"Saya bantu, ya," katanya ramah.
Saya manggut saja karena memang baru pertama kali memakainya. Setelah mengganti baju dengan baik, benar, cantik, dan mempesona (lengkap dengan shower cap-nya), saya dipersilahkan untuk tiduran di meja tindakan (ebuset, kaki saya tiba-tiba lemes gemeteran rasanya).
"Saya merem aja, ya." Â Kata-kata ini memang jurus andalan saya jika sudah mengkeret ketakutan tingkat dewa. Yaiyalah, serem. Tiduran gitu sebelah kaki diikat dan sebelah tangan ditancepin alat pantau jantung dan tekanan darah, kok jadi ngilu rasanya. Padahal disuntik bius aja belum, sudah pengen nggak sadar aja.
"Jangan takut! Nanti tekanan darahnya ikut naik lho.." Canda beberapa perawat di dalam sana.
Nggak tau kenapa saya nggak bisa tertawa. Malah deg-degan takut kenapa-napa (efek kebanyakan nonton iklan film horor). (((helah, iklaaan))).
"Oke, saya suntik bius lokal ya. Permisi ya," kata dokternya.
Seperti biasa reaksi lebay saya muncullah. Saat jarum suntik menembus lapisan kulit perut, sakit suntiknya yang harusnya nggak seberapa tapi paniknya yang kemana-mana.
"Sakiiiitt.." Saya mendesis persis kaya bocah yang nyari-nyari  pelukan hangat ibunya. Dan para perawat langsung mendekat ke bagian kiri dan kanan tangan saya.
Masing-masing mendekatkan tubuhnya menenangkan saya seperti berkata, "Cup cup yaaaa." Haduh, malu bener dah saya. Trus saya diem, sebab setelah itu nggak terasa apa-apa lagi.
Beberapa saat kemudian dokter mulai sibuk bekerja. Tiga perawat terus setia berada didekatnya. Seseorang sigap membantu mengambilkan beberapa alat yang dibutuhkannya. Byuh, alat. Nah, ini masalahnya. Begitu mendengar dokter berkata, "Wah, agak besar ini. Saya bersihkan dulu ya." "Yak, gunting."
Dhuar!