kurang baik, apakah unjuk rasa alias demonstrasi harus bakar-bakaran ban, saling dorong dan lempar dengan aparat. Cacian dan hinaan pada karakter pemimpinpun menjadi lumrah.

Tak sedikit pula unjuk rasa yang ujuk-ujuk muncul karena kepentingan tertentu. Ekspreksi pengunjuk rasanya pun kurang meyakinkan, banyak yang menyebutnya unjuk rasa "nasi bungkus".

Unjuk rasa akhirnya hanya menjadi ajang eksistensi kelompok, memudarkan esensi penyampaian pendapat, merendahkan esensi mulianya manusia. Hanya menjadi teater, bahwa kelompok tersebut memiliki "keberanian".

Bayangkan, bebarapa unjuk rasa 50 ribu masa atau lebih yang melumpuhkan Jakarta. Betapa tidak adilnya bagi 10 juta warga Jakarta, keseharian mereka terganggu. Betapa terganggunya nadi perekonomian, Jakarta itu sumbu bagi 250 juta rakyat Indonesia, jangan hanya karena sekelompok orang sumbu tersebut padam.

Bercerminlah pada Yunani beberapa beberapa tahun lalu, unjuk rasa negara Eropa kepulauan tersebut bahkan hanya memperparah perekonomian Yunani yang sedang tersungkur.

Bahkan pemerintah Yunani tidak berani mengambil keputusan perekonomian, fiskal, dan penggunaan dana talangan, yang kemudian membuat referendum. Unjuk rasa akhirnya menghancurkan sistem tata kelola negara dan pemerintahan.

Harus dipahami betapa rapuhnya perjuangan melalui unjuk rasa. Tanpa komitmen kolektif, maka hanya memberi kesempatan ditunggangi kelompok anti kemanusiaan. Lihatlah pergerakan musim semi di Timur Tengah, sebagian besar negara malah jatuh dalam prahara, akibat manuver ekstrimis anti kemusiaan.

Tidak bergetarkah hati, jutaan saudara sebangsa harus menjadi pelarian di negara asing. Tak sedikit anak-anak dan wanita yang kehilangan nyawa hanya untuk mencari tempat perlindungan. Keinginan mulia akan merdekanya manusia, namun hancur karena hilangnya nilai-nilai kebijaksanaan.

Menjadi bijak adalah memahami konsekuensi atas tindakan yang berakibat pada diri dan orang lain. Pemahaman yang pantas digunakan oleh rekan-rekan yang berniat melakukan unjuk rasa.

Unjuk rasa besar dan masif, pantasnya jika kejadian yang maha darurat, saat kezaliman terjadi di muka umum, saat penindasan menjadi benar oleh penguasa.

Ini dibuktikan saat unjuk rasa besar awal reformasi Indonesia. Demonstrasi saat itu memiliki ruh perjuangan, bernafaskan kemanusiaan, perlawanan atas kezaliman yang kasat mata.

Penerapan unjuk rasa juga harus tetap dalam konteks kebijaksanaan publik. Begitu mudahnya watak-watak jahat memanfaatkan dinamika demonstrasi, itu juga terjadi pada negara kita, pada kerusuhan 1998 lalu.

Karena itu, menjadi cerdas, bijak, dalam satu aksi unjuk rasa merupakan ukuran wajib. Memuliakan keberadaan masyarakat banyak, begitu juga kepentingan publik. Tiada mulia dalam satu tujuan yang hanya mencederai kepentingan manusia dan kemanusiaan.

Menjadi sangat sumir, tuntutan unjuk rasa dipenuhi bukan karena esensi perjuangan, namun lebih kepada alasan agar unjuk rasa tidak mengganggu kepentingan publik berlanjut.

Nilai kebangsaan kita begitu tinggi, dasar negara Pancasila, sudah menyediakan manfaat-manfaat agar kita dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa. Musyawarah untuk mufakat merupakan teladan dari leluhur.

Keberaniaan itu bukan hunusan pedang, namun berani menerima perbedaan, berani menyampaikan perdamaian, berani membangun perubahan didasari tindakan benar yang manusiawi.

Sudah tersedia wadah-wadah menyelesaikan masalah, kita memiliki wakil di Parlemen. Jika kurang berkenan, maka cerdas dan bijaklah dalam memilih wakil suara rakyat. Bukan didasari keinginan golongan, tetapi pilih didasari manfaat bagi manusia. Kebencian dan kemarah hanyalah racun kehidupan.

Juga tersedia lembaga-lembaga lain, ada dewan pengupahan, kementrian tenaga kerja, untuk masalah perburuhan. Yakinlah, negara selalu berupaya melindungi rakyatnya, kepuasan hanyalah bentuk keegoan menyikapi keputusan.

Institusi Kepolisian, Kejaksaan, KPK, bagi kebutuhan penegakan hukum. Bila hilang kepercayaan, mulailah mempercayai diri, jujur, tidak menjadi aparatur melalui proses KKN. Segalanya merupakan cerminan kolektif atas apa yang kita lakukan.

Sampai di sini, harus tetap digarisbawahi bahwa aksi unjuk rasa adalah hak konstitusi, tetap didukung penuh, sepanjang menghargai prinsip kepentingan publik.

Asal tahu saja ada cara lain menyampaikan pendapat, yakni petisi, kekuatannya jauh lebih dahsyat jika dibanding unjuk rasa, keduanya sama merupakan hak menyampaikan pendapat.

unjuk rasa dipastikan sulit untuk merubah ketidak adilan yang sudah sistemik, namun berbeda dengan petisi, dapat secara langsung mengubah sistem. Petisi merupakan penyampaian suara yang jelas, manusia yang menandatangninya jelas, tujuannya jelas, yang pasti petisi tak akan pernah membuat jalanan macet.

Kenapa aksi unjuk rasa tak banyak yang berani melakukan petisi, tak ada yang tahu secara pasti, namun pantas menjadi alasan bahwa tujuan unjuk rasa tersebut tidak sejalan dengan kepentingan publik.

Bila memang menyangkut keadilan dan kemanusiaan, hakul yakin, petisi akan mendapat hujanan dukungan dari rakyat Indonesia.

Ketika seorang remaja ditembak mati oleh polisi di Amerika Serikat, tanpa alasan yang jelas, Maret 2012, masyarakat menjadi murka. Namun unjuk rasa tak menghasilkan apapun, namun ketika rakyat melakukan petisi, dan terkumpul 2,2 juta tanda tangan, sebulan kemudian oknum polisi tersebut ditangkap dan menjalani proses peradilan.

Pada Maret 2013, Maskapai Garuda Indonesia mencabut persyaratan Surat Sakit bagi penyandang disabilitas yang menggunakan jasa maskapai tersebut. Ini disebabkan oleh petisi yang diajukan Cucu Saidah, aktivis penyandang disabilitas yang mendapat perlakuan diskriminasi saat bepergian dengan Garuda. Apakah unjuk rasa bisa mengubah ini, sedikit keyakinan bisa terjadi.

Sebenarnya lebih sulit menggalang massa untuk aksi unjuk rasa, namun itu akan menjadi pilihan jika tujuannya adalah unjuk taring. Dilain pihak, petisi tidaklah sulit, saat ini tersedia banyak laman resmi untuk mengajukan petisi, semuanya tersedia online, hanya sejauh ketikan jari.

Bijaksanalah, jadilah pejuang demokrasi yang cerdas. Jika hatimu untuk kemanusiaan, maka setiap langkah dan perbuatan akan bermanfaat. Publik akan selalu mendukung perjuangan mu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun