Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Unjuk Rasa Demi Publik atau Ajang Unjuk Taring?

5 Februari 2016   15:54 Diperbarui: 5 Februari 2016   16:31 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaum yang katanya cerdik pandai di kalangan kampus juga memberikan contoh yang kurang baik, apakah unjuk rasa alias demonstrasi harus bakar-bakaran ban, saling dorong dan lempar dengan aparat. Cacian dan hinaan pada karakter pemimpinpun menjadi lumrah.

Tak sedikit pula unjuk rasa yang ujuk-ujuk muncul karena kepentingan tertentu. Ekspreksi pengunjuk rasanya pun kurang meyakinkan, banyak yang menyebutnya unjuk rasa "nasi bungkus".

Unjuk rasa akhirnya hanya menjadi ajang eksistensi kelompok, memudarkan esensi penyampaian pendapat, merendahkan esensi mulianya manusia. Hanya menjadi teater, bahwa kelompok tersebut memiliki "keberanian".

Bayangkan, bebarapa unjuk rasa 50 ribu masa atau lebih yang melumpuhkan Jakarta. Betapa tidak adilnya bagi 10 juta warga Jakarta, keseharian mereka terganggu. Betapa terganggunya nadi perekonomian, Jakarta itu sumbu bagi 250 juta rakyat Indonesia, jangan hanya karena sekelompok orang sumbu tersebut padam.

Bercerminlah pada Yunani beberapa beberapa tahun lalu, unjuk rasa negara Eropa kepulauan tersebut bahkan hanya memperparah perekonomian Yunani yang sedang tersungkur.

Bahkan pemerintah Yunani tidak berani mengambil keputusan perekonomian, fiskal, dan penggunaan dana talangan, yang kemudian membuat referendum. Unjuk rasa akhirnya menghancurkan sistem tata kelola negara dan pemerintahan.

Harus dipahami betapa rapuhnya perjuangan melalui unjuk rasa. Tanpa komitmen kolektif, maka hanya memberi kesempatan ditunggangi kelompok anti kemanusiaan. Lihatlah pergerakan musim semi di Timur Tengah, sebagian besar negara malah jatuh dalam prahara, akibat manuver ekstrimis anti kemusiaan.

Tidak bergetarkah hati, jutaan saudara sebangsa harus menjadi pelarian di negara asing. Tak sedikit anak-anak dan wanita yang kehilangan nyawa hanya untuk mencari tempat perlindungan. Keinginan mulia akan merdekanya manusia, namun hancur karena hilangnya nilai-nilai kebijaksanaan.

Menjadi bijak adalah memahami konsekuensi atas tindakan yang berakibat pada diri dan orang lain. Pemahaman yang pantas digunakan oleh rekan-rekan yang berniat melakukan unjuk rasa.

Unjuk rasa besar dan masif, pantasnya jika kejadian yang maha darurat, saat kezaliman terjadi di muka umum, saat penindasan menjadi benar oleh penguasa.

Ini dibuktikan saat unjuk rasa besar awal reformasi Indonesia. Demonstrasi saat itu memiliki ruh perjuangan, bernafaskan kemanusiaan, perlawanan atas kezaliman yang kasat mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun