Semua delik persekusi ini semestinya sudah selesai jika argumen konstitusi tidak lagi debatable di mata publik. Repersekusi (kejahatan kemanusiaan yang berulang-ulang) kepada UAS di ruang publik hingga intimidasi sunyi pasti tidak akan terjadi lagi apabila makna konstitusi itu normal (tidak cacat).
Selain pelaku, dan makna persekusi masih cacat konstitusi. Publik menilai ada ruang (peluang) terbuka bagi pelaku persekusi melakukan kegiatannya. Hal ini relevansi dengan menguatnya indikasi percobaan (rekayasa).
Jika kita meminjam dan menganalisa peribahasa "dimana ada semut, di situ ada gula", maka tak ayal lagi bagi siapa saja yang masih terbuka hati dan pikirannya akan berkesimpulan sama dengan analisis uraian ini.
Bahwa kasus persekusi yang sering terjadi dan seiring sejalan di tahun politik ini, bukan durian runtuh.
Hasil kalkulasi sederhana dari public assessment terhadap kepentingan persekusi adalah Persecution is a fact that is actually part of politics and crime dan bukan demokrasi.Â
Konsiderasi politiklah yang sesungguhnya menjadi makna persekusi bagi yang merasa terancam elektabilitasnya.Â
Selain Cacat Mental, Persekutor Itu Banci dan Frustasi
Banyak ragam pendapat intelektualis yang mengatakan bahwa kegiatan tagar #2019GantiPresiden adalah kegiatan yang wajar bahkan sah-sah saja dilakukan menurut amanat konstitusi.Â
Bagaimanakah dengan pihak (pelaku) persekusi yang merasa lebih konstitusif dibandingkan kelompok tagar #2019GantiPresiden? Apakah mental mereka cacat secara akademik dan intelektuil?Â
Intelektualitas hukum Mahfud MD. secara gamblang membenarkan kegiatan tagar #2019GantiPresiden sebagai upaya (aspirasi) untuk memilih presiden menurut pilihan masing-masing.Â
Para pelaku persekusi, terutama pendukung kebijakannya terlihat santai warawiri mempertahankan asumsi cinta tanah air walau harus bangga memakai kata kerja menggebuki.Â