Mohon tunggu...
Aji Latuconsina
Aji Latuconsina Mohon Tunggu... -

|Bukan Penganut Ajaran Agama Spilis (Sekulerisme - Pluralisme - Liberalisme) •Provokata @kutikata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Makna Lain Kata Persekusi

10 September 2018   22:46 Diperbarui: 11 September 2018   16:10 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makna Lain Dari Kata Persekusi, Selain Kata Intimidasi, Cacat Konstitusi, Banci dan Frustrasi. 

Menurut orang percaya (beragama), "segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak-Nya".
Kali ini, narasi di bawah ini tidak terlalu fokus kepada subjek dan obyek persekusi. Atau deskripsi singkat ini enggan mengarah pada doktrin agama, namun esensi predikat kata kerja persekusi yang cenderung menyasar ke dasar estetika. 

Menurut judul di atas, kira-kira ulasan paragraf setelah ini sedikit berima tetapi ini bukan puisi ataupun sajak tak bermakna.

Persekusi Di Balik kata

Terlepas dari persoalan "kegiatan persekusi" yang trend di 2017-2108, persekusi seakan tak lekang oleh waktu. Persekusi selalu mekar dan bersemi bersama momentum, terutama menyongsong tahun politik 2019. 

Kata persekusi kembali mengemuka. "Kata terlarang" ini, yang akhir-akhir ini semakin eksis dan bisa juga dibilang "seksi", (sekalipun seksi menurut penulis belum tentu seksi bagi pembaca).

Uraian berikut ini tidak sengaja menafsirkan persekusi out of the context dari sekedar etimologi dan terminologi.

Analisis tafsir dari kejadian kegiatan persekusi yang di tahun 2017 terbilang lebih dari 117 an kasus ini mendapat perhatian khusus terkait analisa mengapa persekusi begitu masif terjadi dengan modus dan pola yang sama.

Label kata persekusi adalah yang viral di tahun politik ini sebenarnya milik siapa? Siapa yang berhak melakukan kegiatan teror ini? 

Persekusi Di Balik Makna

Maka tinjauan tulisan ini sekiranya memberi varian makna lain dari persekusi yang kontroversial.

Pertentangan makna yang terjadi di ranah elite politik menunjukkan bahwa persekusi itu sebenarnya makna yang ambigu. 

Ada hal khusus yang luput dari perhatian khalayak umum bahwa selain "siapa saja (orang) di mata hukum berhak mendapat perlakuan yang sama dan setimpal". 

Lantas, mengapa persekusi begitu kontroversiil di tahun politik?

Kenyataan saat ini tidak terlepas dari fakta bahwa mungkin saja terlalu banyak yang lupa jika yang krusial itu sebenarnya bukan perlakuan yang sama di mata hukum akan tetapi, "setiap orang berhak untuk melakukan persekusi", (itu yang sedang terjadi). 

Alasan fundamental yang menjadikan persekusi menjadi "halal" bagian dari demokrasi dan konstitusi contohnya adalah kegiatan persekusi terhadap tanda pagar (tagar)/#2019GantiPresiden. 

#2019GantiPresiden ini lahir dari rahim politik, maknanya adalah presiden yang terpilih nantinya dari kandungan yang semestinya diinginkan (Pilpres) ini adalah hasil dari amanat konstitusi (kebebasan berpendapat) dan proses demokrasi (pemilu).

Kata Persekusi Yang Dibalik-balik Maknanya

Setelah yang dialami oleh para tokoh agama/ulama diantaranya HRS, Ustadz Teuku Zulkarnain, Ustadz Khalid Basalamah, Felix Siauw dan UAS, kegiatan intimidasi beramai-ramai serupa dinikmati pula oleh aktivis lintas profesi dan aliansi. Baik aktivitas organisasi bermuatan politik bahkan yang bermotif agama.

Neno Warisman, Ahmad Dhani, Rocky Gerung dan Ratna Sarumpaet, adalah sederet korban contoh kasus persekusi mendera mereka. Karena tampak persekusi ini mengemuka, maka beranda media ramai-ramai menyediakan panggung untuk para elit dan praktisi beradu silang pendapat. 

Debat skala nasional di layar kaca oleh narasumber yang pro dan kontra hanya berkutat pada apakah kegiatan persekusi yang terjadi itu konstitusional atau tidak. 

Kedua kubu tetap saling mempertahankan argumen. Tidak ada titik temu (solusi) yang jelas guna menjadi garis tebal bagi amanat Undang-Undang serta turunannya dan menggarisbawahi perlindungan hukum untuk kebebasan berpendapat. 

Penyebab ketidaksepahaman konsepsi persekusi ini barangkali terletak pada konsep turunan Undang-Undang yang diasumsikan prematur dan penegakan hukum yang berdasarkan supremasi kekuasaan.

Kontra-persepsi dari dua sumber intelektuil inilah yang akhirnya menyeret kata persekusi ke tataran pemaknaan yang rancu serta membingungkan karena makna persekusi dibolak-balik esensinya. Sehingga korban salah signifikasi kegiatan persekusi pada kepentingan situasional tertentu bisa juga disebut pelaku persekusi.

"Makna" Yang Diintimidasi Adalah Perbuatan Persekusi

"Dalam hidup, tidak semua yang kita rasakan kita bisa katakan. Dan tidak semua yang kita alami, kita bisa menceritakan ke orang lain apalagi kepada publik." (Karni Ilyas, 2018)

Pernyataan sekaligus jawaban politis dari produser merangkap pembawa acara talkshow Indonesia Lawyers Club (ILC) Karni Ilyas pada Selasa malam (4/09) di tvOne ini adalah buntut buntung dari ILC yang gagal tayang pada (28/08) dengan tema 'Persekusi'. Dengan membiarkan kasus persekusi bias dan seakan-akan mengamini bahwa "makna yang diintimidasi sesungguhnya adalah perbuatan persekusi". 

Ramainya kegiatan intimidasi secara terbuka (terang-terangan) maupun tertutup (isu terbuka) di tahun politik semakin mengaburkan makna persekusi jauh panggang dari api. 

Intimidasi dengan gaya open issues model telah menambal keyakinan publik bahwa persekusi itu sebenarnya adalah standard operating. Artinya bahwa persekusi itu adalah prosedur yang harus diikuti, resmi dan sesuai mekanisme.

Persekusi Yang Sarat Cacat Makna

Prosedur hukum yang ditabulasikan ke dalam kotak aduan alasan keamanan masyarakat sesungguhnya adalah inefisiensi operasi standar yang ketinggalan zaman yang tidak efektif mengatasi klasifikasi pokok masalah dan formulasi hukumnya. 

Contohnya aktivis Neno Warisman yang berada di dalam mobil kurang lebih tujuh jam lamanya sementara beberapa jam sebelumnya barikade persekusi sudah tak nampak mata.

Atau yang terkini yakni percobaan silent intimidation terhadap Ustadz Abdul Somad yang berujung pembatalan kegiatan dakwah di beberapa tempat di Pulau Jawa. 

Semua delik persekusi ini semestinya sudah selesai jika argumen konstitusi tidak lagi debatable di mata publik. Repersekusi (kejahatan kemanusiaan yang berulang-ulang) kepada UAS di ruang publik hingga intimidasi sunyi pasti tidak akan terjadi lagi apabila makna konstitusi itu normal (tidak cacat).

Selain pelaku, dan makna persekusi masih cacat konstitusi. Publik menilai ada ruang (peluang) terbuka bagi pelaku persekusi melakukan kegiatannya. Hal ini relevansi dengan menguatnya indikasi percobaan (rekayasa).

Jika kita meminjam dan menganalisa peribahasa "dimana ada semut, di situ ada gula", maka tak ayal lagi bagi siapa saja yang masih terbuka hati dan pikirannya akan berkesimpulan sama dengan analisis uraian ini.

Bahwa kasus persekusi yang sering terjadi dan seiring sejalan di tahun politik ini, bukan durian runtuh.

Hasil kalkulasi sederhana dari public assessment terhadap kepentingan persekusi adalah Persecution is a fact that is actually part of politics and crime dan bukan demokrasi. 

Konsiderasi politiklah yang sesungguhnya menjadi makna persekusi bagi yang merasa terancam elektabilitasnya. 

Selain Cacat Mental, Persekutor Itu Banci dan Frustasi

Banyak ragam pendapat intelektualis yang mengatakan bahwa kegiatan tagar #2019GantiPresiden adalah kegiatan yang wajar bahkan sah-sah saja dilakukan menurut amanat konstitusi. 

Bagaimanakah dengan pihak (pelaku) persekusi yang merasa lebih konstitusif dibandingkan kelompok tagar #2019GantiPresiden? Apakah mental mereka cacat secara akademik dan intelektuil? 

Intelektualitas hukum Mahfud MD. secara gamblang membenarkan kegiatan tagar #2019GantiPresiden sebagai upaya (aspirasi) untuk memilih presiden menurut pilihan masing-masing. 

Para pelaku persekusi, terutama pendukung kebijakannya terlihat santai warawiri mempertahankan asumsi cinta tanah air walau harus bangga memakai kata kerja menggebuki. 

Adakah yang sudah diproses hukum atau setidaknya sudah teridentifikasi diketahui sebagai pelaku persekusi? Sampai kini tidak ada satu pun headlinenya.
Apa mungkin mereka pantas disebut banci yang terbiasa sembunyi di depan umum?  

Apa mungkin mereka yang mengaku lebih cinta bangsa dan fanatik kepada presidennya mau mengaku sebagai salah satu pihak yang mempersekusi kepentingan agama dan hak politik kelompok lain? Tentunya tidak! 

Kelompok banci putus asa dan frustasi ini sudah tentu tidak ada yang mau mengaku sebagai persekutor para ulama dan aktivis politik di tahun politik.

"Makna Lain"

Karena terlalu sederhana masalahnya, jawabnya adalah : "Inilah Tahun Politik!"

Di tahun politik ini, semua bisa saja terjadi sesuai pakemnya. Jangankan hanya makna konstitusi dan persekusi yang sengaja dibolak-balik, di tahun politik semangka pun bisa berdaun sirih dan ayam pun bisa bertelur itik. 

Semua kegaduhan mental absurd menjelang kampanye Pilpres ini tidak seberapa kritis nantinya ketika masuk ke dalam proses perhelatan yang sesungguhnya. 

Namun resume dari semua kekonyolan tentang persekusi dan persekutor ini dapat kita pahami sebagai kesalahan dari revolusi mental yang super kebablasan. 

Kelompok pendukung persekusi terlalu paranoid menghadapi sikap antipati capres yang belum legowo mengundurkan diri sebelum kampanye.

Persekutor yang menuduh gerakan cinta agama dan politik agama sebagai upaya perbuatan makar kepada presiden (yang sekarang ini setengah sah), secara sadar telah menunjukkan kelemahannya di depan umum. Persekutor saat ini kewalahan dan galau menghadapi bayangannya (ganti presiden) sendiri.

Makna lainnya adalah para persekutor di belakang layar berusaha sekuat tenaga agar penonton (publik) percaya bahwa kegaduhan konstitusi ini adalah drama makar dari kelompok tagar. Padahal skenario peran gaduh itu strategi politik sutradaranya menjelang Pilpres. Persekusi yang kontroversial ini sesungguhnya adalah multi snowball effect. Repersekusi akan berbalik melindas dan menggiling play makernya sendiri.

"Makna Lain" Persekusi

Mari kita normatif melihat fakta tak kasat mata pada kenyataan persekusi yang terjadi ini. Bahwa apapun kata-katanya, makna tidak boleh menyimpang dari arti kata sebenarnya.

Norma pada kata persekusi sudah mengalami deviasi negatif saat kenyataan dan kebenaran didistorsi oleh politics interest kekuasaan.

Ekses esensi inilah yang menyebabkan persekusi memiliki varian makna.

Berikut ini adalah beragam makna lain kata persekusi itu, diantaranya :
a) Persekusi itu buatan pabrik.
Modal, rencana, bahan, program, ide, material, equipment, manajemen dan buku panduan persekusi semuanya dimanufaktur di sini untuk kemudian dipasarkan.
b) Persekusi itu utang negara yang dibebankan kepada yang tidak berutang.
c) Persekusi itu kata pajak yang di modifikasi sedemikian rupa agar kasat mata.
d) Persekusi itu perilaku menyimpang kepada harga TDL, BBM, dan tarif dasar lainnya.
e) Persekusi itu pura-pura tidak melihat mata sipitnya TKA.
f) Persekusi itu berupa data statistik swasta yang tidak akan pernah sama dengan data analisis akademik.
g) Persekusi itu menteri menyuruh rakyat cari makan sendiri.
h) Persekusi itu rakyat disuruh makan keong, cacing, kangkung, dll yang penting bisa hidup.
i) Persekusi itu metode menaikkan elektabilitas dengan berbagai macam cara.
j) Persekusi itu hasil survei yang diorder dari bawah meja dan para donatur
k) Persekusi itu peruntukan dana haji untuk bisnis jalan tol
l) Persekusi itu tour to all provinces, intimidasi, fotogenik purwarupa, teror, jargon infrastruktur, agitasi, bagi-bagi tanah, otoritariansme, kuis berhadiah, kriminalisasi dan pencitraan itu semuanya jadi satu paket.
m) Persekusi itu membanggakan diri sebagai barisan yang paling membela tanah air.
n) Persekusi itu memukul dada sendiri sembari berkoar yang paling cinta negara.
o) Persekusi itu terdiri dari orang-orang banci frustasi yang paling nusantara atas kuasa dan dogma.
p) dan Persekusi itu, tetaplah persekusi. Maknanya pun tidak akan berubah atau terganti makna yang lain.

Walaupun didebat dan didiskusikan. Andai pun diamandemen atau direvisi ulang. Jika akhirnya kata dan makna persekusi memakan korban jiwa dan perasaan. Persekusi akan dikenang dalam sejarah perpolitikan di negara ini dan selalu rendezvous bersama cita-cita negara demokrasi bangsa ini.

Sorong, 11 September 2018
*ajilatuconsina

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun